Review

Gerakan Tarekat-Tarekat dalam Penyebaran Islam di Abad Pertengahan

10 Mins read

Buku yang ditulis oleh salah satu profesor sejarah Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yaitu Prof. Dudung Abdurrahman, mengisahkan sebuah peristiwa sejarah Islam di abad pertengahan. Abad di mana Islam mengalami keterpurukan, yaitu masa di mana dinasti Abbasiyah mengalami keruntuhan atas serangan Mongolia.

Buku yang berjudul “Komunitas Multikultural” secara garis besar buku ini menjelaskan serta menginformasikan tentang perjalanan sejarah Islam di masa 3 dinasti Islam besar pasca runtuhnya Abbasiyah, yaitu Turki Ustmani, Safawiyah, dan Mughal.

Ketiga kerajaan Islam ini berada pada kawasan di luar Arabia. Maka, dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di luar Arabia inilah, yang nantinya peradaban Islam akan terus tersebar hingga berbagai kawasan-kawasan.

Menariknya buku ini, ialah ditulis dengan gaya tulisan yang akademis dan metodis. Kemudian tulisan yang tidak terlalu tebal, sehingga mempermudah pembaca untuk mengetahui gambaran umum terkait kondisi Islam di abad pertengahan.

Dari banyaknya buku sejarah Islam yang beredar, secara umum lebih banyak menjelaskan asal usul, berdirinya imperium, kemajuan, dan keruntuhan. Namun, dalam buku “Komunitas Multikultural” ini, mencoba menjelaskan dari sudut pandang yang berbeda. Yaitu menampilkan gerakan keagamaan sebagai salah satu penyebab berkembanganya agama Islam di masa 3 imperium besar tersebut.

Maksudnya, di lapisan kelas sosial masyarakat, telah lahir sebuah gerakan sosial keagamaan baru yang bertujuan membangun keagamaan dengan motode tasawuf. Gerakan ini yang kemudian kita kenal dengan Tarekat.

Keberadaan buku ini telah memberikan informasi penting terhadap pentingnya gerakan tarekat sebagai salah satu metode dalam mensyiarkan Islam di berbagai kawasan. Kebiasaan masyarakat kawasan Balkan, India, dan Persia yang masih memiliki pengaruh budaya dan politik, telah mampu menyulut dan merangsang munculnya gerakan tarekat tersebut sebagai salah satu transportasi dalam menyampaikan Islam maupun memberontak bagi kekuasaan yang tidak adil.

Tarekat yang muncul di kawasan Persia beda kasus dengan kemunculan tarekat yang berada di India dan Turki. Tapi yang pasti kemunculan tarekat-tarekat tersebut tidak lepas dari latar politik, ekonomi dan budaya.

Fenomena Keagamaan di Masa Turki Ustmani: Studi Tarekat

Fenomena keagamaan di abad pertengahan Islam, menunjukkan begitu antusiasnya gerakan-gerakan Islam bernafaskan sufistik. Realitas ini bermula dari sebuah anggapan bahwa di mana posisi negara-negara di berbagai kawasan juga memiliki karakteristik kebangsaan dan kebudayaan yang beragam.

Apalagi setiap kawasan memiliki kondisi sosial-politik yang berbeda, sehingga titik tolak daripada kondisi tersebut, membuat beragam saudagar, intelektual, ulama dalam mentransfer Islam, memiliki konsep hibriditas budaya dan agama, salah satunya ialah penggunaan jalan sufisme. Maka, untuk menjawab kondisi terebut, salah satu wujud gerakan yang cukup populer kala itu ialah gerakan-gerakan tarekat.

Membicarakan abad pertengahan Islam tidak lepas dari keberadaan tiga kerajaan besar Islam, yaitu Turki Ustmani, Safawiyah, dan Mughal.

Perkembangan Islam di kawasan-kawasan ketiga kerajaan tersebut tidak lepas dari sebuah peran penting tarekat sebagai sebuah gerakan keagamaan.

Misalnya, di masa Turki Ustmani sebagai kerajaan Islam besar di kawasan Eropa Timur dan Asia, memiliki keragaman budaya, etnik dan agama. Kesultanan tidak menekankan pada satu agama tertentu, justru warga non-Muslim merupakan sebagai warga otonom dalam mengembangkan kehidupan sosial, keagamaan, maupun kehidupan komunalnya.

Mereka diatur oleh organisasi mereka sendiri, dengan pemimpinnya yang diangkat melalui kesultanan Ustmaniyyah yang sekaligus memiliki tanggungjawab bagi Ustmaniyyah.

Dalam lapisan masyarakat Islam di Ustmaniyyah, terdapat beberapa kelas-kelas baru dalam mengafirmasi keberlangsungan kegiatan keagamaan baik untuk kerajaan maupun masyarakat secara luas, yaitu munculnya kalangan ulama sufi.

Dari kemunculan dan peran ulama sufi tersebut, Islam mampu menembus kawasan Eropa Timur hingga kawasan utara laut Mediterania, termasuk Semenanjung Balkan.

Peran penting tersebut ialah dikarenakan posisi dan kondisi kawasan tersebut ialah berporos pada agama-agama non-Islam, serta terdapat kepercayaan dan keyakinan terhadapa dunia spiritual, magis dan roh dewa-dewa.

Maka dari itu, peran ulama sufi yang mengikuti kondisi tersebut telah mampu mengajak mereka tertarik dan masuk agama Islam. Hingga para ulama-ulama tersebut membentuk sebuah gerakan keagamaan yang dikenal dengan Tarekat.

Di masa Ustmaniyyah berkembang sekitar 4 gerakan tarekat, dan kemungkinan masih banyak lagi, terutama peran gerakan tersebut di arus bawah atau kelompok masyarakat di pedalaman.

Misalnya, pertama; kalangan sufi datang dari gerakan Tarekat Bektashis. Tarekat yang didirikan oleh Haji Bektash pada abad ke-13 M ini berkembang atas dukungan para murid-muridnya dengan mendirikan khanaqah atau ribath—penginapan, pemondokan—yang berkembang di wilayah di Macedonia, Thessaly, dan Rodhop (negara di kawasan Semenanjung Balkan).

Baca Juga  Perjumpaan Jawa dan Islam dalam Lokalitas Budaya Nusantara

Di abad ke-15 M,  tarekat ini sudah menyebar ke Anatolia dan Balkan, bahkan di tahun 1500-an, tarekat ini disempurnakan dengan mendirikan khanaqah atau ribath dengan sistem yang baik.

Uniknya tarekat yang berkembang di kesultanan yang berpaham sunni, justru tarekat Bektashis merupakan tarekat yang memiliki paham syi’i. Bahkan tarekat ini mendapat pengaruh dari ajaran syi’i itu sendiri dan Kristen.

Pengaruh Syi’ah tampak dari pengagungan imam keenam Syi’ah Ismailiyah, Ja’far Sodiq, yang ditetapkannya sebagai wali besar bagi mereka. Sedangkan pengaruh Kristen tampak dari pengagungan mereka terhadap ajaran trinitas, yaitu Tuhan, Muhammad, dan Ali.

Kemudian dari tradisi mereka dalam menyajikan roti dan anggur dalam setiap upacara pembaiatan atau pentahbisan. Seperti dalam tarekat lainnya, Bektashis juga mengajarkan empat tingkat keyakinan agama, yaitu syariah, thariqah, ma’rifah, dan haqiqat.

Kedua, tarekat yang cukup memiliki pengaruh di masa kerajaan Ustmaniyyah ialah Tarekat Maulawi. Sebuah tarekat yang unsur spiritualnya dikembangkan dari ajaran Jalaludin Rumi.

Kitab Matsnawi, karya puisinya yang tak tertandingi keindahan dan kedalaman maknanya dan telah memiliki pengaruh luas, dan bahkan disebut sebagai kitabnya sufi. Beberapa ribath didirikan yang berperan penting dalam studi kesusasteraan Persia, pemikiran sufi, dan pendidikan elite birokrasi Ustmani.

Tarekat ini lebih banyak berkembang di kawasan perkotaan Anatolia dan Balkan. Ordo Maulawi ini memiliki ritus mistik yang unik dengan hadirnya tarian-tarian mereka yang berputar-putar, sehingga mereka dikenal dengan sebutan “darwis-darwis yang menari”.

Ketiga, terekat yang juga memiliki pengaruh luas di kerajaan Ustmaniyyah ialah Tarekat Naqsabandiyah. Tarekat ini didirikan di Bukhara pada abad ke-14 M oleh Bahauddin.  Dinamakan Naqsabandiyah yang berarti pelukis-pelukis yang memberikan makna karena pendirinya melukis gambar-gambar spiritual di dalam hati. Tarekat ini termasuk tarekat yang ortodoks, dan pada umumnya menarik pada kaum elit.

Keempat, yaitu Tarekat Khalwatiyah. Tarekat yang didirikan oleh Umar al-Khalwati di Persia yang berkembang di Turki, dan pada abad ke-18 M. Tarekat ini menyebar ke Mesir, Timur Tengah, Afrika Utara dan Barat.

Ajaran tarekat ini dipengaruhi oleh spiritual dari Suhrawardiyah. Tarekat ini menggunakan metode disiplin yang ketat, yaitu dengan khalwat. Jadi para kelompok harus mengasingkan diri dalam proses untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Di abad ke-15-16, Tarekat Bektashi dijadikan sekolah tentara oleh pasukan Jenisari—yaitu pasukan khusus Turki Ustmani. Selain itu, semua tarekat diberikan kebebasan oleh Ustmaniyyah dalam mengembangkan gerakannya tanpa mengurangi kemandirian guru-guru sufi.

Hampir semua kemunculan gerakan-gerakan tersebut berhubungan dengan negara. Namun ketika mereka mendukung terhadap keberadaan kekuasaan negara, maka mereka juga diberikan hak otonom dalam mengembangkan gerakannya, termasuk Tarekat Maulawi.

Dari penjelasan di atas, bahwa keberadaan tarekat sebagai gerakan keagamaan di masa Turki Ustmani tidak hanya sebatas faktor agama, melainkan juga terdapat faktor budaya dan bermuatan politis. Maka, tak ayal ketika beberapa tarekat-tarekat tersebut memiliki pengaruh besar bagi perkembangan Islam di kawasan-kawasan benua, terutama di pedalaman. Peran penting tarekat telah mampu memberikan pengaruh bagi kebudayaan yang juga turut berkembang.

Fenomena Keagamaan Masyarakat Iran

Safawiyah sebagai salah satu dinasti Islam yang berkembang di kawasan Timur Tengah, Safawiyah merupakan dinasti yang memiliki corak keagamaan syiah. Bermula dari sebuah gerakan sosial keagamaan tarekat, Dinasti Safawiyah bertransformasi menjadi gerakan sosial politik bernafaskan keagamaan.

Semua bermula dari kondisi sosial politik Iran yang waktu itu sedang kacau. Timur Leng yang merupakan pelaku baru dalam peradaban Iran. Menjadikan Samarkand sebagai pusat kekuasaan, ia mampu merebakkan sayap infasinya hingga ke dataran Asia bagian Barat, khususnya Iran.

Dalam kurun 1379- 1402, Timur mampu memperluas kekuasaannya yang membentang dari timur ke barat, termasuk Iran kemudian India Utara, Anatolia, dan Suriah Utara.

Di tahun 1405, Daulah Timuriyah membagi pusat kebudayaan Iran menjadi dua wilayah, yaitu di wilayah Transaksonia dan di wilayah Herat. Kedua wilayah tersebut memiliki perbedaan yang mencolok.

Di wilayah Transaksonia pada masa Ulugh Bey, mampu mengembangan ilmu pengetahuan arsitektural, kefilsafatan dan keilmuan Muslim yang hingga membentuk peradaban baru bagi Iran.

Di masanya, mampu membangun monumen sejarah di Samarkand, Bukhara, Herat, dan Balkh. Sementara untuk corak keagamaan di wilayah ini bercorak sufisme, misalnya di Samarkand dengan Naqsabandiyah dan Bukhara dengan individu tokoh-tokoh sufi.

