Hari Kartini
Ada satu kebiasaan di media sosial yang selalu terulang dalam Peringatan Hari Kartini. Kebiasaan itu adalah menyebarkan narasi gugatan terhadap Kartini seraya menawarkan sosok alternatif selain Kartini sesuai dengan afiliasinya.
Misalnya pada tanggal 21 April, banyak bermunculan tulisan-tulisan mengenai tokoh perempuan seperti Nyai Siti Walidah pendiri Aisyiyah, Rohana Kudus wartawan perempuan pertama asal Sumatera Barat, Dewi Sartika tokoh perempuan asal tatar Sunda, Rahmah El Yunusiyah pendiri Diniyah Puteri Padang Panjang dan Cut Nyak Din pejuang kemerdekaan asal Aceh.
Mengapa Harus Kartini?
Tokoh-tokoh tersebut dimunculkan sebagai bentuk “gugatan halus” terhadap Kartini. Mengapa Kartini diistimewakan dengan hari lahirnya dijadikan sebagai libur nasional, sementara tokoh perempuan lainnya tidak? Padahal tokoh perempuan selain Kartini juga tak kalah hebat lho.
Saya ingat saat masih duduk di bangku sekolah dasar, ibu saya mengatakan seperti ini, “Nak, sebenarnya dari tanah Sunda juga ada tokoh perempuan hebat lho, namanya Dewi Sartika,”.
Jika Kartini mempunyai lagu legendaris yang sering dinyanyikan, Dewi Sartika pun mempunyai lagu dengan lirik bahasa Sunda. Kebetulan saya tidak hafal karena tidak pernah diajarkan di sekolah. Saya mencium adanya rivalitas antara suku Sunda dan Jawa dalam Kartini vis a vis Dewi Sartika.
Setelah saya dewasa, saya aktif di Persyarikatan Muhammadiyah. Ada sebuah tulisan berjudul Nyai Siti Walidah, Lebih Dari Seorang Kartini yang dimuat di situs pekalonganmu.com. Mu’arif seorang pegiat sejarah Muhammadiyah pun menulis di ibtimes.id berjudul Melampaui Kartini: Siti Walidah Perintis Gerakan Perempuan Islam di Indonesia.
***
Dua tulisan tersebut menunjukan bahwa ada rivalitas antara Kartini dengan Siti Walidah. Kartini adalah representasi kelompok priyayi meminjam kategorisasi Clifford Geertz, sementara Nyai Siti Walidah adalah representasi kaum santri.
Tentu saja ada upaya mendekatkan Kartini dengan kaum Santri, misalnya dengan kisah dialog Kartini dengan Kiai Sholeh Darat. Namun hal tersebut tak mengubah fakta bahwa menurut beberapa sumber, Kartini adalah seorang penganut Kejawen yang sinkretik.
Mari kita kembali ke pertanyaan utama, mengapa harus Kartini? Mengapa bukan tokoh lain yang dijadikan simbol dari emansipasi perempuan?
Penetapan Tanggal 21 April sebagai Hari Kartini dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1964 sekaligus pengangkatannya sebagai pahlawan nasional. 21 April diambil dari hari kelahiran Kartini yang jatuh pada tanggal tersebut tahun 1879.
Artinya yang paling tahu alasan pemilihan Kartini sebagai simbol emansipasi perempuan sehingga hari kelahirannya ditetapkan sebagai hari libur nasional adalah Soekarno. Tentu saja kita tetap bisa menganalisis kelebihan-kelebihan Kartini yang menjadi landasan kuat penetapan tersebut.
Menurut Dosen Prodi Ilmu Sejarah FIB Universitas Indonesia Tini Ismiyani, Kartini itu diangkat menjadi tokoh karena keunikannya. Dia keturunan ningrat, dia suka menulis, memiliki jaringan politik yang luar biasa, dan bersahabat dengan orang-orang penting di Belanda, seperti Stella dan Nyonya Abendanon.
Perlukah Menggugat Hari Kartini?
Lantas perlukah kita menggugat Kartini? Lalu berusaha mengganti sosok Kartini dengan tokoh perempuan idola kita?
Pertama, sah-sah saja jika kita mengidolakan tokoh perempuan sesuai dengan afiliasi masing-masing baik berdasarkan etnik atau paham keagamaan. Sah juga jika kita mengganggap tokoh idola kita lebih baik dari tokoh lainnnya. Bagi saya hal ini manusiawi saja. Seorang manusia pasti mempunyai penilaian subjektif atas berbagai hal.
Namun yang saya tidak sepakat adalah saat kita mengidolakan seorang tokoh perempuan, lantas kita menafikan atau melakukan semacam kampanye hitam bagi tokoh lainnya. Contoh konkritnya begini. Jika saya mengatakan bahwa Siti Walidah lebih baik daripada RA Kartini, hal ini sah-sah saja.
Begitupun kalau ada yang mengatakan bahwa Kartini lebih baik dari Nyai Siti Walidah itu juga boleh. Namun kita jangan katakan bahwa Siti Walidah itu baik, sedangkan RA Kartini itu buruk. Karena dua tokoh tersebut adalah pahlawan nasional dengan perannya masing-masing. Kenapa harus menjelekkan salah satunya?
Kedua, soal penetapan Hari Kartini sebagai simbol emansipasi perempuan. Kalau kemudian kita ingin menggugatnya, lantas setelah itu apa? Misalnya pemerintah atas desakan masyarakat mencabut keputusan Bung Karno soal Hari Kartini.
Lalu siapa tokoh perempuan yang akan diangkat? Tanggal lahir siapa yang akan dijadikan sebagai pengganti Hari Kartini? Misalnya yang dijadikan pengganti Hari Kartini adalah Rohana Kudus dari Sumatera Barat. Bagaimana dengan tokoh perempuan lainnya? Apakah nanti tidak akan digugat lagi oleh pihak yang merasa tak puas?
Solusi yang Adil
Ada solusi yang cukup adil. Agar semua tokoh perempuan terwadahi, maka peringatan emansipasi wanita jangan menggunakan nama satu tokoh. Namun buat saja misalnya Hari Emansipasi Perempuan Indonesia. Tapi pertanyaan kembali muncul, lantas bagaimana menentukan tanggalnya? Mau tanggal lahir siapa yang dipakai?
Pada akhirnya saya cenderung berpendapat agar tidak perlu menggugat eksistensi Hari Kartini. Biarlah sosok Kartini yang beruntung menjadi simbol emansipasi perempuan karena memang rezim pada waktu itu berpihak pada beliau.
Namun bukan berarti tanpa catatan. Momentum hari Kartini harus jadi momentum untuk menjadi hari seluruh tokoh perempuan yang ada di Indonesia sesuai dengan kiprahnya masing-masing. Antara satu tokoh dengan yang lainnya biarlah saling melengkapi, tidak perlu menjadi rival karena ini bukan kompetisi.
Yang paling penting adalah substansi dari kiprah tokoh-tokoh tersebut. Baik Kartini, Nyai Siti Walidah, Dewi Sartika, Rohana Kudus, Rahmah El Yunusiyah, Cut Nyak Din dan tokoh lainnya yang mungkin belum terekspose mereka semua perempuan hebat.
Mereka adalah bukti bahwa perempuan sejak dahulu tidak hanya berkiprah di ruang domestik, namun sudah aktif berjuang di ranah publik. Karena mereka semua hebat, maka hendaknya kita tidak perlu membanding-bandingkan mereka satu sama lain. Karena perempuan tidak suka dibanding-bandingkan.
Setiap tokoh perempuan punya hak yang sama untuk disosialisasikan kepada masyarakat. Misalnya dicantumkan di buku pelajaran sekolah. Inisiatif sosialisasi tokoh tersebut secara mandiri juga bisa dilakukan. Misalnya pembuatan film Nyai Siti Walidah. Hal tersebut patut kita apresiasi.
Editor: Yahya FR