Fatwa

Padi yang Masih di Sawah, Bolehkah Dijual?

3 Mins read

-Padi di Sawah- Jual beli merupakan sebuah kegiatan mu’amalah yang dibolehkan di dalam Islam. Namun dalam hal ini, terdapat juga jual beli yang dilarang, salah satunya adalah jual beli yang belum jelas (gharar), sesuatu yang bersifat spekulasi atau samar-samar, haram untuk diperjualbelikan, karena dapat merugikan salah satu pihak, baik penjual maupun pembeli. Dalam hal ini, yang dimaksud samar-samar adalah tidak jelas, baik barangnya, harganya, kadarnya, masa pembayarannya maupun ketidakjelasan yang lainnya.

Terkait dengan pertanyaan, terdapat hadis yang menerangkan tentang hal tersebut;

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ, وَالْمُخَاضَرَةِ , وَالْمُلَامَسَةِ , وَالْمُنَابَذَةِ [رواه البخارى]

Dari Anas bin Malik r.a (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah SAW telah melarang jual beli Muhaqalah, Muzabanah, Mukhadarah, Mulamasah dan Munabadzah [H.R. al-Bukhari].

Sebagai penjelasan, muhaqalah adalah menjual tanaman-tanaman yang masih di Sawah atau di ladang yang belum siap dipanen; muzabanah ialah menjual/menukar buah yang basah dengan buah yang kering, seperti menjual kurma yang kering dengan bayaran kurma yang basah; mukhadarah adalah jual beli tumbuh-tumbuhan yang masih hijau (belum pantas dipanen), seperti jual beli beli rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil; mulamasah yaitu jual beli secara sentuh-menyentuh, misalnya, seseorang menyentuh sehelai kain, maka orang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut; dan munabazah adalah jual beli yang terjadi hanya dengan cara penjual dan pembeli melempar barang yang dimilikinya, setelah terjadi lempar-melempar terjadilah jual beli, cukup dengan cara ini transaksi sudah terjadi dan mengikat tanpa adanya rasa saling suka di antara keduanya. 

***

Mengenai pertanyaan saudara, ia termasuk dalam jual beli muhaqalah (jual beli tanam-tanaman di ladang) danjual beli mukhadarah (jual beli tumbuh-tumbuhan yang masih hijau) yang terdapat di dalam hadis di atas. Jual beli ini dilarang karena ada mengandung unsur samar-samar (tidak jelas), tipuan dan spekulasi, dalam artian tidak ada yang menjamin kualitas, kuantitas, dan dapat tidaknya diserahterimakan, ketika  padi itu sudah masanya dipanen, misalnya terkena hama wereng, atau terkena banjir, dan lain-lain, atau bisa terjadi justru panennya melimpah. Dengan kondisi ini, ada pihak yang dirugikan dan ada pihak yang diuntungkan. Namun jual beli tersebut menjadi mubah dengan ketentuan bahwa padi yang masih di sawah tadi sudah menguning dan siap untuk di panen sehingga tidak ada unsur kesamaran dan tipuan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW;

Baca Juga  Apakah Menyentuh Kulit Lawan Jenis dapat Membatalkan Wudhu?

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا [رواه البخارى ومسلم]

Rasulullah SAW melarang jual beli buah-buahan di pohonnya samapai buah-buahan itu masak [H.R. al-Bukhari dan Muslim].

Kemudian didukung dengan hadis;

عَنْ أَنَاِس بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الّثَمْرَةِ حَتَّى تُزْهِيَ, قَالُوا وَمَا تُزْهِي قَالَ تَحْمَرُّ [رواه مسلم]

Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW melarang menjual buah-buahan sehingga telah masak (waktunya dipanen). Para sahabat bertanya: Bagaimana yang telah masak itu? Nabi menjawab: Jika telah terlihat merah [H.R. Muslim].

Di dalam hadis di atas dijelaskan kebolehan jual beli buah-buahan yang masih di pohon dengan ketentuan buah tersebut sudah siap dipanen atau jika telah merah/masak, hal ini serupa dengan pertanyaan saudara yaitu menjual padi yang masih di Sawah, kalau yang saudara maksud nebas padi adalah padi yang sudah siap untuk dipanen ini diperbolehkan selama padi yang saudara jual sudah menguning atau sudah siap untuk dipanen, sehingga tidak ada unsur kesamaran apalagi unsur penipuan.

Mengenai soal serah terima barang atau pembayaran, jual beli padi tersebut termasuk serah terima barang yang bergerak, adapun cara yang dapat ditempuh adalah:

Jika dapat diukur dengan takaran atau timbangan, maka barang tersebut mesti diukur secara sempurna dengannya.

Jika ia termasuk barang yang dijual dengan taksiran (onggokan, bukan ditakar atau ditimbang) yaitu cukup dengan memindahkannya ketempat lain.

Selain kedua katagori di atas, maka bentuk serah terima disesuaikan dengan kebiasaan (‘urf) yang berlaku. Maksud dari ‘urf adalah adat atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat setempat. Pengguanaan adat sebagai pedoman dalam kegiatan masyarakat sepanjang tidak merugikan kedua belah pihak dapat dibenarkan mengingat kaidah fiqhiyah;

Baca Juga  Bolehkah Lambang Organisasidi di Plafon Masjid?

اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَة

 “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.

Terkait dengan masalah pembayaran, baik pembayaran di awal atapun di akhir, hal ini pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Abbas;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِالسَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ. فقال: من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ [متفق عليه]

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: Ketika Nabi SAW tiba di kota Madinah, pada saat itu penduduk Madinah telah terbiasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda: “Barangsiapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula” [Muttafaq ‘alaih].

Jadi berdasarkan hadis di atas pembayaran semacam itu (pembayaran di muka) diperbolehkan dengan ketentuan waktu, kadar atau timbangan pesanan yang telah diketahui oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli), pembayaran dibolehkan di muka ataupun setelah barang dibeli berdasarkan kesepakatan di antara kedua belah pihak, baik pembayaran dengan uang muka ataupun tanpa uang muka langsung lunas (cash), karena hakikatnya jual beli harus saling meridhai, sebagaimana firman Allah;

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا [النسآء، 4: 29]

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu [Q.S. an-Nisa’ (4): 29].

Baca Juga  Fatwa Tarjih: Hukum Membaca Shalawat Nabi

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ [رواه البيهقي وابن ماجه]

Jual beli itu harus saling meridhai [H.R. al-Baihaqi dan Ibnu Majah].

Wallahu a’lam bish-shawab.

.

Sumber: Fatwa Tarjih Muhammadiyah No. 23 Tahun 2015

Related posts
Fatwa

Menggibahi Orang Lain di Group WhatsApp, Bolehkah?

2 Mins read
Di era banjirnya informasi yang tak dapat terbendungkan, segala aktivitas manusia nampaknya bisa dilacak dan diketahui dari berbagai media sosial yang ada….
Fatwa

Fatwa Muhammadiyah tentang Tarekat Shiddiqiyyah

4 Mins read
IBTimes.ID – Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, tarekat adalah jalan, cara, metode, sistem, mazhab, aliran, haluan, keadaan dan atau tiang…
Fatwa

Fatwa Muhammadiyah tentang HTI

2 Mins read
Pemerintah Indonesia resmi mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 19 Juli 2017. Dengan pencabutan status tersebut, HTI resmi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *