Pandemi covid-19 higga saat ini belum juga memberikan tanda-tanda akan usai. Semenjak pertama kali singgah di muka bumi, sudah berbagai sendi kehidupan banyak yang dirongrongnya. Mulai dari ekonomi yang nyaris terjun bebas yang kita rasakan di masa sekarang, bekerja dan belajar dari rumah, bahkan beribadah pun juga harus dari rumah.
Cukup banyak yang reaktif terhadap himbauan pemerintah dan juga dari lembaga keagamaan otoritatif seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan saudara-saudaranya tentang ibadah dari rumah. Pro dan kontra tentunya mencuat terkait himbauan tersebut. Ada yang mengindahkan dan tidak sedikit juga yang menghiraukannya.
Barang kali, mereka yang tak hirau atas himbauan tersebut belum terbiasa menjadi panglima dalam berbagai aktivitas keagamaan dirumah sebelumnya. Sehingga merasa rikuh dalam melaksanakannya. Atau mungkin sudah kadung terbiasa dalam beribadah secara berjamaah baik itu dilakukan di surau, mushalla, langgar, masjid dan sejenisnya dengan mengharapkan imbalan yang berlipat ganda.
Sikap demikian tentunya tidak salah, namun sangat disayangkan. Karena kondisi saat ini yang amat pelik dan jumlah kasus yang terinfeksi pun terus melonjak. Oleh sebab itu, kita dituntut untuk menjadikan rumah sebagai pusat aktivitas termasuk untuk ritual keagamaan. Sehingga kita dipaksa beradaptasi sembari untuk tidak berhenti belajar karena kehidupan tidak pernah berhenti mengajar.
Sebuah Konversi
Di tengah kondisi pagebluk saat ini, kita tentunya kaget dengan pola hidup yang relatif baru tak ayal, perihal keagamaan. Pola hidup yang sebelumnya terpinggirkan, sekarang seolah-olah menjadi dominan dan sangat penting dalam kehidupan sehari-hari bahkan menjadi sentral. Perubahan-perubahan tersebut awalnya sarat dengan penolakan. Namun, kondisi memaksa kita untuk mencari alternatif baru dan lambat laun bisa menjadi gaya hidup baru.
Perubahan tersebut dalam pandangan seorang pakar psikologi Amerika, William James, disebut dengan konversi. Mengutip Ahmad Najib Burhani yang mengambil pendapat James dalam bukunya The Varieties of Religious Experience (1985), mendefinisikan konversi sebagai sebuah proses di mana, “konversi itu terjadi jika suatu pandangan keagamaan yang dulunya hanya dianggap pinggiran dan tak penting atau bahkan menyimpang oleh seseorang, namun kemudian ia berubah menjadi meyakini bahwa yang pinggiran itu menjadi sentral atau sangat penting, maka orang itu telah mengalami apa yang disebut dengan konversi”.
Itulah perubahan yang terjadi di masyarakat saat ini. Perubahan yang seharusnya terjadi lima tahun, kemudian bisa terjadi dalam waktu berbilang bulan. Perubahan yang harusnya memakan waktu yang panjang secara gradual, berubah dalam waktu yang relatif singkat secara radikal.
Sudah Ada Preseden
Perubahan yang terjadi saat ini, khususnya tentang keagamaan sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru dalam pengertian absolut. Beberapa peristiwa yang sejenis sudah pernah terjadi di masa lampau bahkan ketika di masa Rasulullah. Barang tentu, pelbagai peristiwa tersebut disesuaikan dengan konteks zamannya masing-masing tanpa merubah hal-hal yang pokok atau substantif.
Beberapa Hadits dijadikan sebagai rujukan dan sekaligus sebagai perumpamaan dalam merespon apa yang terjadi saat ini dari sudut pandang agama. Hadits yang sering dijadikan rujukan ialah sebagai berikut, “Aku tidak mau untuk membuat kalian berdosa, kalian mendatangi shalat sementara lutut kaki kalian penuh dengan lumpur.” (HR. Bukhari).
Tatkala pada masa Nabi terjadi hujan deras yang mengakibatkan tanah menjadi becek dan berlumpur. Sehingga, oleh karenanya lahirlah ketentuan untuk melaksanakan shalat di rumah dan lafadz azan pun sedikit di modifikasi. Jika hal tersebut diperbolehkan untuk menunaikan ibadah di rumah bahkan memodifikasi lafadz azan, apalagi pandemi sekarang ini yang levelnya lebih berbahaya dan telah menelan jutaan jiwa.
E-Badah: Ilmu Amaliah, Amal Ilmiah
Anjuran pembatasan fisik/sosial telah menjadikan rumah sebagai pusat aktivitas, termasuk aktivitas keagamaan. Ada yang menganggap agama mati gaya, namun hal tersebut terbantahkan dengan adanya alternatif baru yakni, konsep ibadah virtual (eBadah). Konsep ini digadang-gadang bakal menjadi normal baru dalam beragama sekalipun pandemi telah berpulang ke asalnya.
Bukannya berarti hal demikian belum ada sebelumnya. Akan tetapi, skala dan radiusnya relatif terbatas. Dengan tuntutan phsycal distancing ini, maka skala dan intensitasnya lebih meluas. Gambaran tentang ini dapat kita lihat dari perayaan yang dilakukan oleh beberapa umat beragama di Indonesia dan dunia.
Sebagian perayaan umat Nasrani dilaksanakan dari rumah dan disiarkan secara daring. Kemudian Umat Islam juga melakukan hal yang sama. Selanjutnya, ketika umat Buddha merayakan Hari Trisuci Waisak yang jatuh pada tanggal 7 Mei kemarin juga dilakukan di rumah dan disiarkan secara daring melalui berbagai kanal tertentu.
Teruntuk umat Islam, yang saat ini sedang bergembira dalam rangka merayakan Idul Fitri juga banyak memanfaatkan teknologi dalam hal peribadatan. Berbagai aktivitas keagamaan marak dilakukan di ruang maya sebagai “gaya baru”, seperti, tadarus, sedekah, zakat, pengajian, e-silaturahim, bahkan shalat beserta selebrasi agama lainnya. Tentunya, hal ini dilaksanakan demi menjaga jiwa manusia sebagaimana yang terkandung dalam konsep Maqahsid Syariah.
Konsep yang menekankan pada kemaslahatan manusia dalam beragama. Di samping itu, dalam beragama juga harus melihat keterkaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir serta bersifat kontekstual yang tidak keluar dari koridor agama. Sehingga membentuk sebuah formula “Amal Ilmiah, Ilmu Amaliah”.