Teologi Asy’ariyah dalam sejarah kalam merupakan sintesis antara teologi rasional, dalam hal ini adalah Mu’tazilah serta teologi Puritan yaitu Mazhab Ahl- Hadits. Asy’ariyah tidak menolak akal sebagai sumber pengetahuan, namun mereka tidak meyakini sepenuhnya bahwa akal merupakan aspek yang mutlak dalam memahami nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Paham Asy’ariyah lebih banyak diterima oleh masyarakat awam dikarenakan menawarkan agama dengan metode (manhaj) yang mudah dipahami. Tidak seperti mazhab Mu’tazilah yang sangat rasionalistik dan terkesan hanya untuk kalangan masyarakat yang terpelajar, sehingga agama terkesan sangat superior serta tidak dapat menjangkau kalangan umum.
Kendati demikian, teologi Asy’ariyah juga mengarahkan para pengikutnya untuk menggunakan akal sebagai wasilah dalam memahami agama. Sehingga doktrin dari teologi Asy’ariyah tidak hanya sebatas pada aspek meyakini tanpa ada permenungan yang filosofis sebagai mana teologi Islam puritan yang minim aspek rasional dalam beragama.
Adapun doktrin dalam teologi Asy’ariyah secara garis besar ada tujuh poin penekanan yaitu; Allah dan sifat-sifat-Nya, Kebebasan dalam berkehendak (free will), Akal dan Wahyu sebagai kriteria baik dan buruk, Bantahan tentang Qadimnya Al-Qur’an, Melihat Allah, serta Keadilan dan Kedudukan orang yang berdosa.
1. Allah dan Sifat-Sifat-Nya
Dalam pandangan teologi Asy’ariyah Allah itu memiliki sifat dan mustahil pengetahuan Allah itu hanya berdasarkan dzat-Nya semata. Bagi mereka Allah punya sifat berdasarkan perbuatannya. Sifat Allah memang tampak mirip dengan makhluk, namun kendati demikian terdapat porsi tersendiri yang membedakan antara sifat Allah dan sifat manusia.
Allah mempunyai sifat melihat (bashir) namun melihatnya itu berbeda dengan penglihatan manusia. Allah mempunyai sifat mendengar (sami’) namun mendengarnya itu berbeda dengan pendengaran manusia. Allah mempunyai sifat mengetahui (alim) namun cara mengetahui Allah itu berbeda dengan pengetahuan manusia. Dalam hal ini mereka meyakini tentang sifat Allah, namun sifat tersebut sesuai dengan dzat Allah sendiri.
2. Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Dalam paham teologi Asy’ariyah tentang kebebasan dalam berkehendak (free will), manusia berada pada posisi yang lemah. Manusia diibaratkan sebagai anak kecil yang tidak memiliki pilihan dan kehendak dalam hidupnya. Kehendak manusia itu timbul dari perbuatan Allah, sedangkan manusia tidak ada daya untuk berkehendak bebas atas dirinya sendiri.
Bagi mereka Allah menciptakan dua kehendak, yang pertama adalah kehendak Allah itu sendiri dan yang kedua adalah kehendak manusia yang diciptakan oleh Allah sendiri. Secara tidak langsung, ini mengisyaratkan bahwa kehendak manusia juga bersumber dari Allah.
3. Akal dan Wahyu serta Kriteria Baik dan Buruk
Dalam pandangan teologi Asy’ariyah, akal dan wahyu itu selaras. Kedua hal ini sangat penting dalam beragama, namun kendati demikian, apabila ada pertentangan antara akal dan wahyu maka Asy’ariyah lebih mendahulukan wahyu sebagai kepatuhan mutlak kepada Allah.
Teologi Asy’ariyah memandang akal memiliki batasan-batasan yang tidak dapat dijangkau oleh aspek iman, karena iman berkenaan dengan hal-hal yang non-materi atau adikodrati. Allah terlalu transenden untuk dipahami hanya sebatas akal, tanpa ada bimbingan wahyu.
4. Bantahan tentang Qadimnya Al-Qur’an
Bantahan tentang Qadimnya Al-Qur’an dalam teologi Asy’ariyah dipengaruhi oleh pandangan mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk (diciptakan). Maka Asy’ariyah membantah bahwa Al-Qur’an itu bukan makhluk (diciptakan) namun posisinya sebagai kalamullah (firman Allah).
Karena proses penciptaan itu butuh kata “Kun”, dan untuk terciptanya kata “Kun” itu juga membutuhkan kata “Kun” yang lainnya. Jika benar Al-Qur’an itu makhluk (diciptakan), maka ia harus melalui proses “Kun”, yang menjadi pertanyaan besar adalah proses “Kun” juga membutuhkan “Kun” yang sebelumnya.
Argumen ini lemah secara hukum kausalitas (sebab-akibat), karena itu Kalamullah itu qadim (sesuatu yang abadi) bukan Hadits (sesuatu yang baru). Sesuatu yang Qadim itu tidak diciptakan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), namun melekat dalam sifat Allah.
5. Melihat Allah
Teologi Asy’ariyah menyatakan bahwa Allah dapat dilihat manusia kelak di hari kiamat, namun karena sifat Allah yang lebih luas daripada pemahaman manusia, maka kelak di akhirat akal manusia tidak mampu menjabarkan secara detail dari pemahaman tentang wujud Allah.
Hal ini sesuai dengan firman Allah: “wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannya mereka memandang” (QS. 75: 22-23). Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah itu wujud (ada), dan sesuatu yang ada itu pasti dapat dilihat.
6. Keadilan
Keadilan Allah dalam pandangan teologi Asy’ariyah berarti Allah mempunyai kehendak mutlak dalam setiap makhluknya, tidak ada yang dapat mengintervensi. Allah dapat berkehendak bebas, entah itu memasuk orang ke surga ataupun ke neraka.
Allah bagi mereka tidak terikat dengan kewajiban menghukum manusia karena berbuat dosa ataupun memasukan manusia ke surga jika melakukan kebaikan. Segala hal berkenaan dengan surga dan neraka kelak berdasarkan keputusan Allah dan prinsip keadilan yang mutlak berdasarkan hak prerogatif Allah.
7. Kedudukan Orang yang Berdosa
Asy’ariyah menolak pandangan dari Mu’tazilah tentang “al-Manzilah baina al-manzilatain” (berada di posisi antara dua posisi). Bagi mereka iman itu merupakan lawan dari kufur, tentunya segala sesuatu harus berada disalah satu bagian tersebut. Namun seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak layak dikatakan kufur, namun statusnya hanyalah fasik atau pelaku maksiat. Keimanan seseorang hanya bisa hilang tatkala ia melakukan hal yang kufur.
Demikian doktrin dari teologi Asy’ariah yang merupakan bagian dalam dialektika persoalan kalam yang terjadi dalam lintasan sejarah Islam. Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan antitesa dari teologi rasional yang berkembang pada masa tersebut. Hadirnya teologi Asy’ariah merupakan titik tolak kebangkitan dari teologi tradisional dalam politik Islam.
Editor: Soleh