Perspektif

Dunia Islam Perlu Belajar Demokrasi dari Indonesia

3 Mins read

Peran agama dalam politik di masyarakat, serta pemisahan Islam dan negara; merupakan isu kritis dan selalu ramai diperdebatkan secara global. Bukan hanya di wilayah masyarakat berkebudayaan Islam, seperti Timur Tengah yang sebagian besar menolak pemisahan Islam dan negara. Ternyata banyak peneliti Barat yang begitu tertarik meneliti soal apakah demokrasi cocok bagi Islam. Sebab di negara-negara Muslim prospek demokrasi memang kurang ramah.

John L. Esposito dalam the Future of Islam (2010) menuturkan wacana Islam di Barat banyak berisi seputar keprihatinan soal Islam dan integrasi nasional, juga terkait dengan dukungan untuk institusi keagamaan Muslim, kebijakan imigrasi, dan terorisme. Meski demikian, isu hubungan agama dengan negara dalam masyarakat telah diperdebatkan di mana-mana dan terkadang lebih eksplosif dibandingkan di dunia Muslim. Pertanyaannya, apakah pemisahan agama dan negara dimungkinkan dalam Islam?

Sebagian orang mengatakan, umat Islam tidak dapat menerima negara sekuler. Mereka diwajibkan oleh agamanya untuk menerapkan suatu negara Islam. Kelompok Islamis seperti Hizbut Tahrir dan teroris dengan kekerasan seperti ISIS berjuang untuk mengembalikan kekhilafahan dan pemerintahan Islam global.

Kita tahu, Arab Saudi, Sudan, Pakistan, Iran, dan Taliban telah menerapkan negara atau republik Islam. Lantas apakah Islam tidak sejalan dengan demokrasi?

Islam dan Demokrasi

Siapapun yang menuding Islam dan demokrasi tidak sejalan seringkali merujuk pada fakta sedikitnya negara Muslim yang demokratis. Banyak di antaranya adalah rezim autokratis – seringkali juga otoriter – daripada politik pemilihan dan kehendak rakyat.

Tetapi kritik seperti ini terlalu menyederhanakan dan melupakan fakta bahwa di sejumlah negara Muslim, dari Turki sampai Bangladesh, Pakistan, Malaysia, dan Indonesia, sebenarnya mewakili beragam “demokrasi”.

Selain itu, kita juga menyaksikan pada beberapa dekade terakhir aktivis politik Islam (Islamisme) menjadi pemain utama dalam politik pemilihan dan menjabat posisi yang menentukan bagi pemerintahan. Meskipun penguasa berusaha mengambil alih, menahan, atau melarang, mereka telah meraih dukungan rakyat dan dukungan dari banyak otoritas keagamaan utama.

Baca Juga  Jusuf Kalla Serukan Pesan Perdamaian dari Masjid Indonesia

Dalam posisi ini, negara-negara di Timur Tengah mengalami apa yang disebut dengan “illiberal”, yakni politik penuh kekangan. Mereka berada dalam posisi dilematis. Sebut saja misalnya, bila mereka mengakomodir kelompok ekstremis, maka akan berbahaya bagi negara, tapi bila negara mengabaikannya, maka mereka bisa beralih dari Islamis menjadi teroris.

Salah satu masalah demokrasi di negara-negara Muslim seperti Timur Tengah seringkali terkait dengan benturan antara negara yang sah dengan kelompok Islamisme (fundamentalis). Dua kelompok ini; negara dan Islamis, sama-sama berbeda dalam menyikapi demokrasi.

Negara dan Kelompok Islamis

Banyak negara-negara otokrasi berpandangan bahwa demokrasi asing bagi orang Arab, sementara kaum Islamis mengatakan demokrasi asing bagi Islam. Akibatnya, hubungan demokrasi dengan kedua belah pihak ini telah memicu beberapa perdebatan sengit.

Benturan terjadi bukan hanya antara demokrasi dan dunia Islam, tetapi juga antara negara dan Islamis. Kelompok Islamis sendiri yang paling militan dalam menolak demokrasi, bagi mereka, agama Islam (versi mereka) tidak pernah akan bernegosiasi dengan nilai-nilai Barat, karena yang suci tidak bisa ditawar.

