Dialog dengan semesta dicoba oleh manusia, demi mencari asbabun nuzul dari Allah atas rangkaian perisiwa yang menjadi cobaan bagi manusia di tahun ini, untuk mencari hikmah. Banyak yang mengaitkan rangkaian tersebut dengan terbukanya tabir ramalan Prabu Jayabaya tentang adanya “Tahun Kembar”. Tabir tersebut secara eksplisit mengatakan akan terjadinya kekalutan yang luar biasa pada umat manusia pada alam semesta, pada tahun 2020.
Tentunya hal ini membuat bulu kuduk masyarakat semakin merinding, mengingat tahun ini banyak diwarnai dengan berbagai peristiwa duka. Salah satu Raja Kediri yang meramalkannya memang dipercaya memiliki kekayaan intuisi dan kemahiran dalam membaca kehidupan di masa depan.
Semesta dalam Rencana Allah
Terlepas dari percaya atau tidak, sudah sepatutnya kita meyakini bahwa ada yang mengatur di balik semua peristiwa ini. Dan kita akan kembalikan persoalan tersebut kepada esensi takdir (qadha’ dan qadhar) yang sudah menjadi suatu ketetapan mutlak dari Allah. Bagaimanapun, kita perlu mencari hikmah corona untuk bisa belajar darinya, dan bagaimana hubungannya dengan semesta.
Sebagian besar umat manusia meyakini rangkaian kedukaan yang terjadi di tahun 2020 sebagai ujian atas mulainya pembangkangan kita kepada Allah. Sehingga mudah bagi-Nya untuk mengubah kesenangan menjadi kesedihan, kelapangan menjadi kesempitan, dan kekuatan menjadi kelemahan.
Namun cobaan yang diberikan takkan melebihi batas kemampuan hamba-Nya, “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya” (al Baqarah, ayat 286). Ada hikmah di balik setiap peristiwa, pernyataan itu yang harus kita pegang tatkala sedang menghadapi musibah. Syukur-syukur peristiwa tersebut bisa menjadi self reminder bagi perilaku kita yang selama ini jauh dari perintah-Nya.
Memahami Kesalahan Manusia
Ebiet G Ade dalam lagunya yang berjudul ‘Berita Kepada Kawan’ secara puitis mengingatkan, “Mengapa di tanahku terjadi bencana? Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita? Coba kita tanyakan pada rumput yang bergoyang”.
Lagu yang populer di tahun 80-an tersebut telah menyinggung salah satu penyebab bencana, yakni kurangnya manusia dalam memperhatikan alam semesta.
Kita sering dihadapkan dengan sibuknya rutinitas keseharian, sehingga lupa untuk mentadabburi hikmah hasil ciptaan-Nya. Alih-alih bisa hidup rukun dengan alam semesta, tanpa disadari terkadang rutinitas kita justru mencederainya.
Menghormati Alam Semesta
Mungkin kita tidak sadar dengan asap kendaraan bermotor berlalu lalang di jalanan kota maupun desa, sehingga menyebabkan polusi udara, yang menciderai semesta. Polusi udara tersebut punya hikmah pada kurangnya udara sehat yang menjadi hak mutlak makhluk hidup lainnya. Di sisi lain, tangan-tangan manusia masih gemar melakukan kerusakan yang mengancam keselamatan ekosistem alam.
Jangan heran jika malaikat pernah protes tatkala Allah SWT akan menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi dengan mengatakan “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” (al Baqarah, ayat 30).
Tak ada satupun makhluk Allah SWT yang rela jika haknya disabotase, begitu juga dengan alam semesta. Mungkin alam semesta sudah lama meminta kepada Sang Pencipta untuk mengistirahatkan sementara manusia yang selama ini destruktif, agar alam mampu bernafas lega. Ia bisa menjelaskan hikmah di balik fenomena ini.
Tampaknya di tahun ini, Allah SWT telah memberi hadiah bagi alam semesta untuk sejenak merasakan udara bersih dengan mendatangkan virus corona kepada manusia. Manusia dirasa telah mengambil hak daripada alam semesta dengan rutinitas sehari-harinya.
Kita masih sangat belia jika dibandingkan dengan waktu penciptaan alam semesta. Menghormati yang lebih tua sudah menjadi budaya di kalangan kita. Mungkin adakalanya kita bisa realisasikan kepada alam semesta dengan menghormati dan memberikan rasa empati kepadanya.
Tuhan ingin membersihkan rumah-Nya
Sebelum kita menilik lebih dalam, saya teringat dengan potongan sajak puisi karya KH. Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus yang berbunyi, “Engkau sepikan tempat-tempat kesibukan kami. Engkau sunyikan tempat kami membanggakan jumlah kelompok kami. Bahkan Engkau senyapkan rumah-rumah-Mu yang selama ini kami ramaikan hanya untuk memuja diri-diri kami. Mengingat-Mu pun demi kepentingan kami sendiri” (Talbiyah dalam Kesendirian).
Puisi tersebut menggambarkan realita yang sedang terjadi saat ini, di mana berbagai tempat kesibukan dan peribadahan menjadi sepi tak terlihat rutinitas yang sedang terjadi. Seperti yang kita tahu, semakin hari beberapa tempat ibadah banyak yang tak berjalan sesuai fungsinya. Dan Allah sangat membenci apabila rumah-Nya dirusak oleh berbagai kepentingan yang jauh dari unsur lillahi ta’ala. Hikmah dari puisi tersebut meminta kita agar mempertanyakan kembali penggunaan masjid yang dilakukan manusia.
Bahkan beberapa tahun belakangan ini, penggunaan atribut agama untuk kepentingan politik semakin marak terjadi. Hal ini menjadikan tempat ibadah ladang kampanye dalam menggaet partisipan yang akan membuatnya tempat bernaungnya amalan terkontaminasi oleh kotornya dunia politik.
Secara harfiah, tempat ibadah semestinya merupakan tempat untuk bernaungnya umat dalam melakukan ibadah, semua tertunduk khusyu’ mengharap keridhaan-Nya. Tak tega rasanya jika fungsi tempat ibadah terus dibombardir oleh berbagai kepentingan yang telah menabrak berbagai larangan-Nya.
Tampaknya di tahun ini, Tuhan ingin membersihkan rumahnya dengan mendatangkan wabah yang membuat rumah-Nya menjadi sepi sebagai hikmah corona. Mungkin hal ini sebagai pengingat bagi kita untuk mengembalikan tempat ibadah sesuai fungsinya.
Ambil Hikmahnya untuk Semesta
Umat manusia takkan pernah menyangka ketika dihadapkan dengan suatu bencana tak kasat mata yang berpotensi mengurangi populasi manusia secara massal. Allah SWT sudah menyiapkan skenario terbaik di balik setiap peristiwa, dan tugas dari makhluk-Nya adalah mengambil ibrah dalam setiap perkara. Kesabaran dan perubahan menjadi tolak ukur keberhasilan seorang hamba dalam menghadapi ujian.
Kita sudah terlalu sering belajar mengenai hukum sebab akibat, akan tetapi perilaku ngeyel yang membuat kita susah untuk kapok. Setelah berakhirnya corona ini, Allah dan alam semesta menunggu ittikad baik kita untuk menciptakan simbiosis mutualisme dengan makhluk ciptaan-Nya.
Setelah Tuhan membersihkan rumah-Nya dari berbagai kepentingan yang jauh dari ketaatan pada-Nya, kita harus menjaga rumah-Nya dari segi fisik maupun fungsinya. Sebelum malaikat meniup peluit panjang tanda berakhirnya sebuah pertandingan, masih ada waktu injury time untuk berbagi dengan sesama makhluk-Nya dan mengingat akan kebesaran-Nya.
***
Editor : Shidqi Mukhtasor