Oleh: Mu’arif
Sistem perkawinan adalah salah satu contoh yang dapat menjelaskan bagaimana pandangan bangsa Arab pada umumnya dalam menyikapi peradan dan posisi Kaum Hawa. Pada masa menjelang kedatangan Islam, kita dapat menemukan beberapa jenis perkawinan dalam sistem sosial masyarakat Arab:
Pertama, Perkawinan Mut’ah. Yaitu, sebuah sistem “perkawinan kontrak” untuk jangka waktu tertentu. Jika masa kontrak sudah habis, maka kedua pasangan suami istri berpisah secara otomatis.
Perkawinan model seperti ini sudah lazim di kalangan masyarakat Arab pada umumnya. Bahkan, sampai masa kedatangan Islam awal, sistem perkawinan seperti ini masih berlaku. Namun, pada tahun ke-8 H (629 M), perkawinan model seperti ini diharamkan dalam Islam untuk selamanya.
Kedua, Perkawinan Zawaq. Yaitu, sebuah sistem perkawinan coba-coba yang diterapkan oleh suku-suku baduwi. Sistem perkawinan semacam ini hampir mirip seperti Perkawinan Mut’ah, tetapi tidak terikat dengan suatu kontrak perjanjian. Caranya, sepasang suami istri melakukan perkawinan coba-coba, namun jika dalam perjalanan rumahtangga terdapat ketidakcocokan, keduanya bisa langsung menyatakan putus hubungan.
Perkawinan semacam ini tidak dikenal dalam Syariat Islam. Artinya, Syariat Islam tidak membenarkan model perkawinan semacam ini.
Ketiga, Perkawinan Istibda. Yaitu, sistem perkawinan yang dilakukan seperti “perdagangan” (prostitusi). Sepasang suami istri melangsungkan perkawinan. Akan tetapi, sang suami tidak langsung berhubungan badan dengan istrinya. Sang istri yang masih perawan justru dikirimkan kepada tokoh terhormat atau kepala suku supaya digauli sampai hamil. Baru setelah diketahui sang istri positif hamil, maka suaminya baru akan menggaulinya. Itu pun kalau suaminya masih berminat. Tujuan dari sistem perkawinan ini agar sepasang suami istri mendapat keturunan dari keluarga terhormat.
Tradisi perkawinan semacam ini berlaku umum bagi suku-suku padang pasir yang nomaden. Setelah kedatangan Islam, sistem perkawinan semacam ini tidak diakui. Artinya, sistem perkawinan Istibda diharamkan.
Keempat, Perkawinan Khadn. Yaitu, hubungan intim atas dasar suka sama suka (kumpul kebo). Sepasang kekasih melakukan hubungan layaknya suami istri, tetapi tanpa melewati proses ijab-qabul dan dilakukan secara terang-terangan, diketahui oleh masyarakat sekitarnya.
Tampaknya, Suku Quraish juga mengenal sistem perkawinan semacam ini. Bahkan, Abdullah bin Abdul Muthalib sebelum menikah dengan Aminah sempat ditawar supaya kumpul kebo dengan salah seorang perempuan dari Bani Asad. Namun, Abdullah sendiri menolak karena dia telah dijodohkan dengan Aminah.
Perkawinan model seperti ini pun tidak dikenal dalam Islam.
Kelima, Perkawinan Mutadhaminah. Yaitu, sistem perkawinan yang saling membalut. Sistem perkawinan ini identik dengan perselingkuhan yang dibiarkan secara terang-terangan. Misalnya, seorang istri selingkuh dengan lelaki lain, tetapi oleh suaminya dibiarkan saja. Bahkan, sang suami bisa menyuruh istrinya supaya selingkuh dengan lelaki lain dengan tujuan untuk mendapatkan harta kekayaan (prostitusi).
Sistem perkawinan semacam ini sudah menjadi tradisi bagi suku-suku nomaden dan menetap di jazirah Arab. Perkawinan semacam ini juga diharamkan dalam Islam.
Keenam, Perkawinan Badal. Yaitu, sistem perkawinan tukar-menukar istri. Seorang suami akan menukarkan istrinya kepada lelaki lain, begitu juga sebaliknya. Tradisi perkawinan semacam ini sudah masyhur di kalangan bangsa Arab. Tidak hanya bagi suku-suku nomaden saja, tetapi juga berlaku bagi suku-suku yang menetap.
Perkawinan semacam ini pun diharamkan dalam Islam.
Ketujuh, Perkawinan Syighar. Yaitu, perkawinan liardengan sistem barter.Misalnya, seorang laki-laki mengawini seorang wanita dengan sistem pertukaran antara adik laki-laki si istri dikawinkan dengan adik wanitanya. Perkawinan semacam ini diharamkan dalam Islam.
Kedelapan, Perkawinan Maqt. Yaitu, perkawinan “kutukan.” Misalnya, seorang suami meninggal dunia, maka istrinya diwariskan kepada ahli warisnya. Posisi wanita diakui sebagai harta benda yang dapat diwariskan kepada ahli waris. Nasib janda tersebut tergantung kepada ahli waris, apakah akan dikawinkan lagi atau dibiarkan menjanda seumur hidup.
Perkawinan model seperti ini tidak dikenal dalam Islam.
Kesembilan, Perkawinan Saby. Perkawinan ini adalah dampak dari tradisi perang di kalangan bangsa Arab jahiliyah. Setiap wanita yang menjadi tawanan perang, jika tidak ada yang menebusnya, maka dia menjadi milik orang yang memenangkan perang. Nasibnya tergantung pada pemiliknya, apakah dia akan dinikahi tanpa mahar dan persetujuan dari walinya atau justru akan dijual sebagai budak.
Sistem perkawinan semacam ini hampir merata di jazirah Arab pra Islam. Perkawinan semacam ini diharamkan dalam Islam.
Kesepuluh, Perkawinan Hamba Sahaya. Yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang tuan dengan perempuan sahayanya. Jika sampai melahirkan, maka anak tersebut menjadi hak tuannya. Akan tetapi, dalam tradisi masyarakat Arab jahiliyah, perkawinan semacam ini amat jarang terjadi. Sebab, seorang tuan paling benci memiliki anak dari budaknya.
Dalam Islam, perkawinan semacam ini dihalalkan, tetapi bukan menjadi prioritas.
Kesebelas, Perkawinan Muhrim. Yaitu, perkawinan antara seseorang dengan muhrimnya. Misalnya, seorang kakak mengawini adiknya. Atau, seorang ayah mengawini putri kandungnya.
Perkawinan jenis ini diharamkan dalam Islam.
Keduabelas, Perkawinan Poligami. Yaitu, perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan yang lebih dari satu. Bahkan, dalam tradisi Arab pra Islam, seorang laki-laki, khususnya dari kalangan keluarga terhormat, bisa memiliki istri sampai lebih dari sepuluh orang.
Dalam tradisi Islam, perkawinan seperti ini dapat ditolerir dengan syarat-syarat tertentu. Jumlah istri dalam perkawinan poligami maksimal empat orang, tidak boleh lebih. Adapun penerapannya dengan mempertimbangkan konteks sosio-historis dengan ketentuan-ketentuan yang ketat.
Ketigabelas, Perkawinan Bu’ulah. Yaitu, perkawinan antara seorang laki-laki status perjaka dengan seorang gadis (monogami) dengan ketentuan ijab-qabul dan mahar. Walaupun tidak populer di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah, tetapi inilah yang dalam syariat Islam tetap dilestarikan hingga saat ini. Lewat Risalah Islamiyyah, tradisi perkawinan seperti ini dilegalkan untuk kemudian disempurnakan.
Sumber: Ensiklopedi Tematik Dunia Islam.