Tajdida

Inilah Kelemahan Rukyat dan Kelebihan Hisab

7 Mins read

Hal yang perlu dipahami adalah bahwa di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam metode penentuan awal bulan kamariah, khususnya bulan-bulan ibadah, adalah rukyat.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan melakukan rukyat untuk memulai Ramadhan dan Syawal, sebagaimana dapat kita baca dalam hadis beliau:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْباَنَ ثَلاَثِيْنَ

[رواه البخاري ومسلم]

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berpuasalah kamu ketika melihat hilal dan beridulfitrilah ketika melihat hilal pula; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Syakban tiga puluh hari.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Dalam hadis lain diriwayatkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لاَ تَصُوْمُوْا حَتىَّ تَرَوُا اْلهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتىَّ تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ

[رواه البخاري ومسلم]

ArtinyaDiriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingat Ramadhan dan bersabda: “Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridulfitri sebelum melihat hilal; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Hadis pertama jelas memerintahkan berpuasa atau beridulfitri ketika hilal bulan bersangkutan terlihat; hadis kedua melarang berpuasa atau beridulfitri sebelum dapat merukyat hilal bulan bersangkutan.

Oleh karena itu para fukaha berpendapat bahwa penentuan awal bulan kamariah, khususnya yang berkaitan dengan ibadah, dilakukan berdasarkan metode rukyat.

Namun dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, muncul gagasan untuk menggunakan hisab sebagai metode penentuan awal bulan kamariah, termasuk bulan-bulan ibadah.

Tercatat bahwa ulama pertama yang menyatakan sah menggunakan hisab adalah Muarrif Ibn ’Abdillah Ibn as-Syikhkhir (w. 95 H/714 M), seorang ulama Tabiin Besar. Kemudian Imam asy-Syafi’i (w. 204 H/820 M), dan Ibn Suraij (w. 306 H/918 M), seorang ulama Syafiiah abad ke-3 H.

Memang mula-mula penggunaan hisab dibatasi saat bulan tertutup awan saja. Namun kemudian pemakaian hisab itu meluas hingga mencakup penentuan awal bulan dalam semua keadaan tanpa mempertimbangkan keadaan cuaca.

Di zaman modern, penggunaan hisab semakin meluas dan didukung oleh ulama-ulama besar seperti Muhammad Rasyid Ridha, Mustafa al-Maraghi, Syeikh Ahmad Muhammad Syakir, Muastafa Ahmad az-Zarqa, Yusuf al-Qaradhawi, Syeikh Syaraf al-Qudhah, dan banyak yang lain. Dalam “Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam” tahun 2008 di Maroko, diputuskan bahwa,

“Para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di kalangan kaum Muslimin tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penggunaan hisab untuk menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat … “

Apabila dilihat secara fakta alam, maka penggunaan rukyat di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak bermasalah karena umat Islam di zaman itu hanya berada di Jazirah Arab saja. Islam belum tersebar di luar kawasan itu.

Apabila hilal terukyat di Madinah atau di Mekah, maka tidak ada masalah bagi daerah lain, karena belum ada umat Islam di luar rantau Arabia itu. Begitu pula sebaliknya apabila di Mekah atau Madinah hilal tidak dapat dilihat, maka tidak ada dampaknya bagi kawasan lain di timur atau di barat.

Baca Juga  KOKAM sebagai Subkultur: Catatan untuk Ahmad Najib Burhani

Namun setelah Islam meluas ke berbagai kawasan di sebelah barat dan timur serta utara (pada abad pertama Hijriah Islam sudah sampai di Spanyol dan di kepulauan Nusantara), maka rukyat mulai menimbulkan masalah. Persoalannya adalah bahwa rukyat itu terbatas liputannya di atas muka Bumi.

Rukyat pada saat visibilitas pertama tidak mengkaver seluruh muka Bumi. Ia hanya bisa terjadi pada bagian muka Bumi tertentu saja, sehingga timbul masalah dengan bagian lain muka Bumi. Hilal mungkin terlihat di Mekah, tetapi tidak terlihat di Kawasan timur seperti Indonesia. Atau hilal mungkin terlihat di Maroko, namun tidak terlihat di Mekah. Apabila ini terjadi dengan bulan Zulhijah, maka timbul persoalan kapan melaksanakan puasa Arafah bagi daerah yang berbeda rukyatnya dengan Mekah.

Perlu dicatat bahwa Bulan bergerak (secara semu) dari timur muka Bumi ke arah barat dengan semakin meninggi. Oleh karena itu semakin ke barat posisi suatu tempat, semakin besar peluang orang di tempat itu untuk berhasil merukyat. Jadi orang di benua Amerika punya peluang amat besar untuk dapat merukyat.

Sebaliknya semakin ke timur posisi suatu tempat, semakin kecil peluang orang di tempat itu untuk dapat merukyat. Orang Indonesia peluang rukyatnya kecil dibandingkan orang Afrika yang lebih di barat. Apalagi orang Selandia Baru, Korea atau Jepang akan lebih banyak tidak dapat merukyat pada saat visibilitas pertama hilal di muka Bumi.

Problem pertama yang muncul sehubungan dengan masalah keterbatasan rukyat ini adalah apa yang dicatat dalam hadis Kuraib yang amat terkenal itu:

عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَىَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِى آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَلاَ تَكْتَفِى بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم

[رواه مسلم]

Artinya: Dari Kuraib (yang menyampaikan) bahwa Ummul Fadhl Binti al-Haris mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Kuraib menjelaskan: Saya pun tiba di Syam dan menunaikan keperluan Ummul Fadhl. Ketika saya berada di Syam, bulan Ramadhan pun masuk dan saya melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian pada akhir bulan Ramadhan, saya tiba kembali di Madinah. Lalu Ibnu Abbas menanyai saya dan dia menyebut hilal. Ia bertanya: Kapan kalian melihat hilal? Saya menjawab: Kami melihatnya malam Jum’at. Ia bertanya lagi: Apakah engkau sendiri melihatnya? Saya menjawab: Ya, dan banyak orang juga melihatnya. Mereka berpuasa keesokan harinya dan juga Mu’awiyah berpuasa (keesokan harinya). Akan tetapi kami melihatnya malam Sabtu. Oleh karena itu kami akan terus berpuasa hingga genap tiga puluh hari atau hingga melihat hilal (Syawal). Lalu saya balik bertanya: Apa tidak cukup bagimu rukyat Mu‘awiyah dan puasanya? Ia menjawab: Tidak! Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita. [HR Muslim]

Rukyat Ramadhan yang dilaporkan Kuraib dalam hadis ini, menururt suatu penelitian, adalah rukyat Ramadhan tahun 35 H, bertepatan dengan hari Kamis sore (malam Jumat), 03 Maret 656 M.

Permasalahan rukyat dalam hadis ini adalah bahwa di Damaskus rukyat berhasil dilakukan pada malam Jum’at, sementara di Madinah malam Sabtu 04 Maret 656 M. Timbul pertanyaan dapatkah rukyat Damaskus diberlakukan ke Madinah?

Baca Juga  Posisi Muhammadiyah, antara Sarekat Islam dan Boedi Oetomo

Ibnu Abbas dalam hadis tersebut mejelaskan tidak dapat. Jadi awal Ramadhan tahun itu berbeda antara Damaskus dan Madinah, meskipun kedua kota itu masih dalam satu negara Daulat Umayyah.

Masalah ini kemudian dalam sejarah Islam berkembang menjadi apa yang dikenal dengan “masalah matlak”. Matlak adalah batas berlakunya rukyat yang terjadi di suatu tempat.

Pertanyaannya adalah apakah rukyat yang terjadi di suatu tempat dapat diberlakukan kepada tempat lain yang tidak dapat merukyat? Kalau dapat, sejauh mana? Mengenai ini terdapat dua pendapat dalam fikih. Pertama pendapat yang menolak doktrin matlak.

Bagi mereka tidak ada matlak. Rukyat yang terjadi di suatu tempat berlaku untuk seluruh penduduk di muka Bumi. Pendapat ini dipegangi oleh para fukaha Hanafiyah dan beberapa ulama Syafiiyah. Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M), seorang ulama Syafii, menyatakan dalam Syarh Shahih Muslim bahwa rukyat di suatu tempat di muka Bumi berlaku untuk seluruh muka Bumi (VII: 197).

Kebanyakan ulama lain memegangi doktrin matlak, yaitu bahwa rukyat tidak dapat diberlakukan ke seluruh dunia, harus dibatasi berlakunya. Namun mereka tidak sepakat tentang batasan itu. Ada yang mengatakan hanya berlaku dalam batas shalat belum bisa diqasar (± 90 km).

Ada yang berpendapat dapat berlaku dalam satu negeri, dan ada pula dalam beberapa negeri berdekatan. Ibnu Taimiah menolak semua pendapat ini dan mengatakan bahwa “rukyat tidak ada kaitannya dengan qasar shalat dan negeri atau negeri-negeri tidak ada batas yang jelas.” Memang di zaman dahulu tidak ada batas geografi wilayah suatu negara seperti halnya sekarang ini.

Kini pada abad ke-21, umat Islam sudah berada di seantero keliling bola Bumi yang bulat ini. Bahkan di pulau-pulau terpencil di Samudera Pasifik pun sudah ada umat Islam, seperti di kepulauan Tongga dan Samoa. Rukyat yang terjadi pada hari pertama visibilitas hilal tidak dapat mengkaver seluruh umat Islam di dunia.

Justru rukyat akan memaksa umat Islam di dunia berbeda memulai bulan baru. Mari kita lihat simulasi rukyat pada beberapa tahun berbeda sebagaimana divisualisasikan pada beberapa ragaan berikut (Pembuatan semua ragaan didasarkan kepada al-Mawaqit ad-Daqiqah).

Ragaan 1: Kurva rukyat hilal Ramadhan 1503 H (Selasa, 18 Juni 2080 M)

kelemahan rukyat

Ragaan 1 di atas memperlihatkan kurva rukyat hilal Ramadhan hari Selasa sore 18 Juni 2080 dengan mata telanjang apabila cuaca terang. Kawasan yang tercakup dalam lengkungan kurva rukyat adalah kawasan yang dapat melihat hilal Ramadhan 1503 H (Selasa 18 Juni 2080 M), yaitu sebagian besar benua Amerika, benua Afrika, sebagian agak besar Eropa dan Asia.

Sementara Australia, Selandia Baru, Papua New Guinea, dan bagian utara Bumi yang terletak di atas lintang 60º LU tidak dapat melihat hilal Ramadhan 1503 H (2080 M). Pada hal rukyat ini adalah yang paling maksimal karena ujung kurvanya hampir mencapai garis Tanggal internasional di sebelah timur muka Bumi. 

Berikutnya mari kita lihat pula simulasi rukyat yang divisualisasikan dalam ragaan 2 berikut. Pada Ragaan 2 terlihat bahwa di Mekah hilal Zulhijah 1455 H insya Allah akan terlihat pada hari Ahad 19 Februari 2034 M (tinggi toposentrik hilal hari itu 6,5º).

Baca Juga  Masalah Lima dan Spirit Tajdid Muhammadiyah

Sementara pada hari itu di kawasan timur seperti di Indonesia hilal Zulhijah belum akan terlihat. Akibatnya Mekah mendahului kawasan timur satu hari dalam memasuki Zulhijah 1455 H, yaitu pada hari Senin 20-02-2034 M.

Sementara itu kawasan timur Bumi akan memasuki Zulhijah pada hari Selasa 21-02-2034 M. Ini akan menimbulkan masalah puasa Arafah, kapan kawasan timur berpuasa Arafah. Kalau mengikuti Mekah, maka di kawasan timur baru tanggal 8 Zulhijah karena kawasan timur terlambat 1 hari.

Kalau puasa Arafahnya tanggal 9 Zulhijah waktu setempat, maka di Mekah tidak lagi wukuf, melainkan sudah Idul Adha (10 Zulhijah). Jadi inilah dilema yang ditimbulkan oleh rukyat.

Ragaan 2: kurva rukyat hilal Zulhijah 1455 (Ahad sore 19 Februari 2034 M) 

kelemahan rukyat

Mari kita lihat satu lagi simulasi rukyat, yaitu Zulhijah 1439 sebagaimana divisualisasikan pada Ragaan 3.

Ragaan 3 memperlihatkan bahwa hilal Zulhijah 1439 H terlihat jauh di sebelah barat Bumi, yaitu di Samudera Pasifik termasuk Kepulauan Hawaii, pada Sabtu sore 11 Agustus 2018 M. Di ibukota Honolulu saat matahari terbenam, tinggi toposentrik hilal tersebut adalah 08º 07’ 37”.

Jadi posisi hilal sudah sangat tinggi dan dapat dilihat dengan mata telanjang apabila cuaca terang. Akan tetapi, sebagaimana diperlihatkan oleh Ragaan 3, hilal Zulhijah 11-08-2018 itu tidak terlihat di daratan lima benua.

Ragaan 3: Kurva rukyat Zulhijah 1439 H (Sabtu sore 11 Agustus 2018 M)

kelemahan rukyat

Problemnya adalah karena pada hari Sabtu belum dapat melihat hilal Zulhijah, maka Mekah akan masuk Zulhijah pada hari Senin 13-08-2018 M, dan hari Arafah di Mekah jatuh Selasa 21-08-2018 M. Sementara itu Hawaii karena sudah dimungkinkan melihat hilal akan memasuki Zulhijah hari Ahad, 12 Agustus 2018 M, dan tanggal 9 Zulhijah di Hawaii akan jatuh pada hari Senin 20-08-2018 M.

Bagaimana mereka puasa Arafah. Kalau puasanya hari Senin itu mendahului Mekah karena di Mekah baru tanggal 8 Zulhijah dan belum terjadi wukuf. Kalau mereka menunggu Mekah, berarti mereka puasa Arafah tanggal 10 Zulhijah menurut penanggalan Hawaii, dan itu adalah hari Idul Adha di Hawaii.

Suatu kawasan yang sudah terpampang hilalnya di ufuk mereka tidak boleh menunda masuk bulan baru karena alasan apapun misalnya mau menunggu Mekah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan berpuasalah apabila melihat hilal.

Dengan demikian sangatlah jelas problem yang ditimbulkan oleh rukyat. Kalau ini mau disebut kelemahan silahkan sebut demikian. Secara singkat keseluruhan problem rukyat itu adalah:

  1. rukyat tidak bisa membuat sistem penanggalan yang akurat;
  2. rukyat tidak dapat menyatukan sistem penanggalan (kalender) hijriah sedunia secara terpadu dengan konsep satu hari satu tanggal di seluruh dunia;
  3. rukyat tidak dapat dilakukan secara normal pada kawasan lintang tinggi di atas 60º LU dan LS;
  4. rukyat menimbulkan problem puasa Arafah karena tidak dapat menyatukan hari Arafah di Mekah dan kawasan lain pada bulan Zulhijah tertentu.

Oleh karena itu tidak berlebihan apabila Temu Pakar II di Maroko menyatakan bahwa penyatuan kalender Islam sedunia tidak mungkin dilakukan kecuali dengan berdasarkan hisab.

Memang, sebagaimana dikemukakan oleh Nidhal Guessoum, adalah suatu ironi yang memilukakan bahwa setelah hampir 1,5 milenium perkembangan peradaban Islam, umat Islam belum mempunyai suatu sistem penanggalan terpadu yang akurat, padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik. Menurut Prof. Dr. Idris Ibn Sari, Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, sebab umat Islam tidak mampu membuat kalender terpadu adalah karena mereka terlalu kuat berpegang kepada rukyat.

Kini dalam rangka mewujudkan kalender Islam tunggal (terpadu) yang dapat menyatukan selebrasi umat Islam sedunia, sedang dilakukan perumusan kalender Islam yang dibuat dan diuji selama kurang lebih satu abad hingga akhir tahun 2100. Ada empat rancangan yang diuji dan telah sering diberitakan.

Perkembangan paling mutakhir tentang uji validitas ini adalah bahwa uji tersebut telah mencapai 93 tahun, dan akan segera diadakan Temu Pakar III untuk membahas hasil uji validitas tersebut.

Wallahu a’lam bisshawab

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah: No. 16, 2011
Editor: Yahya FR
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds