Review

Hadits tentang Usia Nikah Aisyah : Kritik Jonathan Brown terhadap Jasser Auda

6 Mins read

Oleh : Muhamad Rofiq*

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya yang berjudul Otoritas dan Proses Formasi Hadits : Kritik Jonathan Brown Terhadap Konsep Jasser Auda. Selain beberapa topik teoretis seputar otoritas dan proses formasi hadits, ada topik lain yang menjadi titik perbedaan dan perdebatan signifikan antara Jonathan Brown dan Jasser Auda. Keduanya berbeda pendapat terkait status hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra. sendiri yang menyebutkan bahwa dirinya dinikahi baginda Rasulullah saat usia enam tahun dan digauli pada saat berusia sembilan tahun.

Pada hari ketiga sesi kuliah Jasser, ia menjelaskan bahwa dirinya menolak hadits tersebut. Pada sesi kuliah Jonathan, sebaliknya, ia menegaskan bahwa ia menerima hadits tersebut sebagai hadits yang sahih. Menurutnya, pandangan Jasser sangat simplikatif dalam melihat hadits tersebut.

Tulisan ini akan menggambarkan bagaimana argumen-argumen Jasser tentang hadits pernikahan Aisyah dan bagaimana Jonathan memahami hadits tersebut. Satu caveat (catatan) perlu saya sebut di awal. Perdebatan keduanya adalah terkait dengan status dan validitas hadits, bukan tentang praktik kontemporer pernikahan anak di usia dini. Jonathan Brown yang membela hadits Aisyah, juga menolak praktek tersebut. Jadi, ini perdebatan murni tentang status hadits.

Bagi Jonathan, orang boleh menolak praktik menikahi anak di bawah umur, tapi tidak dengan menggugat hadits sahih Nabi yang merupakan fakta sejarah. Pandangan Jasser Auda dan Jonathan Brown tentang praktik pernikahan anak di bawah umur di luar perhatian dari tulisan ini.

 

Argumen Jasser Auda

Untuk menolak hadits tentang Nabi menikahi Aisyah saat usianya masih enam tahun dan menyetubuhinya saat berusia sembilan tahun, Jasser menggunakan konsep kritik matan. Menurut Jasser, kritik sanad tidaklah cukup. Satu hadits baru bisa dikatakan sahih setelah matannya diuji terlebih dahulu. Jasser menjelaskan bahwa kritik matan setidaknya dilakukan dari tiga tolak ukur, yaitu: kesesuaian dengan prinsip-prinsip umum Alquran, hadits Nabi lainnya, dan konteks umum sejarah Islam. Terkait perlunya pengetahuan sejarah untuk mengevaluasi kesahihan hadits, ia bahkan menyebut: “our sense of history is more important than isnad”.

Jasser menilai bahwa hadits tentang usia pernikahan Aisyah selama ini cenderung dibaca hanya dari sudut pandang sanad saja. Padahal jelas ada ayat Alquran yang menurut Jasser bertentangan dengan hadits ini. Ayat tersebut adalah surat al-Nisa ayat 6 yang berbunyi: “wabtalul yatama hatta iza balaghu al-nikah (dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin)”.

Menurut Jasser, mustahil seorang Nabi yang merupakan teladan dan panutan umat, melanggar ayat tersebut. Adalah mustahil juga menganggap usia enam tahun sebagai usia cukup umur untuk menikah. Kita tidak punya bukti untuk mengatakan bahwa usia tersebut sudah tergolong dewasa secara psikologis dan fisiologis untuk menikah untuk konteks masyarakat Arab di zaman itu.

Baca Juga  Ilmu Maqulat sebagai Upgrading Taraf Berpikir Manusia

Selain itu, kritik Jasser, hadits tersebut bertentangan dengan beberapa hadits lain. Di antaranya hadits yang menyebut bahwa Aisyah menyaksikan peristiwa ayahnya hijrah ke Habasyah. Peristiwa ini terjadi tahun keempat dari kenabian. Hadits ini juga bertentangan juga dengan riwayat dari Ibn Ishaq, sejarawan yang menurut Jasser ditolak oleh ahli hadits karena dianggap memiliki kecendrungan al-tasyayyu’ (partisan Syiah), yang menyebutkan bahwa Aisyah masuk Islam sebelum Umar masuk Islam.

Dua hadits ini mengindikasikan bahwa Aisyah sudah remaja pada saat Nabi menikahinya di tahun kedua setelah peristiwa hijrah atau tahun kelima belas setelah kenabian. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Aisyah sudah lahir pada saat Nabi Muhammad diutus sebagai seorang Nabi. Menurut estimasi Jasser, Aisyah dinikahi Nabi Muhammad pada saat usia Aisyah sekitar 19 tahun.

Dari sisi sanad, menurut Jasser, hadits tentang Nabi menikahi Aisyah pada saat usianya enam tahun juga sebenarnya bermasalah. Dalam sanadnya, ada seorang perawi bernama Hisyam bin Urwah. Hisyam adalah perawi terpercaya pada fase pertama dalam hidupnya. Setelah ia hijrah ke Kufah dan mendekat ke penguasa, ia menjadi pribadi yang rusak (“he becomes corrupt”).

Menurut beberapa biografer, kata Jasser, Hisyam menderita penyakit amnesia: ia tidak ingat apa yang ia lakukan dan apa yang ia ucapkan. Ia juga disebut sebagai mudallis (perawi yang suka menyembunyikan kecatatan hadits) oleh beberapa kritikus hadits. Jasser menyayangkan Imam Bukhari masih meloloskan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Hisyam. Imam Bukhari menerima riwayatnya karena tampaknya memperhitungkan Hisyam sebagai anak seorang sarjana tabi’in terkenal Urwah bin Zubair, murid sayyidah Aisyah sendiri.

Thus, Jasser menyimpulkan, hadits ini adalah hadits yang tidak sahih alias hadits yang dipalsukan (forged hadith). Menurut asumsi Jasser, dinasti Umawiyyah-lah yang menciptakan hadits ini untuk melegitimasi perbudakan terhadap anak kecil yang dilakukan para penguasanya. Sayang sekali, kata Jasser, Imam Bukhari menerima hadits ini untuk membela perilaku korup pemimpin dinasti Umayyah.

 

Argumen Jonathan Brown

Menanggapi pemikiran Jasser, Jonathan mengajukan beberapa gugatan metodologis. Pertama, Jonathan menyebut bahwa pemahaman Jasser sangat parsial terhadap hadits ini. Ia tidak melakukan upaya rekonstruksi keseluruhan sanad hadits. Hadits tentang usia pernikahan Aisyah sebenarnya diriwayatkan oleh banyak mukharrij melalui banyak jalur dan menggunakan matan yang berbeda-beda. Fakta ini menunjukkan bahwa hadits-hadits ini mustahil untuk bisa dipalsukan.

Para pengkritik hadits usia pernikahan Aisyah, seperti Jasser, selama ini tidak sadar dengan fakta ini. Mereka cenderung hanya fokus pada satu sanad saja, khususnya hanya terpaku pada perawi bernama Hisyam bin Urwah. Menurut Jonathan, bahkan jika jalur Hisyam bin Urwah tidak dihitung atau tidak dianggap ada, hadits ini tetap memiliki banyak jaringan sanad yang lain. Gugurnya riwayat Hisyam tidak lantas membuat gugur laporan bahwa Aisyah menikah dengan baginda Nabi di usia enam tahun dan disetubuhi pada saat usia sembilan tahun.

Baca Juga  Panduan Self Improvement dalam Islam

Tanpa menghitung riwayat Hisyam, kata Jonathan, kita memang akan menyisikan riwayat dari Shahih Bukhari. Tetapi ada riwayat lainnya dari Abdul Razaq as-Sanani (penyusun kitab al-Musannaf), Muslim, al-Nasai, Ibnu Majah, dan al-Mawsili (penyusun kitab Musnad al-Mawsili), yang tidak melalui Hisyam bin Urwah.

Bahkan, dari keseluruhan sanad yang ada tersebut, jaringan terkuat ada di versi as-Sanani, yang perawinya lebih sedikit dan termasuk silsilah zahabiyah (mata rantai emas). Perawi dari sanad ini adalah Ma’mar, Zuhri, Urwa, dan Aisyah Ra. sendiri. Kata Jonathan, hadits ini bahkan jika dikritik dengan metode autentikasi hadits dari sarjana Barat, metode isnad cum matan versi Harald Motzki yang lebih ketat sekalipun, tetap masih bisa dibuktikan kesahihannya.

Kedua, Jonathan menyebut bahwa para penggugat hadits ini, Jasser termasuk di dalamnya, sebenarnya tidak menyadari bahwa saat mereka mengkritik hadits ini, mereka sudah membawa bias modernity ke dalam fakta sejarah. Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah menerapkan cara berfikir anakronistik, memaksakan standar nilai masa kini produk zaman modern untuk membaca peristiwa faktual di masa lalu.

Dalam sejarah kesarjanaan fikih dan hadits pra modern, hadits ini tidak pernah dipertanyakan para ulama sekalipun. Jika hadits ini bermasalah tentu mereka akan mendiskusikannya. Setidaknya akan masuk kategori mukhtalaful hadits (hadits yang diperselisihkan maknanya).

Kenyataannya, dalam sejarah kesarjanaan Islam pra modern, hadits ini tidak pernah dipermasalahkan para ulama. Baru setelah mengalami perjumpaan dengan modernitas Barat melalui kolonialisasi-lah, hadits ini kemudian dianggap sebagai anomali. Jonathan menulis: “…it was modern Western opprobrium that brought the problematic precedent of the Prophet’s marriage with Aisha to the fore” (Misquoting Muhammad,143).

Terkait dengan bias modernity dari Barat, Jonathan menemukan bahwa orang yang pertama kali menggugat hadits ini adalah seorang orientalis dari Inggris bernama David Margoliouth. Pada tahun 1905, dalam bukunya Muhammad and the Rise of Islam, ia menyebut pernikahan ini sebagai “ill-assorted union” (pernikahan yang tidak pantas).

Margoliouth sendiri sangat dipengaruhi oleh kultur pernikahan di Inggris, negaranya, di mana perempuan baru bisa menikah setelah berusia dua puluh tahun. Di negara Eropa lainnya, pada zaman pra-modern, pernikahan anak di usia dini bukan dianggap suatu masalah. Oleh karena itu, Jonathan mencatat, dalam kesarjanaan orientalisme di Barat yang banyak menulis karya-karya polemis yang menyerang Islam, hadits ini juga tidak pernah digugat.

Padahal para orientalis, termasuk juga orang-orang Kristen, polemik sejak abad ke delapan Masehi semisal John Damascus (wafat 749), Matthew of Paris (wafat 1259), Voltaire (wafat 1722), paling suka mencari-cari poin kelemahan Nabi untuk menyerang Islam. Mereka sangat jeli dalam menemukan titik kelemahan Islam. Poin terkait usia pernikahan Aisyah tidak sama sekali mereka sentuh. Ini menunjukkan bahwa di Barat sendiri, selain di negara Inggris, menikahi perempuan yang masih kecil bukan merupakan norma yang aneh.

Baca Juga  Refleksi ‘Asyura Bersama Buya Hamka

Ketiga, sebagaimana disebut di atas, menurut Jonathan, para ulama yang hidup di zaman pra-modern tidak pernah mempermasalahkan hadits ini. Jonathan menyebut tokoh yang pertama kali menggugat praktik pernikahan anak di dunia Muslim adalah seorang perempuan bernama Huda Sharawi, pendiri the Egyptian Feminist Union. Pada tahun 1923, setelah pulang menghadiri konferensi internasional tentang perempuan di Italia, ia mengusulkan agar parlemen Mesir membuat undang-undang pembatasan usia nikah.

Jauh setelah gugatan Huda Sharawi terhadap budaya pernikahan di Mesir, para ulama mulai memproblematisasi hadits ini. Sarjana Muslim pertama yang menggugat hadits ini adalah sejarawan dan sastrawan terkenal bernama Abbas Aqad (wafat 1968) dalam karyanya yang berjudul al-Siddiqa bint al-Siddiq yang kemudian diikuti oleh ulama lainnya.

Apa yang tidak disadari oleh Abbas Aqad, kata Jonatahan, adalah kenyataan bahwa dirinya secara tidak sadar telah masuk ke dalam jebakan modernity dan telah bersikap reaktif terhadap serangan dari Margoliouth. Ia telah menggunakan framework nilai modernitas yang lahir dari masyarakat Barat untuk mengevaluasi hadits Nabi. Padahal, yang gagal direfleksikan oleh Abbas Aqad dan kemudian Jasser Auda adalah kenyataan sosiologis bahwa norma Barat sendiri terus berkembang. Ada banyak nilai di Barat yang bergeser pasca mereka memasuki zaman industralisasi dan urbanisasi.

Nilai-nilai yang tadinya tidak dianggap tabu di tengah masyarakat petani (peasant society) yang hidup di zaman pra-modern kemudian bergeser menjadi tabu setelah modernisasi menyapu masyarakat. Menurut pelacakan yang dilakukan oleh Jonathan, di dunia Barat pra modern, perempuan terbiasa menikah di usia yang sangat muda. Umumnya, mereka langsung menikah setelah mereka mendapatkan menstruasi.

Jonathan mengutip buku berjudul American Child Bride (terbit tahun 2016) tentang sejarah pernikahan di Amerika Serikat. Dalam buku ini disebutkan sebuah fakta bahwa sampai akhir tahun 1800-an (abad 19) di Amerika menikahi anak di bawah 12 tahun masih dianggap normal. Bahkan, di negara bagian Georgia, usia pernikahan legal bagi perempuan sampai abad ke-20 adalah sepuluh tahun.

Fakta ini menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial di Barat terus mengalami pergeseran dan tidak layak dijadikan point of reference (sumber rujukan). Selain itu, umat Islam harus betul-betul jeli agar tidak terjebak membawa bagasi masa kini untuk membaca fakta sejarah di masa lalu. Inilah yang oleh Jonathan disebut sebagai pentingnya melakukan dekolonialisasi pemikiran Islam: mengidentifikasi bias-bias modernity dalam cara kita bersikap dan berfikir di masa kini sebelum kemudian kita proyeksikan untuk membaca masa lalu dan memahami hadits Nabi.

*) Alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM USA

Muhamad Rofiq
22 posts

About author
Alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM USA
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds