Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read

Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian hukum dan keadilan biasanya saling bertentangan.

Hakim dan Undang-Undang dalam Beberapa Kasus

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim dan hakim konstitusi tidak hanya memutus secara normatif atau sesuai undang-undang saja, tapi juga harus melihat hukum yang hidup dalam masyarakat guna mewujudkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.

Tetapi seperti yang terlihat dalam kenyataan hakim masih menjadi corong undang-undang. Misalnya saja kasus pada nenek Minah yang dituduh mencuri 3 buah kakao dari Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA), yang kemudian di vonis 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Padahal dalam persidangan, nenek Minah hanya mengambil 3 buah kakao yang tergeletak di bawah pohonnya.

Secara normatif memang benar memenuhi pasal pencurian Pasal 362 KUHP, akan tetapi jika diperhatikan lebih rinci, tentu ini tidak memberikan rasa keadilan. Bagaimana tidak, seseorang yang hanya mengambil 3 kakao divonis mirip pencurian pada umumnya. Memang secara kepastian hukum sudah memenuhi, akan tetapi jika dilihat dari sisi keadilan tentu hal tersebut kurang adil. Mengapa demikian?

***

Contoh lain adalah kasus korupsi bantuan sosial (Bansos) Covid-19 yang dilakukan oleh Juliari P Batubara, yang mana pada amar putusan hakim pada waktu itu hanya memvonis 12 tahun penjara, sesuai dengan dakwaan dalam pasal 12 UU Tipikor. Padahal jika merujuk pada pasal 2 UU Tipikor, harusnya vonisnya pidana mati karena tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Juliari P Batubara pada saat masa pandemi Covid-19.

Baca Juga  Politik Transaksional Berawal dari Janji Imbalan untuk Anak

Walaupun hakim memiliki rasio desidensi sendiri dalam memutus suatu perkara, hal ini rasanya kurang begitu pas. Ini kemudian yang menjadi masalah sampai saat ini, dimana hakim cenderung pasif dan tidak menggali lebih jauh hukum yang hidup dalam masyarakat. Sehingga sampai saat ini pun hakim masih menjadi corong undang-undang.

Dalam kedua kasus yang dijelaskan, terlihat bahwa meskipun hakim memiliki kewajiban untuk memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, namun dalam praktiknya hal ini tidak selalu terwujud. Sebagai contoh, dalam kasus nenek Minah, meskipun secara normatif perbuatannya dapat dinyatakan sebagai pencurian berdasarkan Pasal 362 KUHP, namun jika dilihat dari sudut pandang keadilan, hukuman yang diberikan terasa tidak proporsional dengan perbuatannya yang sebenarnya hanya mengambil kakao yang tergeletak di bawah pohonnya.

Kondisi ini menunjukkan ketidakseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan dalam putusan hakim. Meskipun Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 menegaskan pentingnya hakim untuk memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, namun dalam praktiknya, terlihat bahwa hakim masih cenderung terpaku pada norma-norma yang tertulis dalam undang-undang.

Perlunya Hukum Progresif

Konsep hukum progresif menjadi penting dalam konteks ini. Hukum progresif merupakan pendekatan hukum yang menekankan bahwa hukum harus mampu beradaptasi dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat. Prinsip ini mengakui bahwa masyarakat selalu berubah dan berkembang, sehingga hukum juga harus mampu berubah untuk tetap relevan dan efektif.

Dalam konteks penyeimbangan antara kepastian hukum dan keadilan, pendekatan hukum progresif dapat membantu hakim dalam membuat keputusan yang lebih sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan memperhatikan konteks sosial dan nilai-nilai yang berkembang, hakim dapat menginterpretasikan undang-undang secara lebih luas dan fleksibel sesuai dengan tuntutan keadilan yang diharapkan oleh masyarakat.

Baca Juga  Enggan Bertanya, Menutup Pintu Ilmu

Namun, implementasi hukum progresif tidaklah mudah dan memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak terkait, termasuk hakim, pembuat kebijakan, dan praktisi hukum lainnya. Perubahan budaya dan mindset dalam sistem peradilan juga diperlukan untuk memfasilitasi pendekatan hukum yang lebih progresif.

Penerapan hukum progresif masih belum luas di banyak negara. Meskipun konsepnya memiliki potensi besar untuk meningkatkan keadilan dalam sistem hukum, namun implementasinya seringkali terhambat oleh berbagai faktor, termasuk resistensi terhadap perubahan, kurangnya pemahaman tentang konsep tersebut, dan kendala institusional.

***

Beberapa negara telah memperkenalkan elemen-elemen hukum progresif dalam sistem peradilan mereka, namun masih ada banyak tantangan yang harus diatasi. Misalnya, diperlukan pelatihan yang intensif bagi para hakim dan praktisi hukum untuk memahami dan menerapkan pendekatan hukum progresif dengan tepat. Selain itu, diperlukan juga dukungan dari berbagai lembaga dan stakeholder lainnya, termasuk lembaga legislatif dan eksekutif, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perubahan dalam sistem hukum.

Penerapan hukum progresif juga dapat memerlukan perubahan dalam budaya hukum dan norma-norma sosial yang telah mapan. Oleh karena itu, upaya untuk mempromosikan hukum progresif harus bersifat komprehensif dan melibatkan berbagai pihak dalam masyarakat.

Meskipun masih banyak tantangan yang harus diatasi, namun pengenalan dan penerapan hukum progresif dapat menjadi langkah penting menuju sistem peradilan yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.

Editor: Soleh

Avatar
6 posts

About author
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UNAIR
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds