Dunia modern di Barat yang dimulai sejak abad ketujuh belas Masehi merupakan awal kemenangan supremasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme dari dogmatisme agama. Dengan metode ilmiah ini, kebenaran sesuatu hanya diperhitungkan dari sudut yang bersifat keinderawian dan kebendaan, sehingga menafikan sudut metafisika. Realitas manusia yang kompleks direduksi menjadi hanya sebatas realitas inderawi semata.
Sayyid Hossein Nasr, seorang filsuf muslim berpengaruh asal Iran, melihat bahwa dalam perkembangannya masyarakat Barat Modern telah kehilangan visi ke-Ilahian, telah tumpul penglihatan intellectus-nya (hati nuraninya) dalam melihat realitas hidup dan kehidupan. Disebabkan intellectus masyarakat Barat Modern mengalami disfungsional. Maka akibatnya apapun yang diraih manusia modern yang berada di pinggir eksistensi di atas tidak lebih dari pengetahuan yang terpecah-pecah (fragmented knowledge). Sehingga, dampaknya mereka tidak mampu melihat alam semesta sebagai kesatuan yang tunggal.
Pengetahuan yang terpecah-pecah dan tidak utuh itu menjadikan manusia sibuk pada hal-hal yang sifatnya remeh, namun abai pada sesuatu yang lebih prisipil. Manusia modern mungkin bisa menciptakan ratusan bahkan ribuan alat yang mampu memudahkan mereka untuk memuaskan kebutuhan hidupnya, tapi mereka lupa pemenuhan kebutuhan inderawi saja tidak lantas membuat mereka mampu menemukan makna hidupnya. Manusia dengan angkuh merasa bahwa hanya dengan rasio sajalah mereka dapat mengatasi problematika hidupnya. Padahal nyatanya kini justru manusia merasakan kehamapaan hidup.
Tasawuf Sebagai Solusi Â
Menurut Nasr, apabila manusia modern ingin mengakhiri kekeliruan berfikir dan kesesatan yang timbul akibat semakin disingkirkannya dimensi keilahian dalam jiwa, maka mau tidak mau pandangan serta sikap hidup keagamaan harus dihidupkan kembali di tengah masyarakat modern. Tentu bukan ritus agama yang kaku dan membelenggu, melainkan aktivitas keberagamaan yang menekankan pada kontemplasi spiritual yang membebaskan manusia dari kehidupan industrial yang meterialis. Dan pembentukan makna itu dapat dicapai melalui tradisi mistik, yaitu ranah esoterik (batin), bukan ranah eksoterik (syariat). Dalam Islam tradisi mistik ini dapat ditemukan dalam tasawuf.
Dalam pengaplikasiannya tasawuf harus tetap seirama dengan syariat. Menurut pandangan Nasr, ajaran agama Islam terdiri dari dua dimensi. Pertama, yang berhubungan dengan dimensi lahir atau biasa disebut Eksoterik, dan kedua, berkaitan dengan dimensi batin atau mengambil istilah Nasr adalah Esoterik. Yang pertama berkaitan dengan aspek syariat (dimensi lahir atau outward), sedang yang kedua berkenaan dengan tasawuf (dimensi batin atau inward). Bagi Nasr tasawuf tak bisa dilakukan tanpa diapandu oleh syariat. Komitmen pada syariat itu pula yang membedakan tasawuf dengan tradisi mistik lainnya.
Tasawuf menurut Nasr perlu disosialisasikan kepada masyarakat modern, dengan tiga tujuan utama. Pertama, turut serta berbagi peran dalam penyelamatan kemanusiaan dari kondisi kebingungan sebagai akibat hilangnya nilai-nilai spritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris Islam, baik terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya maupun non-Islam. Khususnya terhadap manusia Barat modern. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yakni tasawuf, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak lagi berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran Islam.
Tasawuf Ruh Risalah Islam
Tasawuf menjadi ruh dalam risalah Islam, bagaikan hati nurani yang berada dalam tubuh, ia tersembunyi jauh sekali dari pandangan luar. Ia merupakan sumber kehidupan keagamaan dalam Islam yang mengatur seluruh struktur dalam Islam. Tanpa laku tasawuf, syariat Islam akan mengalami kekeringan makna. Bagai jasad tanpa nyawa, begitulah syariat Islam tanpa tasawuf.
Hanya melalui tasawuf seseorang mampu menghidupkan kembali perangkat intellectus (hati nurani)dalam dirinya yang ditekan habis-habisan oleh supremasi rasio di zaman modern. Dengan intellectus sajalah manusia mampu memahami dirinya secara utuh. Dirinya sebagai makhluk biologis, sekaligus dirinya sebagai makhluk spiritual yang senantiasa mencari makna atas eksistensinya di muka bumi. Dengan intellectus sajalah manusia mampu menyadari ketunggalan alam semesta dalam Tuhan, dalam Allah Swt. Karena kita semua sejatinya adalah debu-debu kecil dalam kesemestaan Tuhan.
Tasawuf untuk Masyarakat Modern
Namun, yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana tasawuf dapat dipraktekkan pada masyarakat yang sudah modern ini? Menurut Nasr ada tiga cara yang perlu dilakukan untuk memperaktekkan tasawuf di kehidupan modern.
Pertama, dengan cara mempraktekkan ajaran-ajaran dalam tasawuf secara aktif. Kata Nasr, hanya diperuntukkan bagi sebagian orang saja karena cara ini mensyaratkan penyerahan secara keseluruhan kepada kepada disiplinya. Dengan cara membatasi kesenangannya dan menahan nafsunya dari dunia materi ini, lalu selanjutnya mengarahkan hidupnya untuk berdoa, mengkaji hati nurani, mensucikan batin, dan melakukan praktek-praktek ibadah lainnya sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh para sufi pada umumnya.
Kedua, caranya dengan menyajikan Islam ke dalam bentuk yang lebih menarik, yakni dengan cara mendakwahkan Islam kepada masyarakat Barat dan masyarakat modern pada umumnya dalam bentuk penyajian paket yang lebih menarik antara keharmonisan hubungan dalam tasawuf dalam esensinya sebagai aspek spiritual dalam Islam, dengan aktivitas duniawi yang sifatnya sementara.
Ketiga, dengan cara menjadikan tasawuf sebagai alat bantu untuk reawakening (membangunkan) orang Barat, dan masyarakt modern pada umumnya dari tidurnya dan recollection (mengingatkan) mereka kembali akan makna hidup sesungguhnya. Hal ini dikarenakan tasawuf kaya akan doktrin-doktrin metafisis, kosmologis, dan psiko-terapi religius yang bahkan hampir tidak pernah dipelajari oleh masyarakt modern, karenanya ia mampu menghidupkan kembali berbagai macam aspek kehidupan rohani yang mana selama ini tercampakkan dan terlupakan dalam peradaban modern. Allahu a’lam bi al-shawab Â
Editor: Dhima Wahyu Sejati