Agama dalam Multi-Sistem
Ketika agama dipandang hanya pada sistem simbol belaka, tentu yang tampak adalah kebenaran sebelah mata. Simbol diusung tinggi-tinggi sementara laku hidup terjerembab pada lembah yang hina dengan aksi bom bunuh diri dan mencederai orang yang berbeda agama. Jalan hidup pun sudah dianggap buntu, sehingga melakukan aksi penembakan seorang diri di lembaga institusi negara.
Teologi maut (kata Buya Ahmad Syafii Maarif) menjadikan seseorang berani mati dan takut hidup. Nyawa dikorbankan hanya untuk mendapatkan “bidadari” (“bidadara”?) di alam sana. Hanya untuk bisa mensyafaati orang banyak, rela menyelesaikan urusan dunia dengan bom bunuh diri atau menembak dan melukai orang lain yang beda agama maupun yang seagama.
Kala agama hanya dipahami sebatas simbol, tentu menganggap yang lain sebagai sebuah “thagut”, “kafir”, “munafik”, dan segala bentuk “hitam-putih” lainnya. Kebenaran tunggal dan pemahaman agama yang belum konprehensif, menjadikan calon “pengantin” dengan mudah digiring pada pemahaman yang ekstrem.
Setiap aksi dan sensasi islami, melahirkan banyaknya “ustadz/ustadzah” yang mengeluarkan fatwa tanpa pengetahuan, pemahaman, dan dasar hukum yang kuat. Seakan-akan yang berani melawan pemerintah dan yang orasinya paling keras dianggap sebagai “ulama” yang dipuja dan dimuliakan, bukan pada sanad keilmuan dan kealimannya. Mungkin hidup di zaman akhir, yang banyak adalah penceramah dan yang sedikit adalah ulama.
Sebenarnya, agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak. Sebagaimana pendapat Glock dan Stark (1966), bahwa sistem agama itu terdiri dari: sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembaga, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning).
Dari banyaknya dimensi keberagamaan itu, maka perlu menjadi perhatian bersama, bagaimana sesungguhnya dimensi religiusitas dapat menjadi pondasi karakter religius? Kemudian, bagaimana transformasi budaya religius membentuk karakter religius? Serta, bagaimana karakter religius yang dapat mencerahkan dan meneguhkan pemeluk agama?
Dari kenyataan di ataslah, maka tulisan ini sangat perlu menjadi pembahasan yang aktual saat ini.
Dimensi Religiusitas Sebagai Pondasi Karakter Religius
Menurut Glock dan Stark (dalam Robertson, 1988), ada lima macam dimensi agama (keberagamaan), yaitu; (1) ideologis (dimensi keyakinan); (2) ritualistik (dimensi peribadatan/prakter agama); (3) eksperiensial (dimensi penghayatan); (4) intelektual (dimensi pengetahuan agama); (5) konsekuensial (dimensi pengalaman).
Apabila pandangan Glock dan Stark diperjelas secara luas, maka dapat dipahami, bahwa lima dimensi religiusitas (keberagamaan) tersebut adalah:
Pertama, Dimensi Ideologis (Keyakinan)
Para penganut agama dan pengikut keyakinan, pasti memiliki pengharapan yang bersumber dari dogma Kitab Suci yang menjadi pandangan teologis yang diyakininya. Serta, mengakui kebenaran sakral dari doktrin agamanya dan memegang teguh prinsip keyakinan itu sebagai ideologi hidup dan matinya.
Kedua, Dimensi Ritualistik (Peribadatan/Praktik Agama)
Para penganut agama dan pengikut keyakinan memiliki praktik keagamaan/ritus/peribadatan. Praktik keagamaan terdiri dari dua level, yakni: (1) ritual, yang berbentuk formal ritualistik dan peribadatan yang sangat sakral (khusyu’ dan tawadhu’)sang hamba dalam ritus pemujaan dan pengagungan Sang Pencipta, baik yang bersifat pribadi maupun bersamaan (berjamaah); (2) ketaatan, yang berbentuk komitmen utuh (istikamah) yang sangat sakral/formalistik dan tradisi yang khas.
Dalam agama-agama, ditunjukkan dengan ritus peribadatan seperti sembahyang dan ritus yang kontemplatif seperti zikir, yang dilakukan secara pribadi maupun bersama-sama. Baik terencana maupun spontan, informal, dan kekhasan kelompok/sekte maupun “wirid” pribadi.
Ketiga, Dimensi Eksperiensial (Dimensi Penghayatan)
Para penganut agama dan pengikut keyakinan memiliki pengharapan-pengharapan tertentu, mesti tidak tepat dikatakan seseorang yang beragama dengan baik suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung “bertemu” Tuhan (kenyataan terakhir melalui kontak supernatural).
Perjalanan spiritual sang hamba yang khusyuk, tawadhu dalam ke-kudus-an dari pengalaman-pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami secara personal, atau yang dipahami (didefinisikan) oleh kelompok/sekte keagamaan masyarakat yang melihat komunikasi dalam esensi ketuhanan (makrifatullah), yaitu “bertemu” dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.
Keempat, Dimensi Intelektual (Pengetahuan Agama)
Para penganut agama dan pengikut keyakinan paling tidak memiliki sejumlah “referensi” tentang agama dan kepercayaan yang dianut dan diyakini, sehingga pengertian dan pengetahuan, seperti dasar-dasar keyakinan (tauhid, akidah/teologi), peribadatan (ritus-ritus), dogma dan doktrin (Kitab Suci dan risalah Nabi), dan tradisi-tradisi keagamaan (akhlak/adab maupun peringatan dan perayaan hari besar agama).
Dimensi intelektual (pengetahuan agama) dan dimensi ideologi (keyakinan) jelas berhubungan dan berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sebab, pengetahuan tentang ketentuan-ketentuan yang ada dalam suatu agama (ideologis/keyakinan) merupakan prasyarat bagi para penganut agama dan pengikut keyakinan tersebut.
Walaupun seperti itu, namun tidak semua penganut agama dan pengikut keyakinan tertentu yang betul-betul memiliki pengetahuan agama yang bagus. Terkadang ada yang pengetahuan agamanya minim tapi memiliki tingkat keyakinan yang baik dari bimbingan para “Begawan” agama (agamawan) yang mumpuni.
Kelima, Dimensi Konsekuensial (Pengalaman)
Para penganut agama dan pengikut keyakinan pasti memiliki komitmen keagamaan yang jelas. Dalam dimensi ini, memperjelas identifikasi akibat dari ideologi (dimensi keyakinan keagaamaan), ritualistik (dimensi peribadatan/prakter agama), eksperiensial (dimensi penghayatan), dan intelektual (dimensi pengetahuan agama) dari waktu ke waktu setiap harinya.
Jadi, esensi dimensi beragama adalah sejauhmana para penganut agama dan pengikut keyakinan tertentu mampu berpikir dan melaksanakan nilai-nilia ajaran agama secara konkrit di kehidupan nyata.
Di sanalah akan terlihat seberapa jauh komitmen melaksanakan ajaran agama dan bagaimana seharusnya sikap sebagai penganut agama dan pengikut keyakinan tertentu terhadap Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta sebagai konsekuensi dari agama yang dianut dan diyakini secara sadar.
Editor: Yahya FR