Meskipun umat Islam sudah berabad-abad hidup di Indonesia, namun ketika disebut Islam Indonesia (Indonesian Islam), apalagi Islam Nusantara. Banyak sebagian orang menolak sebutan itu. Akhirnya menjadi polemik di masyarakat. Ada varian Islam baru apa lagi ini ? “Islam” ya “Islam” saja. titik. Tidak usah ada embel-embel lain. Apalagi Islam Berkemajuan itu tidak ada. Begitulah respons berbagai kalangan ketika muncul wacana tersebut.
Agama dan Budaya Agama
Dalam pandangan Amim Abdullah, masyarakat beragama pada umumnya, apapun agamanya memang kesulitan membedakan antara “faith” dan “tradition”. Lebih tepatnya bisa disebut “faith” dan “faith in tradition”. Antara yang “iman” (agama) dan yang “iman dalam tradisi” (budaya agama).
Padahal jika diamati dalam masyarakat bahwa hampir-hampir semua keyakinan agama, baik Islam, Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu, Buddha, Konghucu dan lain-lain– dalam praktiknya selalu berinteraksi dan menyatu dengan budaya local. Dan tidak bisa menghindar meskipun mencoba menghindar dengannya. Menurut Amin Abdullah hubungan antara keduanya bukan seperti hubungan antara “minyak” dan “air”, tapi seperti “ragi” dan “ketela” berubah menjadi “tape”.
Menyatunya “agama” dan “budaya” adalah ibarat “tape” tersebut. Bisa dibedakan, dalam arti elemen-elemen asalnya dapat dianalisis secara objektif asal usulnya, tetapi tidak bisa dipisahkan. Artinya terjadi percampuran antar berbagai praktik budaya lokal dan praktik ajaran agama secara alamiah (sunnatullah).
Bagi keberagamaan yang bercorak puritan, konsep dan pemahaman “faith in tradition” biasanya tidak disetujui. Karena bagi mereka, “keyakinan” adalah “keyakinan”, sedangkan “tradisi” adalah “tradisi”. Tidak ada itu apa yang disebut “Islam dalam budaya”. Yang ada hanya “Islam”. Budaya tidak ditertimbangkan sama sekali.
Sampai di sini kita akan menemukan jawaban mana yang lebih tepat, Islam Indonesia atau Islam di Indonesia?
Pertama, pemahaan Islam di Indonesia berimplikasi pada upaya untuk menyebarkan Islam sebagai ajaran, dogma, hukum, termasuk fikih peribadatannya. Model ini tidak begitu mempedulikan jalinan ikatan budaya lokal yang mengakar, dalm hati dan cara berpikir masyarakat Indonesia.
Dalam pandangan ini keislaman dengan keindonesiaan adalah hal yang berbeda. Islam tidak dikawinkan dengan Indonesia, melainkan ditempelkan saja. Pelekatan ini tidak kokoh, sehingga kadang mudah konflik dengan praktik kehidupan sosio-budaya setempat. Dengan cara “menempelkan” seperti itu, Islam akan tetap terasa asing bagi cara berpikir masyarakat dan budaya Indonesia.
Kedua, Islam Indonesia justru sebaliknya. Tingkat kedalaman hubungan antara pemberi pesan keagamaan dan penerima pesan keagamaan tersebut sesungguhnya melibatkan banyak faktor. Mulai dari metode, bahasa, adat kebiasaan, sistem kekerabatan, seni (musik, tari, pertunjukan) dan begitu seterusnya.
Faktor-fator sosial-kultural dan adat istiadat yang telah mengakar dalam masyarakat setempat menjadi titik pusat, bahkan dimanfaatkan, dimodifikasi, diubah dan menjadi alat dakwah memperkenalkan Islam. Budaya tidak dibuang, tetapi didekati dan dijadikan media untuk menyampaikan pesan-pesan keislaman.
Menjadi Islam Indonesia
Marshall G. S. Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam menteorikan bahwa ada 3 jenis proses penyebaran Islam di berbagai wilayah di dunia. Pertama, Islamics; kedua, Islamicate dan ketiga, adalah Islamdom.
Islamics, penyebaran Islam yang hanya pada dogma tanpa menyentuh budaya. Islamicate, proses pergumulan dan dialog budaya yang sangat intens antara pemberi pesan dan penerimanya. Islamdom, seperti Christiandom, yakni proses penyebaran Islam lewat jalur politik, baik kerajaan, kekaisaran atau lainnya lewat jalur militer dan kekuasaan.
Berdasarkan ini, nampaknya proses yang terjadi di kepulauan Nusantara lebi dekat dengan Islamicate, yakni sebuah proses kerja kebudayaan yang melibatkan berbagai elemen sosial-budaya-ekonomi, yang elemen-elemen tersebut saling terkait antara satu dan lainnya. Dalam proses panjang, ruang budaya dan sosial dalam masyarakat dimanfaatkan secara maksimal oleh kerja-kerja keagamaan .
Penerimaaan Islam adalah dengan cara suka rela, nir kekerasan. Bukan dengan corak Islamdom yang sedikit atau banyak penggunakan kekuatan militer, senjata dan peperangan. Juga bukan dengan cara Islamics yang legal formal.
Proses Islamicate tidak hanya terbatas pada lingkup doktrin ajaran agama saja (aqidah dan fikih ibadah). Islamicate adalah proses perjalanan panjang yang melibatkan proses sosial dan kultural yang amat sangat kompleks. Sehingga terjadi dialog agama dan budaya yang sangat tajam, tetapi lentur dan bertahap.
Apa yang terjadi di kepulauan Nusantara berabad yang silam adalah proses Islamicate. Proses Islamicate itulah yang malahirkan corak Islam Indonesia bukan Islam di Indonesia, karena telah menyatu seperti menyatunya ragi dan ketela menjadi makanan tape. Wallahua’lam.