Tasawuf

Eco-Sufism untuk Membenahi Krisis Lingkungan Hidup

4 Mins read

Pada tanggal 11 April 2020 lalu, Tajdid Institute (TI) menggelar diskusi dengan topik ‘menempuh jalan sufisme’. Salah satu bahasan yang menarik adalah eco-sufism. Sementara itu, TI adalah sebuah lembaga yang diinisiasi oleh guru besar hukum internasional Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Dr. Atip Latiful Hayat., SH., LLM.

Lembaga ini diinisiasi dengan tujuan melakukan reaktualisasi dan reartikulasi gagasan serta praktik pembaharuan yang pernah menjadi agenda pemikiran organisasi massa (Ormas) Islam modernis, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis), pada masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.

Reaktualisasi dan reartikulasi gagasan serta praktik pembaharuan penting dilakukan karena konteks sosial masyarakat muslim di Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan pada masa didirikannya Muhammadiyah dan Persis dengan kondisi saat ini.

Eco-Sufism

Biasanya, tema-tema diskusi yang diangkat oleh TI adalah isu yang menjadi perhatian masyarakat muslim, baik isu klasik maupun isu kontemporer. Persoalan sufisme diangkat karena isu ini tetap menarik perhatian masyarakat muslim, menjadi bahan diskusi bahkan perdebatan.

Bagi penulis, yang memiliki fokus dalam isu Islam dan lingkungan hidup, mengangkat topik eco-sufism memiliki relevansi yang sangat kuat karena keterkaitan antara krisis lingkungan hidup global dengan hilangnya penghayatan spiritual dalam diri manusia modern.

Dalam sejarahnya, gerakan tasawuf diawali oleh Hasan al-Basri, seorang sufi sekaligus seorang saudagar dari generasi tabi’in yang melakukan perlawanan terhadap praktik despotik yang dilakukan oleh Bani Umayyah pada zamannya. Awal mula gerakan tasawuf adalah gerakan perlawanan. Setidaknya itulah yang ditulis oleh almarhum Nurcholish Madjid, dalam buku Islam, Doktrin dan Peradaban.

Selanjutnya, gerakan tasawuf mengalami sistematisasi dan “institusionalisasi” dalam bentuk gerakan tarekat yang sampai hari ini dapat dijumpai di berbagai negara. Pada saat yang sama, perkembangan gerakan tasawuf juga diwarnai dengan gagasan-gagasan filosofis separti yang diartikulasikan oleh Ibn Arabi atau Mulla Shadra.

Baca Juga  Tarekat untuk Kaum Milenial, Kenapa Tidak?

Di Nusantara, gagasan semacam ini dapat ditemukan dalam karya-karya Hamzah Fansuri, Samsyuddin Sumatrani, dan sufi lainnya.

Al-Quran dan Alam Semesta

Hubungan antara tasawuf, sebagai sebuah disiplin ilmu yang menempatkan penghayatan spiritual sebagai hal utama, dengan lingkungan hidup sebetulnya sangat erat. Seyyed Hossein Nasr di dalam beberapa buku, diantaranya Man and Nature (1968), menjelaskan bahwa krisis lingkungan hidup skala global terjadi sebagai akibat dari krisis spiritualitas manusia.

Pada titik ini kita dapat bertanya, kenapa pada masa lampau khususnya sebelum masa modern yang ditandai dengan revolusi Industri dan Revolusi Prancis yang dimulai di Benua Eropa setelah melewati abad pertengahan, tidak ditemukan pembahasan mengenai krisis ekologi yang berskala planet?

Jawabannya karena manusia pada masa lalu masih memiliki penghayatan spiritual manusia di dalam melihat dan mempelakukan alam. Di dalam kearifan spiritual, Manusia menempatkan diri sebagai bagian (mikrokosmos) dari alam raya (makrokosmos). Inilah salah satu ajaran penting di dalam tasawuf yang berhubungan dengan persoalan lingkungan hidup.

Jauh sebelum Seyyed Hossein Nasr menulis buku-bukunya mengenai persoalan lingkungan hidup, seorang Sufi berkebangsaan Turki, Said Nursi (1876-1960) menulis sejumlah karya yang sangat penting dikaji, yaitu Risalah Nur.

Di dalam kitab al-Kalimât yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi The Words halaman 376 menyebut: “Al-Qur’an adalah penjelasan azali buku alam semesta, penjelasan terhadap buku alam semesta baik yang zahir maupun yang batin. Al-Qur’an adalah pengungkap perbendaharaan nama-nama Ilahi yang tersembunyi baik yang berada di langit maupun di bumi. Ia adalah kunci penyingkap kebenaran yang tersembunyi di belakang setiap fenomena”.

Bagi Nursi, al-Qur’an adalah tafsir terhadap alam semesta. Mempelajari al-Qur’an seharusnya mendekatkan kita kepada alam yang menjadi rumah manusia. Pandangan Nursin inilah yang penting dielaborasi karena dengan mempelajari al-Qur’an akan membuat kita menjadi seorang memiliki kecerdasan natural sekilagus mendorong menjadi orang yang memuliakan lingkungan hidup (environmentalist).

Baca Juga  Rabi’ah al-Adawiyah: Sufi Wanita yang Ingin Membakar Surga

Nasib Tasawuf dan Lingkungan Hidup

Tak hanya itu, gagasan wahdatul wujud Ibn Arabi, seorang sufi asal Andalusia yang wafat di Syiria, sangat relevan dibicarakan. Ia telah memberikan dasar yang kuat mengenai hubungan antara Tuhan dengan alam semesta.

Jika Tuhan disebut sebagai satu-satunya wujud, maka alam semesta merupakan manisfestasinya.  Dengan demikian, terdapat nilai sakral sekaligus nilai intrinsik pada alam yang merupakan entitas ekologis penting bagi manusia.

Gagasan para sufi seperti Ibn Arabi, Nursi, dan juga Nasr sangat relevan dikaji dalam kaitannya dengan isu-isu ekologis. Harus dikatakan, kita berhutang kepada para sufi yang telah menulis karya penting yang sangat dekat dengan isu lingkungan hidup.

Persoalan lingkungan hidup selama ini seringkali didekati dengan perspektif hukum, kebijakan, atau pendekatan ilmu-ilmu teknis yang lain. Kegagalan utama di dalam menyelesaikan krisis lingkungan hidup terjadi karena aspek spiritual yang merupakan aspek terdalam dalam diri manusia tidak dipertimbangkan, bahkan dilihat tidak memiliki hubungan sama sekali.

Di dalam wacana dan praktik keagamaan, baik tasawuf maupun isu lingkungan hidup, masih belum mendapatkan ruang yang adil dan memadai. Tasawuf, misalnya, masih dianggap sesuatu yang bukan bagian dari Islam.

Padahal, inti tasawuf adalah dzkir dan “berhubungan” dengan wujud tertinggi, yaitu Allah Swt. Dengan demikian, tasawuf adalah inti dalam ajaran Islam. Sementara itu, isu lingkungan hidup juga belum mendapatkan ruang yang penting, khususnya dalam pendidikan agama.

Selama ini, pendidikan agama masih berpusat pada hal-hal yang didominasi persoalan ritual dan kehidupan akhirat. Padahal, keselamatan planet bumi adalah salah satu pesan utama dalam ajaran Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh larangan merusak alam, dan penyebutan kata al-Ardh lebih dari 430 kali di dalam al-Qur’an.

Baca Juga  Bijaklah Konsumsi Obat Parasetamol

Kembali ke eco-sufism. Jika pada masa Hasan al-Basri tasawuf atau sufisme merupakan perlawanan terhadap despotisme politik, maka hari ini tasawuf mesti dimaknai sebagai gerakan perlawanan terhadap berbagai praktik perusakan lingkungan hidup yang mengancam masa depan manusia. Inilah makna penting dari tasawuf atau sufisme dan eco-sufism yang belum banyak dipahami atau mungkin sering disalah pahami.

Relevansi Eco-Sufism

Dengan demikian, menempuh jalan sufisme, khususnya jalan eco-sufism masih tetap relevan dilakukan karena tiga hal:

Pertama, masifnya krisis lingkungan hidup global yang ditandai dengan hancurnya hutan dunia dari dekade ke dekade, hilangnya oksigen di lautan dunia, dan semakin panasnya temperatur dunia;

Kedua, tumpulnya agamawan di dalam melihat dan merespon berbagai bentuk krisis ekologis yang terjadi. hal ini disebabkan karena pndekatan agama masih didominasi oleh pendekatan yang sangat legalistik, harafiah, dan juga pendekatan normatif;

Ketiga, pemecahan krisis lingkungan hidup selama ini lebih banyak didekati dengan perspektif teknis yang solusinya hanya bersifat tambal sulam. Eco-sufism menawarkan solusi jangka panjang dalam menjawab krisis lingkungan hidup, karena yang diperbaiki adalah manusia, khususnya hati dan pikirannya.

Editor: Nabhan

Avatar
6 posts

About author
Dosen Universitas Paramadina, environmentalist', peminat Islamic Studies; kajian lingkungan hidup; dan kajian isu iklim.
Articles
Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf…
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds