Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia sering kali dilanda oleh berbagai macam fenomena keagamaan, terutama pada umat Muslim.
Intoleransi dan diskriminasi golongan tertentu sudah menjadi fenomena lama di tanah air kita. Tentu, fenomena semacam ini dipupuk dan dirawat di atas akumulasi dari pemahaman eskatologis dan arogansi kebenaran serta turut disokong oleh latar belakang rumusan ideologi.
Fenomena semacam ini menimbulkan dampak signifikan pada keteduhan di tubuh masyarakat yang majemuk. Hal ini juga turut mencerminkan bahwa betapa buruknya kualitas toleransi di tanah air kita.
Mengutip Prof. Ahmad Najib Burhani, ia membagi lima kelompok yang menjadi faktor diskriminasi dan intoleransi pada minoritas terutama minoritas agama tertentu di tanah air kita.
1) Messianic tendency (merasa menjadi juru selamat), 2) false virtue (kebajikan yang salah), 3) euphemistic narrative of intolerance (narasi eufemistik tentang intoleransi), 4) conservative mental construction (konstruksi mental konservatif), dan 5) delimited pluralism (pluralism yang terbatas) (Burhani, 2020).
Di sini, kita kemudian melihat bahwa persoalan diskriminasi dan intoleransi adalah persoalan yang kompleks.
Keberpihakan pada Kaum Minoritas
Secara umum, dalam memaknai minoritas, kerap kali kita semakin mempersempit makna dari kata tersebut dengan memakai neraca yang semata-mata hitung-hitungan. Atau hanya secara kuantitas jumlah saja.
Jika bermaksud untuk menarik makna minoritas lebih luas, dalam hal ini minoritas tidak bisa hanya disandarkan pada statistik belaka.
Prof. Najib Burhani menerangkan konsep minoritas bahwa berbicara minoritas angka seringkali dipakai sebagai patokan dalam pembicaraan minoritas.
Namun dalam hal ini, minoritas dimaksudkan dalam kaitannya dengan hak asasi manusia (HAM) lebih mengacu pada kondisi tertentu, bukan pada jumlah itu sendiri.
Istilah ini lebih mengacu kepada mereka atau kelompok yang terdiskriminasi, termarginalisasi, tertindas, atau juga mengalami ketidakberuntungan, sebagian besar hak-haknya tidak terpenuhi (Burhani, 2020).
Dalam hal ini meluruskan keberpihakan umat Islam kepada kaum minoritas adalah bagaimana kemudian kita berpihak kepada mereka yang mengalami subordinate di tengah-tengah masyarakat tanpa memperhitungkan kuantitas jumlah mereka, yang itu hasil dari superordinate golongan yang lain.
Subordinate diartikan sebagai golongan (inferior) yang ditempatkan di luar dari kelas sosial yang mapan, ini diakibatkan karena adanya superioritas yang lain.
Keberpihakan inilah yang diistilahkan sebagai keberpihakan kepada kaum mustad’afin (kelompok kaum tertindas).
Kegaduhan Beragama: Keberpihakan pada Minoritas
Kilas balik mengingat apa yang terjadi pada golongan yang termasuk minoritas, seperti Syi’ah di Sampang, Madura, Ahmadiyah di Transito, Nusa Tenggara Barat, pengeboman Gereja Katedral di Makassar, kedatangan Zakiah Aini berbekal pistol ke Maber Polri, dan penendangan sesajen di Lumajang, adalah beberapa dari kegaduhan beragama atau berkeyakinan lewat tindakan-tindakan diskriminasi, terorisme, dan intoleransi, dengan landasan berbeda keyakinan.
Akan tetapi, problem seperti ini bisa kita pahami sebagai konflik sengketa keyakinan dengan klaim ‘paling otentik’ berdasar manhaj ar-rasul.
Selanjutnya, melihat bagaimana fenomena tokoh-tokoh keagamaan atau penceramah tampil di hadapan publik, membawa narasi-narasi yang semakin memperburuk polarisasi yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat.
Seperti mengkafir-kafirkan, ganjaran hari akhir, serta menghalalkan segara cara untuk menegakkan konsepsi kebenarannya.
Narasi seperti ini kurang tepat jika tidak ditempatkan pada posisi yang sesuai. Apalagi dihadapkan dengan kultur budaya masyarakat yang beragam atau plural.
Sampai di sini, kita memahami bahwa kebenaran tidak akan pernah menjadi kebenaran jika penegakannya ditempuh dengan cara yang brutal.
Sengketa keyakinan seperti ini layak untuk dipersoalkan, untuk merumuskan satu pegangan bersama untuk saling menghargai satu sama lain.
Syaratnya ialah bagaimana payung kesetaraan dan inklusifitas beragama mampu digelar dengan melakukan dialog dalam membicarakan perbedaan dengan penuh keadaban, hanya dengan demikian meminjam apa yang dimaksud Jurgen Habermas sebagai “komunikasi intersubjektif” mampu ditegakkan di ruang publik; dialogis dan memiliki kedudukan yang sama.
Sebab, bilamana hal ini tidak dipersoalkan, nasib kemajemukan berwarga Negara akan tiba pada liangnya, untuk segera dikubur.
Habermas merumuskan apa yang di sebut sebagai the world of ethics dan the world of morality (Hardiman, 2015).
Secara sederhana, berangkat dari the world of ethics (partikular)Habermas percaya bahwa setiap kelompok atau golongan tertentu memiliki tolok ukur kebenarannya sendiri-sendiri, seperti halnya bagaimana kegaduhan beragama di Indonesia didasari akan hal ini, yang kemudian menjadi benturan tolok ukur satu sama lain.
Akan tetapi Habermas kemudian menawarkan bahwa the world of ethic perlu digeser menuju pada the world of morality (universal), yang dimaksud tentang penekanan untuk beralih menuju universalitas masing-masing, agar dapat saling menerima satu sama lain.
Referensi
Burhani, A. N. (2020). Agama, Kultur (In) Toleransi, dan Dilema Minoritas di Indonesia. Orasi Pengukuhan Professor Riset Bidang Agama dan Tradisi Keislaman (p. 11). Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Hardiman, F. B. (2015). Seni Memahami Hermeneutik. Yogyakarta : Kanisius.
Editor: Yahya FR