Sistem kehidupan umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw di Madinah (622-632 M) hingga memasuki periode Khulafaurrasyidin (632-661 M), pemerintahan monarkhi Umayyah (Damaskus), dan Abbasiyah (Baghdad) menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Salah satu yang perlu dicermati adalah Diwan Al-Kharraj: Biro Pajak Tanah Dinasti Abbasiyah.
Pada zaman Nabi saw, sumber-sumber pendapatan dalam sistem pemerintahan umat Islam diperoleh dari hasil pembayaran zakat, harta rampasan perang (al-ghanimah), pajak individu (al-jizyah—termasuk bagian dari al-fai’), dan penemuan harta karun (luqathah). Seluruh pendapatan umat Islam tersebut dikelola di Bait Al-Mal.
Memasuki periode Khulafaurrasyidin, wilayah-wilayah kekuasaan umat Islam semakin luas. Terjadi setelah dilakukan penaklukkan berbagai kawasan di bawah pemerintahan Sassaniyyah dan Byzantium. Beberapa wilayah kekuasaan hasil penaklukkan umat Islam termasuk kawasan-kawasan subur dan produktif. Seperti lembah Sawad (sekarang masuk kawasan Iraq), sebagian kawasan di Mesir, dan Yaman.
Adalah Umar bin Khattab, khalifah kedua dalam sistem pemerintahan Khulafaurrasyidin (memerintah 634-644 M), yang pertama kali menggunakan ijtihadnya untuk menerapkan sistem penarikan pajak atas beberapa kawasan subur dan produktif (Ibnu Khaldun, 2000: 300).
Kemunculan Al-Jizyah dan Al Kharraj
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, pajak atas tanah produktif terus dijalankan, meskipun belum mengalami spesifikasi yang jelas. Mu’awiyyah pernah memerintahkan kepada gubernur Mesir supaya menaikkan pajak (al-jizyah) bagi orang-Koptik (Qibti). Mu’awiyyah meminta kepada gubernur Mesir supaya menaikkan pajak satu qirat disebabkan karena faktor kesuburan tanah dan hasil panen yang berlimpah.
Pada masa kekuasaan Malik bin Marwan, penduduk Khurasan disensus. Kemudian keluar kebijakan dari pemerintah untuk menaikkan pajak individu (al-jizyah) menjadi tiga kali lipat dari sebelumnya. Kebijakan Malik bin Marwan atas pertimbangan faktor kesuburan tanah dan hasil panen yang berlimpah di Khurasan (Hasan Ibrahim Hasan: 2001: 351).
Memasuki masa periode pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sistem pajak tanah dikelola secara khusus. Pajak atas kepemilikan dan pengelolaan tanah produktif (al-kharraj) sudah dibedakan dengan pajak individu (al-jizyah). Pengelolaan pajak tanah, sekalipun masih di bawah sistem Bait al-Mal, tetapi sudah menggunakan biro khusus yang dikenal dengan Diwan Al-Kharraj.
Pajak Tanah
Pajak tanah yang dikenal dengan istilah al-kharraj adalah kadar (ukuran) tertentu dari kekayaan atau penghasilan yang dibebankan atas tanah yang ditaklukkan oleh kaum Muslimin. Sejarawan Hasan Ibrahim Hasan (2001: 331) menjelaskan, pajak semacam ini diperoleh dengan jalan: pertama, jika hak pasukan Muslimin telah dipenuhi oleh khalifah dengan cara selain membagi tanah rampasan perang, maka pengelolaan atas tanah tersebut dikenakan pajak yang ditentukan oleh pemerintah.
Kedua, tanah hasil rampasan perang dikembalikan kepada penduduk yang telah ditaklukkan oleh pasukan Muslimin. Lewat kebijaksanaan khalifah, penduduk di kawasan tersebut harus membayar pajak yang telah ditentukan oleh pemerintah. Pajak atas kepemilikan dan pengelolaan tanah yang subur dan harus dibayar dengan ukuran yang telah ditentukan oleh pemerintah ini disebut al-kharraj.
Perlu diketahui, al-kharraj berbeda dengan al-jizyah. Al-kharraj adalah pajak yang dibebankan atas kepemilikan dan pengelolaan tanah produktif di wilayah pemerintahan Islam. Sedangkan al-jizyah adalah sejenis upeti yang dibebankan kepada setiap orang (individu) non-muslim yang bersedia hidup di bawah kekuasaan Islam. Klasifikasi jenis pajak antara al-kharraj dengan al-jizyah telah dimulai sejak zaman dinasti Abbasiyah.
Pada zaman Nabi saw, ketika umat Islam berhasil membangun sistem pemerintahan di Madinah, sistem penarikan pajak atas tanah subur yang produktif belum pernah diterapkan. Pasca perjanjian Hudaibiyyah (628 M), Nabi saw dan pasukan Muslimin berhasil menaklukkan Khaibar.
Tanah Khaibar dikenal cukup subur. Kepada penduduk Khaibar, Nabi saw membebankan pajak untuk sebagian dari hasil bumi tanpa menentukan ukurannya. Penarikan pajak hasil bumi dari penduduk Khaibar ini disebut mu’amalah atau muzara’ah, bukan al-kharraj.
Dalam hal ini, sumber-sumber hukum yang berkaitan dengan al-kharraj memang tidak dikemukakan secara tegas dalam al-Qur’an, kecuali al-jizyah (Q.s. At-Taubah: 29). Bahkan pada zaman Nabi saw belum pernah dijalankan. Oleh karena itu, menurut al-Mawardi, hukum al-kharraj dikukuhkan lewat ijtihad para ulama (Hasan Ibrahim Hasan, 2001: 332-334).
Diwan Al-Kharraj: Biro Pajak Tanah Dinasti Abbasiyah
Jauh sebelum umat Islam berhasil membentuk pemerintahan di Madinah pada masa Nabi saw, raja-raja Syria yang berafiliasi dengan Byzantium sudah menggunakan sistem biro. Secara khusus bertugas menangani administrasi keuangan kerajaan. Raja-raja Persia juga sudah menggunakan istilah diwan.
Sejarawan Ibnu Khaldun (2000: 300-301) mencatat, pemimpin umat Islam yang pertama kali menggunakan Diwan Al-Kharraj adalah Umar bin Khattab. Khalifah kedua dalam sistem pemerintahan Khulafaurrasyidin.
Dikisahkan, Abu Hurairah membawa uang banyak dari Al-Bahrain kepada khalifah Umar. Jumlah uang yang sangat banyak tersebut telah menyulitkan kaum Muslimin, terutama ketika hendak menghitung dan mendistribusikan kepada umat Islam. Sahabat Khalid bin Walid menyarankan kepada khalifah Umar supaya membentuk diwan. Sebagaimana ia telah melihat raja-raja di Syria menggunakan sistem ini.
Sistem diwan layaknya sebuah departemen dalam pemerintahan zaman modern. Diwan dipimpin oleh seorang wazir biasa. Kepala departemen bertanggung jawab kepada wazir utama. Setiap departemen memiliki biro-biro khusus.
Diwan Al-Kharraj berada di bawah sistem Bait Al-Mal yang secara khusus bertugas menarik pajak tanah. Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, seorang kepala Diwan Al-Kharraj sering disebut sebagai “tuan penarik pajak” (Hitti, 2000: 398).
Pada masa kekuasaan Umar bin Khattab, kawasan pertanian di lembah Sawad (Mesopotamia/Iraq) yang dikenal subur terus bertambah luas. Sejarawan Hasan Ibrahim Hasan (2001: 333) memperkirakan luas lahan pertanian di Sawad mencapai 36.000.000 jarib. Luas 1 hektar diperkirakan 3,5 jarib. Tiap 1 jarib dikenakan pajak antara 2-10 dirham.
Ini berarti setiap 1 hektar tanah yang ditanami gandum dikenakan pajak 14 dirham. Dengan demikian, dari kawasan Sawad yang dikenal sangat subur dapat diperoleh pajak tanah sebesar 18.000.000 dirham. Pemasukan dari pajak tanah di kawasan Sawad ini dikelola secara profesional lewat Diwan Al-Kharraj. Sebagai salah satu biro dalam sistem keuangan negara (Bait Al-Mal).
Berapakah Pemasukan Dinasti Abbasiyah?
Sampai memasuki masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Diwan Al-Kharraj memegang peranan penting dalam sistem pemasukan kas negara. Pada masa kekuasaan Al-Mu’tashim (memerintah 833-842 M), jumlah pemasukan pajak tanah terbesar diperoleh dari kawasan Sawad yang mencapai 130.200.000 dirham.
Pemasukan pajak tanah terbesar kedua diperoleh dari kawasan Mesir-Iskandariyyah yang mencapai 37.500.000 dirham. Adapun pemasukan pajak tanah terbesar ketiga diperoleh dari daerah Khurasan yang mencapai 37.000.000 dirham.
Pemasukan negara dari pajak tanah (al-kharraj) sangat besar pada masa dinasti Abbasiyah. Tiap tahun, kas negara dipasok dana sebesar 608.851.350 dirham (enam ratus delapan juta delapan ratus lima puluh satu ribu tiga ratus lima puluh dirham) lewat pajak tanah. Belum dari sumber-sumber pemasukan lain.
Sejarawan Hitti (2000: 399) mencatat, dari beberapa jenis sumber pemasukan kas negara (Bait Al-Mal), pajak tanah (al-kharraj) termasuk pendapatan terbesar pada zaman dinasti Abbasiyah.
Akhir Cerita Diwan Al-Kharraj dan Abbasiyah
Sayang sekali, setelah mencapai puncak kejayaan, dinasti Abbasiyah berangsur-angsur redup. Selain karena konflik politik internal dan gerakan-gerakan pemberontakan, sistem keuangan negara semakin lemah.
Pengawasan yang lemah dan pembangunan yang tersendat di kawasan-kawasan tertentu yang subur menyisakan persoalan ekonomi cukup serius. Secara berangsur-angsur, rezim Abbasiyah mengalami kemerosotan ekonomi.
Diriwayatkan oleh sejarawan al-Mas’udi, ketika Al-Manshur meninggal dunia, keuangan dinasti Abbasiyah masih tersisa 600 juta dirham dan 14 juta dinar. Menurut riwayat at-Thabari, ketika Harun Al-Rasyid meninggal dunia, kas negara masih tersisa 900 juta dirham.
Akan tetapi, menurut riwayat Tsa’labi, ketika Al-Muktafi meninggal dunia (908 M), kas negara hanya tersisa senilai 100 juta dinar. Itu pun dalam bentuk permata, perabotan rumah tangga, dan perumahan (Hitti, 2000: 401). Pelan tetapi pasti, sistem keuangan rezim Abbasiyah terus merosot tajam sampai di ambang kebangkrutan.