Padahal, kita tahu bahwa salah satu masalah terbesar dalam peradaban Islam, khususnya di Timur Tengah, adalah lemahnya demokrasi dan hak asasi manusia sebagai individu. Sebagaimana Bassam Tibi menuturkan dalam Islamism and Islam (2012), “kita  berputar di antara penguasa otokrat (otoriter) dan teokrat yang menentang mereka”. Bila kondisi sistem negara ini digantikan oleh Islamisme, mereka justru hanya akan mengganti satu malaise dengan yang lain.

Demokrasi Seperti Apa yang Dibutuhkan?

Demokrasi macam apa yang dibutuhkan dunia Islam? Jika demokrasi hanyalah presedur voting (pemilihan umum), tidak ada alasan untuk merasa keberatan ketika gerakan totaliter menggunakan kotak suara sebagai alat untuk perebutan kekuasaan secara halus.

Baca Juga  Membaca I-N-D-O-N-E-S-I-A setelah 17 Agustus

Hal ini telah terjadi di banyak negara, di mana basa basi demokrasi hanya dipakai untuk merebut kekuasaan dan selanjutnya negara tetap menjadi otoriter.

Demokrasi tidak sekedar seperti itu, ada budaya politik demokrasi yang di dalamnya pluralisme sipil serta pembagiaan kekuasaan dalam masyarakat dan negara sangat penting. Tidak ada demokrasi, tentu saja, yang bisa eksis tanpa voting, dan begitu juga tidak ada demokrasi dapat bertahan jika budaya politik dan institusi publik yang diperlukan tidak mendukung. Dengan demikian, norma keanekaragaman berlaku bagi demokrasi.

Meskipun banyak variasi dalam praktik demokrasi, namun demokrasi, seperti hak asasi manusia, memiliki universalitas tertentu yang tidak bisa direduksi. Pada titik inilah, banyak negara-negara berkebudayaan Islam seperti Timur Tengah tidak memiliki budaya politik seperti itu.

Padahal, banyak contoh di mana mereka sudah melakukan pemilihan umum sesuai kehendak rakyat, tapi karena pengakuan demokrasi hanya basa basi, mereka kembali ke sistem totaliter. Atau, mereka justru memanfaatkan demokrasi untuk merebut kekuasaan.

Mencontoh Wajah Demokrasi di Indonesia

Pilihan yang paling masuk akal bagi negara-negara Muslim adalah demokrasi. Maksudnya, Islam harus menjadi agama sipil yang tidak perlu memegang kekuasaan. Kita ambil contoh konsep Islam sipil di Indonesia, misalnya, ia sangat menguntungkan bagi demokrasi, tetapi negara ini tidak pernah mempengaruhi pemikiran dunia Arab.

Di Indonesia, meski budaya demokrasi belum sampai pada tarap kematangannya, tapi sudah mampu memberi sentuhan nilai dalam kebermaknaan hidup yang menjunjung tinggi kebebasan, hak asasi, dan pluralitas.

Artinya, Islam Indonesia mampu menjembatani antara Islam dan negara. Mereka menghadirkan kultur demokrasi sebagai cara memahami Islam. Umat Islam Indonesia tidak terjebak konflik indentitas, lantaran mampu memberi sentuhan baru pada demokrasi tanpa harus diperhadapkan dengan Islam.

Baca Juga  Kesan Baik Jemaah Haji Indonesia: Sudah Plus-Plus

Kiranya, wajah Islam yang demokratis di Indonesia bisa dijadikan sebagai tawaran bagi warga Muslim dunia yang masih terjebak pada dikotomi Islam dan demokrasi, yang membuat negara mereka porak poranda dilanda krisis kekuasaan dan konflik berkepanjangan.

Tentu saja tidak mudah mengkampanyekan Islam Indonesia di mata dunia, tetapi bukan sesuatu yang mustahil bila kita terus berupa untuk mendukung dan mensponsorinya.

Editor: Soleh

23 posts

About author
Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds