Oleh: Betania Kartika
Ramadhan adalah bulan bagi Umat Islam untuk melakukan puasa wajib dari fajar hingga matahari terbenam. Ramadhan juga merupakan bulan Al-Qurán yang memberikan kesempatan emas bagi umat Islam untuk lebih memaknai dan mendalami ajaran Al-Qurán. Dengan adanya pembatasan gerakan atau tinggal di rumah untuk memutus rantai pandemic Covid-19, ini memberikan kesempatan tambahan untuk mempelajari dan mendalami pesan-pesan dalam Al-Qurán.
Ada banyak cara Allah menyampaikan pesan pesan dan ajaran ajaran dalam Al-Qurán. Setidaknya ada sembilan gaya atau usluub-al-Qurán dalam metode penyampaian ini, di antaranya terkait dengan kisah-kisah, termasuk cerita para Nabi, Utusan Allah, dan generasi mereka. Gaya Al-Qurán ini mempermudah kita dalam memahami pesan-pesan Tuhan, agar kita selalu menyembah Allah setiap saat dan supaya seluruh kehidupan manusia bernilai ibadah (Al-Qurán 51:56).
Menyembah Allah banyak caranya dan memiliki banyak bentuk. Bahkan kegiatan sehari-hari kita bisa menjadi bentuk ibadah kita pada Allah. Apapun yang kita lakukan dengan niat tulus dan benar, dan dalam lingkup kebaikan, maka itu merupankan penghambaan kita kepada Tuhan. Misalnya, makan dan minum kita sehari-hari, adalah bentuk ibadah dan bukan semata-mata hanya untuk mengatasi rasa lapar dan dahaga. Apa yang kita makan, kapan kita makan, bagaimana kita makan, dan seberapa yang kita makan, diterima oleh Allah sebagai bentuk ibadah jika kita melakukannya dengan niat dan cara yang tulus, baik, dan benar.
Masalah Konsumsi
Masalah konsumsi ini bukan hal baru yang aturannya disampaikan pada masa Nabi Muhammad SAW saja, melainkan pedoman dan aturannya sudah bermula sejak zaman manusia pertama, yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam. Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.”
Beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat ini walaupun tidak tercantum langsung, di antaranya:
- Makan dan minum adalah suatu bentuk sarana untuk mematuhi dan menyembah Allah, dan tunduk pada pedoman Allah SWT.
- Larangan mendekati pohon tertentu di sini, menunjukkan ujian yang diberikan kepada umat manusia, atas dasar hikmah Ilahiyah.
- Ini menunjukkan bahwa mendekati hal-hal yang haram, bisa mengarahkan seseorang untuk melakukan perbuatan haram tersebut, maka larangannya bermula dari, ‘jangan dekati’. Dalam istilah Usul Fiqh disebut ‘saddu dzariáh’ atau ‘saddu dzaraí’’ yaitu menutup pintu-pintu atau jalan-jalan yang bisa membawa kepada perkara yang diharamkan.
- Siapa pun yang melampaui batas yang dibolehkan dan diizinkan, menyeret dirinya sendiri untuk menjadi orang yang zalim, pribadi yang tidak beradab dan ingkar pada Allah SWT.
Larangan mendekati pohon ini adalah simbol dari ujian yang akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Contohnya dalam hal makanan, manusia diberikan banyak pilihan halal untuk dikonsumsi agar terjaga secara jasmani dan rohani. Contoh dalam ayat ini, menyatakan bahwa Nabi Adam dan istrinya disediakan bagi mereka berbagai aneka makan halal untuk dimakan kapan dan di mana mereka suka. Namun mereka tidak boleh mendekati pohon tertentu yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai ujian dan cobaan. Kegagalan dalam mematuhi perintah ini, yang akan menjadikan mereka termasuk dalam golongan orang orang yang zalim.
Konsumsi Halalan Thayyiban
Umat yang beriman sadar bahwa makan dan minum bukan sekedar memuaskan rasa lapar dan haus, tetapi itu adalah salah satu dari bentuk wujud ibadah yang memiliki arti tersendiri, maka aturan halalan (dibenarkan/dibolehkan oleh Syariat) dan thayyiban (baik/bersih/suci/selamat/terjamin, dll) erat kaitannya dengan norma-norma agama dan kehidupan seseorang. Hal ini membuat kita menjadi lebih faham bahwa tidak mengkonsumsi halalan thayyiban adalah sebuah pelanggaran atas aturan Allah yang sudah ditentukan, dan menjadi sebab seseorang mengukit langkah-langkah Setan (Al-Qurán 2:168) yang akan menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Sebuah contoh di ayat ini adalah kisah yang menggambarkan kejadian ketika Setan menyebabkan Adam ‘alaihissalam dan Hawa tergelincir dan tergoda sehingga mereka terprovokasi untuk memakan dari pohon terlarang. Konsekuensinya adalah keluarnya mereka berdua dari surga dan segala kenyaman di dalamnya serta terlepas pakaian yang dipakainya. Sedangkan pakaian adalah salah satu cara manusia menutupi auratnya dan menjaga kehormatannya (Al-Qurán 2:36, 7:22).
Halalan thayyiban menciptakan kapasitas dalam diri individu untuk bertindak dengan benar. Sebuah Hadits menyebutkan, “sesungguhnya Allah ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana dia memerintahkan para rasul-Nya dengan firman-Nya: Wahai Para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalehlah. Dan Dia berfirman: Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian. Kemudian beliau menyebutkan ada seseorang melakukan perjalan jauh dalam keadaan kusut dan berdebu. Dia mengangkatkan kedua tangannya ke langit seraya berkata: Ya Tuhanku, Ya Tuhanku, padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan.” (HR Muslim).
Menjaga Kehormatan dan Moralitas
Mengkonsumsi halalan thayyiban dan menghindari hal-hal yang meragukan dapat melindungi agama dan kehormatan seseorang. Dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma berkata,”Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus ke dalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus ke dalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Allah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati” [Bukhari no. 52, Muslim no. 1599].
Mengkonsumsi halalan thayyiban meningkatkan moral yang baik dan kesopanan seseorang. Ia berkaitan sangat erat dalam kualitas ibadah pada kehidupannya. Allah melarang Nabi Adam as dan istrinya mendekati pohon itu agar mereka selalu patuh dan tidak terjerumus pada amoralitas. Ini menyiratkan pesan Ilahi, bahwa penjagaan diri dalam batas batas yang diperbolehkan (halal) menunjukkan penyerahan dan kerendahan hati seseorang.
Contoh pertama kesalahan manusia yang melampaui batas halal dalam hal ini dicatat oleh Al-Qurán (7:22 dan 20:121). Keduanya membangun sebuah hubungan yang erat antara makan halal dan kehormatan. Semakin sedikit konsumsi halalan thayyiban semakin rendah tingkat kehormatan yang akan tercapai. Dan sebaliknya, semakin banyak konsumsi halalan thayyiban, semakin tinggi tingkat kehormatan, kesopanan, kewibawaan, dan keberkahan pada kehidupannya.
Dengan demikian, tingkat moralitas tertinggi yaitu Akhlaq Karimah, yang merupakan kesempurnaan seseorang sebagai manifestasi hamba Allah yang taat, akan tercapai.
* Dr Betania Kartika, Head Halal Awareness, Information, and Outreach di International Islamic University Malaysia (IIUM) dan Penasehat Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Malaysia
Editor: Arif