Rasional dan Berakal
Islam Rasional – Satu hal yang membuat saya suka di IMM adalah rasionalitasnya. Maksudnya adalah keberadaan akal di organisasi ini benar-benar sangat dihargai. Mulai dari wacana agama hingga sosial tidak luput dari sisi rasional.
Bahkan muncul sebuah keyakinan di hati bahwa Islam itu rasional. Pas banget dengan bukunya Harun Nasution, Islam Rasional, seorang pemikir yang dianggap sebagai tokoh liberal Indonesia sebelum Nur Kholis Madjid.
Rasional itu sama saja dengan berakal. Akal dalam bahasa Indonesia identik dengan nalar. Berpikir rasional berarti melakukan penalaran. Dalam Bahasa Inggris setara dengan kata reason.
Menurut Kamus Oxford dalam konteks ini rasional dapat diartikan: 1) Based on reason rather than emotions (berdasarkan argumentasi daripada emosi); 2) Able to think clearly and make decisions based on reason rather than emotions (dapat berpikir secara jelas dan membuat keputusan dengan argumentasi daripada emosi).
Dari pengertian ini relevan sekali ketika Rasulullah saw melarang, la taghdab, la taghdab, la taghdab, sampai tiga kali. Di lain riwayat beliau melarang seseorang (hakim) memutuskan perkara ketika sedang marah. Sebab keputusan dan sikap seseorang ketika sedang marah menjadi tidak rasional. Marah merupakan jenis sikap emosional yang dapat menghilangkan rasionalitas seseorang.
Rasional Beda dengan Logika
Rasional berbeda dengan logika. Dalam Bahasa Inggris disebut dengan logic (logis) dan kata ini dalam Bahasa Indonesia diartikan masuk akal. Meskipun makna akal dalam Bahasa Arab lebih luas dari logika.
Dalam Kamus Oxford, kata logika dijelaskan sebagai berikut: 1) A way of thinking or explaining something (tahapan-tahapan dalam menjelaskan sesuatu); 2) Sensible reasons for doing something (alasan yang dapat masuk akal untuk melakukan sesuatu); 3) The science of thinking about or explaining the reason for something using formal methods (ilmu tentang berpikir untuk menjelaskan sesuatu menggunakan metode formal).
Untuk membedakan antara rasional dan logika, saya sangat senang dengan pendapat Mutiullah, salah seorang senior yang berhaluan post marxisme. Menurutnya, sesuatu yang rasional sudah tentu logis.
Namun yang logis belum tentu rasional. Misal seperti ini, ada sebuah kulkas kosong. Kemudian diisi dengan sayuran hingga penuh. Lalu munculah sebuah pertanyaan bagaimana caranya jika kita ingin memasukan daging ke dalam kulkas tersebut? Maka jawabannya adalah dikeluarkan dahulu sayurannya, kemudian daging tersebut dimasukkan ke dalam kulkas.
Lantas jika ada pertanyaan lagi, bagaimana caranya kita memasukkan kerbau ke dalam kulkas? Berdasar metode formal, dikeluarkan terlebih dulu dagingnya kemudian kerbaunya dimasukan.
Jawaban ini sangat logis, tetapi tidak rasional. Itulah perbedaan antara rasional dan logis. Sebab sangat tidak masuk akal kerbau sebesar itu masuk ke dalam kulkas. Inilah alasan yang rasional. Kecuali kerbau tadi dipotong-potong kemudian dimasukkan ke dalam kulkas.
Rasionalitas dalam Isra’ Mi’raj
Ketika Rasulullah saw mengabarkan bahwa dirinya semalam baru datang dari Masjidil Aqsha (terkait isra’ mi’raj), maka semua orang munafik dan kafir Quraish mengecam beliau.
“Muhammad tidak lain adalah pembohong besar”. Beliau dianggap seperti itu sebab cerita tersebut tidak masuk di akal mereka yang tidak memiliki iman. Abu Bakar adalah orang yang mengakui dan membenarkan ucapan beliau.
Berdasarkan kisah tersebut, yang digunakan orang-orang munafik dan kafir Quraish adalah logika formal. Dalam logika formal, sangat tidak mungkin melakukan perjalanan dari Makkah ke Masjidil Aqsha kemudian kembali lagi hanya dalam waktu satu malam. Mestinya perjalanan tersebut menempuh waktu paling tidak dua bulan.
Sementara yang digunakan Abu Bakar ra adalah rasionalitas. Kalau hal tersebut perjalanan manusia biasa sangat tidak memungkinkan. Namun perjalanan tersebut perjalanan yang dibimbing langsung oleh Allah.
Tentu saja perjalanan yang dibimbing langsung oleh Allah tidak serupa dengan perjalanan manusia. Selain itu dia juga telah menyaksikan beberapa mukjizat Nabi saw ketika bersama. Itulah sebabnya dia tidak ragu sama sekali untuk membenarkan kisah tersebut. Dari peristiwa inilah kemudian Abu Bakar diberi gelar ash-shidiq, yang artinya membenarkan yang diragukan orang.
Keyakinan Memerlukan Akal
Hal serupa juga berkaitan dengan keyakinan atau iman. Hal yang tidak tampak, belum tentu tidak ada. Tuhan tidak tampak bukan berarti Tuhan tidak ada. Sesuatu yang dapat diindra berarti makhluk.
Jika Tuhan dapat diindra, berarti itu bukan Tuhan. Itulah yang disebut dengan hal ghaib. Hal ghaib tidak dapat diindra, bukan berarti yang tidak dapat diindra tidak ada. Akal tidak dapat diindra, tetapi dia ada.
Jadi, salah jika ada anggapan beragama itu dengan keyakinan saja, tanpa membutuhkan akal. Jawaban yang benar (rasional) adalah antara keyakinan dan akal tidak dapat dipisahkan dalam beragama.
Sebab kalau beragama hanya mengandalkan akal saja, berarti itu bukan agama. Hal yang membutuhkan akal saja lebih tepat disebut dengan sains (ilmu pengetahuan). Padahal agama bukan sains.
Kalau ada yang menyebut gunakanlah akal sehat, berarti sama dengan perintah untuk menggunakan rasionya. Sehingga apabila disebut Islam rasional, maka bermakna Islam yang sesuai dengan akal sehat. Jika dibalik, maka hanya orang-orang yang menggunakan akal sehat yang dapat memahami Islam.
Editor: Rozy