Baca Juga  Konsep Syafa’at dalam Pandangan Fazlur Rahman

Kemudian wilayah kedua yaitu di Herat di wilayah ini mengalami kemajuan di masa pemerintahan Shah Rukh. Terutama di masa kepemimpinan Sultan Husain Bayqara, telah dibangun pusat kesusastraan Turki, salah satu tokoh pujangganya ialah Mir Ali Shir Navai (1441-1501).

Di masanya pula telah lahir pelukis kenamaan, yaitu Bihzad yang menciptakan lukisan bercorak baru, yaitu yang memasukan doktrin sufi kedalam lukisan.

Perlu diketahui bahwa dinasti Timuriyah didirikan oleh Timur Lenk, yang masih memiliki sambung darah ke Genghis Khan, Mongolia. Maka, tidak kaget ketika keberadaan mereka selalu memiliki hasrat menginvasi ke berbagai kawasan-kawasan, termasuk Persia.

Selain bangsa Mongol, di Iran sendiri sudah telah tersebar masyarakat bangsa Turki, yang keduanya memiliki model kehidupan berpindah-pindah. Selain itu, dalam institusi politik bangsa Iran pada masa itu banyak dipengaruhi oleh Mongol dan Turki.

Pengaruh politik Turki yang sangat menonjol ialah terjadinya perubahan sistem pemerintahan secara turun temurun kepada sistem pemerintahan yang didasarkan persaingan militer.

Secara umum, setelah berkembangan masyarakat Turko-Mongolia, yang terkenal dengan istilah Uymaq (negara keluarga). Sebuah Uymaq dibentuk oleh elit militer dan diorganisasi sebagai keluarga besar dalam kepemimpinan seorang kepala Uymaq. Namun, lambat laun suku-suku yang lebih tinggi akhirnya terdesar oleh mereka dari suku-suku yang rendah yang lebih besar. Maka, dalam perkembangannya, Uymaq bukan hanya bagi kalangan elit militer dan pembesar suku, melainkan dari suku lain pun bisa.

Beriringan dengan tumbuhnya sistem Uymaq dan ketidakstabilan beberapa rezim akibat invasi Mongol, telah mendorong pula tumbuhnya bentuk-bentuk baru dalam sosial-keagamaan di tengah masyarakat Iran/Persia.

Kepemimpinan komunitas masyarakat di Anatolia Barat, di Timur Laut Iran, dan Utara Mesopotamia banyak  diperankan oleh para sufi. Mereka melakukan berbagai praktik pengobatan spiritual, mengembangan kekuatan gaib, dan pemahaman terhadap pengetahuan esoterik atau interpretasi teks-teks bersifat magis.

Selain itu, mereka juga mengajarkan doktrin kemahdian yang akan datang untuk menolong dan menyelamatkan umat akibat situasi politik dan ekonomi yang mengacaukan. Maka, dalam hal ini, perkembangan komunitas multikultural keagamaan sufistik/spiritual, mencoba mengorganisasi sejumlah gerakan lokal untuk menyatukan masyarakat pedalaman dalam menentang berbagai penekanan politis.

Oleh karena itu, pada abad ke-13 M, telah berdiri setidaknya ada 4 gerakan tarekat, yang gerakannya memiliki pengaruh besar seperti: 1). Tarekat Kubrawi di Iran Barat, tarekat yang dinisbatkan kepada pendirinya Najm al-Din Kubra (1146-1221).

Tarekat ini memperoleh dukungan dari kalangan Sunni dan Syiah, melalui seruannya untuk menghormati keluarga Nabi khususnya jalur Ali. Mistisme Kubrawi juga memberikan daya tarik kepada kalangan Budha dan kalangan Pagan agar memeluk Islam.

2). Tarekat Hurufiyah, didirikan oleh Abdullah Astarabadi yang mengklaim dirinya sebagai “imam yang tersembunyi/mahdi”, dan pewaris kehendak Tuhan yang diwahyukan secara langsung.

Doktrin ini mencoba menafsirkan pada setia huruf hijaiyah dan memahami nilai-nilai numeris yang terkandung di dalamnya yang merupakan mikrokosmos dari realitas ketuhanan.

Gerakan ini diorientasikan pada proses konfrontasi antara baik dan buruk, seruan akan kedatangan mesiah yang akan menyelamatkan manusia.

3). Tarekat Sarbadar, merupakan tarekat yang didirikan oleh Syaikh Khalifah (abad ke-14) dan muridnya Hasan Juri. Tarekat ini mengajarkan akan datangnya imam mahdi untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran, dan menyatukan diri dengan penguasa lokal untuk menentang pemerintahan Mongol. Bahkan, tarekat melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Timuriyah di Kurdistan.

4). Tarekat Safawiyah, yang didirikan oleh Syaikh Safi al-Din (1252-1334), seorang sufi-sunni yang lahir dari keluarga Kurdi di Iran Utara. Ia yang mempelopori kebangkitan Islam yang menentang dominasi militer.

Bermula dari gerakan tarekat inilah, Safawiyah akan berkembang menjadi gerakan yang bersifat politis yaitu dengan membentuk kedinastian terbesar di abad modern (abad ke-16) di Siyraz, Persia.

Menariknya, tarekat yang dahulunya bernuansa Sunni, kini setelah masanya Syah Ismail, di tahun 1501 M, Safawiyah didaulat menjadi gerakan politis dan menjadi penguasa dinasti Safawiyah yang pertama yang sekaligus memiliki corak Syiah.

Fenomena Keagamaan di India: Studi Tarekat-Tarekat

Seiring dengan penyebaran Islam di wilayah India, terutama sejak Delhi. Kehidupan keagamaan di wilayah ini dibina atas peran ulama, sufi, dan intelektual Muslim yang berdatangan dari Timur Tengah.

Namun, perlu diketahui bahwa setidaknya ada 4 periodesasi Islam di India; pertama, zaman Nabi Saw hingga Dinasti Ghuri; kedua, masa kesultanan Delhi (1206-1526 M); ketiga, masa Dinasti Mughal (1526-1857 M; keempat, penjajahan dan pergolakan Islam sampai lahirnya Pakistan dan Bangladesh.

Baca Juga  Ulasan Buku "Politik Kerakyatan dan Populisme Teknokratik Jokowi"

Corak keagamaan dalam proses penyebaran Islam tersebut lebih dominan atas pengaruh kaum sufi, bahkan peranan mereka merupakan faktor yang paling penting. Kemudian pada perkembangan keagamaan pada masa pertengahan di India, yang banyak dilakukan oleh sejumlah pejuang sufi yang berdatangan ke India untuk mencari prestasi keagamaan, terutama melalui pengembangan tarekat sufi. Antara lain terdapat;  

1.) Tarekat Kazaruniyah, tarekat ini turut menyokong penyebaran Islam di Khasmir; kaum mistik pedalaman menyebarkan pemikiran sufi tentang hierarki universal para wali dan praktik pemujaan makam; dan pengikut malamatis dan qalandaris yang mencerminkan pola kehidupan duniawi.

2). Tarekat Suhrawardiyah, tarekat yang dibawa oleh Syaikh Bahaudin Zakariyah ke India telah banyak peminatnya. Sehingga ia menjadikan Multan sebagai basis utamanya, bahkan tarekat ini berkembang di Uch dan Gujarat.

3). Tarekat Chistiyah, tarekat ini didirikan oleh Syaih Khwaja Abu Ishaq Shami Chisti di Afganistan. Namun, tarekat ini berkembang dan dikenal ketika dibawa oleh Mu’inudin Hasan Chis. Tarekat ini tersebar di penjuru Rajasthan, Bengal, Deccan, dan Punjab.

4). Tarekat Shattariyah, tarekat ini didirikan oleh Abdullah Shattar abad ke-15 di India. Pengejaran tarekat ini bermula dari berkunjungnya Abdullah Shattar ke lembah Ganges dengan berpakaian seperti seorang raja dengan sejumlah pengikut dalam seragam militer. Mereka membawa bendera dan menabuh tambur untuk mempropagandakan keyakinannya.

Pengikut memandang Abdullah Shattar sebagai wujud yang berhubungan langsung dengan para wali, nabi, dan Tuhan. Tarekat ini tidak hanya penekanan pada bidang tasawuf, melainkan tarekat ini juga mengajarkan agar seseorang menjadi kaya dan berhubungan dekat dengan elit penguasa.

Kemudian dalam perkembangannya, terutama di masa Mughal, pengaruh Tarekat Naqsabandiyah dan Qadiriyah menggantikan pengaruh tarekat Suhrawardiyah dan Chistiyah. Bahkan salah satu tokoh Tarekat Naqsabandiyah di India mampu mendirikan tarekat sendiri, yaitu Tarekat Mujaddiyah. Sebuah tarekat yang diarahkan kepada proses ortodoksi dan semangat pembaharuan Islam.

Makna Historis-Filosofis

Setelah membaca uraian di atas bahwa perkembagan sejarah Islam memiliki peran penting dalam membangun umat. Tidak hanya imperium, melainkan peran penting masyarakat dalam kajian sosial Islam, yaitu mampu menarasikan perjalanan kegiatan sosial masyarakat Islam.

Sekaligus, dari munculnya buku ini memberikan informasi bahwa kesejarahan Islam sampai berdirinya imperium yang bersifat politis maupun gerakan keagamaan (tarekat) yang bersifat sosial-keagamaan, telah menjawab bahwa masyarakat ‘ajam Islam atau non-Arab mampu mengembangkan Islam hingga menjadi imperium besar. Ini terbukti dengan besarnya pengaruh ketiga kerajaan Islam di era terakhir kekhalifahan-kesultanan Islam di dunia.

Tak segan-segan, dari keberadaan imperium Islam di kawasan-kawasan, telah mampu memberikan interpretasi terhadap kebudayaan setempat sebagai spektrum pendobrak bagi mendiasporanya Islam dari pusat Islam itu sendiri.

Maka dari itu, keterlibatan kebudayaan yang beragam, telah memiliki multitafsir terhadap perkembagan Islam hingga ke berbagai kawasan-kawasan yang tidak luput dari kontemplasi budaya-budaya masyarakat itu sendiri.

Secara filosofisnya, bahwa menuliskan sejarah tidak terus menerus pada arus atas yang bersifat politis. Perlu kemudian menuliskan sejarah dari kalangan patriotis di masyarakat bawah yang bersifat sosial maupun keagamaan.

Elitisitas memang selalu menarik, akan tetapi ketika mampu menarasikan alitisitas daripada eksistensi masyarakat Islam dalam kesehariannya hingga perkembangan bahkan membentuk peradabannya serta urbanisasinya hingga membentuk kebudayaan baru bagi kehidupannya, itu juga memiliki sejumlah historiografi yang tetap menarik.

Sebab pada dasarnya sejarah bukan sebuah keberpihakan, melainkan sebuah catatan atas peristiwa yang relevan dengan fakta sekaligus yang memberikan kandungan nilai-nilai bagi masa depan atas pelajaran dari masa lampau.

Dari kisah dan persitiwa masa lampau itulah, pertama, umat Islam mampu melihat, mempelajari, mengetahui, memahami hingga merealisasi bahwa agar lebih baik perlu adanya perubahan. Tidak harus berdampak besar, setidaknya mampu menggerakkan;

kedua, setidaknya dengan adanya peristiwa tersebut bisa memberikan sejumlah informasi bagi setiap bangsa-bangsa bahwa perjuangan, nasionalisme dan berkebudayaan ialah bermuara bagi masa depan bangsa dan itu penting serta bermula dari sejarah.

Maka, pelajaran sejarah merupakan sebagai bekal bagi generasi masa depan bangsa dan cinta tanah air. Dengan memahami sejarah, mereka akan memahami perjuangan bangsa dan kecintaan terhadap kebudayaan dan tanah air mereka.

Daftar Buku

Judul          : Komunitas Multikultural dalam Sejarah Islam Periode Pertengahan

Penulis      : Prof. Dudung Abdurrahman. M.Hum

Penerbit    : Ombak, Yogyakarta

Tahun        : 2016

Editor: Soleh

Ahmad Zainuri
24 posts

About author
Ahmad Zainuri, lahir di Jember, 19 Desember 1997. Suka nulis, sejak SMA dan hingga kuliah. Hobi, sepak bola, menulis, makan. Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds