Oleh: Hendra Hari Wahyudi
Dalam kehidupan berkeluarga, suami istri bisa menjadi sahabat dan teman hidup, yang berbahaya adalah ketika menjadikan seteru. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sering terjadi jika sudah menjadikan salah satu anggota keluarga menjadi seteru.
Istri yang sering menjadi korban, berdasarkan data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) jumlah kekerasan terhadap perempuan tahun 2019 sebesar 406.178.
Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 348.466 seperti yang dilansir Wartakota pada 1 Oktober 2019. Perempuan sebagai istri tugasnya memang bukan hanya masak, manak (melahirkan), dan macak (dandan).
Namun, istri yang sudah sebagai ibu dari anak-anaknya, memiliki tugas yang lebih daripada itu. Maka, Allah amat sangat menganjurkan suami memperlakukan istri dengan baik sebagai mana firmanNya :
وعَاشِرُوْهُنَّ بِالمَعْرُوْف
“Dan pergaulilah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang ma’ruf” (QS An Nisaa’:19)
Dari kata ‘pergaulilah’, harusnya tidak hanya kita berasumsi tentang masalah ranjang. Namun, banyak hal yang lainnya seperti bagaimana kita memperlakukannya setiap hari. Walaupun seorang suami menuntut haknya, yang menjadi kewajiban seorang istri pun harus dilakukan dengan cara yang baik pula. Allah berfirman :
وَلَهٌنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْف
“Dan hak mereka semisal kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf” (QS Al Baqoroh: 228).
Perempuan ketika sudah menjadi seorang istri dari seorang suami, maka orang yang harus dan paling ia taati adalah suaminya, selama suami menyuruh dan mengajak kepada hal yang baik. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan hal ini melalui sabdanya :
لَوْ كٌنْتٌ آمِرُأَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلِأَحَدٍ لَأَمَرْتٌ المَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Andaikan aku dibolehkan untuk memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, sungguh aku akan memerintahkan seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya”.
Namun, apakah engkau (suami) memperlakukan istrimu sebagai ratu atau sebagai pembantu? Zaman sekarang, kebutuhan istri baik di kota atau di pedesaan hampir sama. Dimana perempuan ‘kelas sosialita’ sudah merambah ke berbagai sudut negeri.
Perempuan desa, kini bak perempuan kota yang tiap harinya diisi dengan jalan-jalan, shopping, kuliner, dan lainnya. Dengan menu tambahan, yakni selfie. Atau siaran langsung melalui sosial medianya bak artis. Banyak pula istri yang terjangkit gejala itu, tak jarang pula ada juga yang memamerkan harta atau kekayaan suami, sehingga ia bak ratu di komplek perumahannya, pun di dunia maya.
Semua karena adanya materi dan fasilitas yang diberikan suami, juga tak sedikit pula suami yang ikut mendandani istrinya bagai ratu tadi. Salah kah? Tidak. Karena sejatinya suami memang harus membuat istri merasa senang. Berlebihan kah seorang istri? Nampaknya iya.
Dalam Al-Qur’an, Allah sudah jelas melarang kita berlebih-lebihan.
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al-A‘raaf, 7: 31).
Tapi, terkadang manusia sekarang suka berlebihan untuk menunjukan kelas sosialnya, sudah berlebihan ditambahi riya’ (pamer). Seorang istri memang diperbolehkan dandan asal wajar, tapi dengan dandannya hanya untuk menyenangkan suaminya.
Di zaman now, mau ada suami atau tidak, istri tetap bersolek bak ratu. Apalagi kalau keluar rumah (hangout) bersama teman-temannya. Allah berfirman :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu …” (QS. Al-Ahzaab, 33: 33).
Jika semua itu sudah terjadi, suami harusnya mengontrol sikap dari istri, mengajaknya intropeksi diri dan lebih mengingat Allah SWT. Istri juga terkadang menjadi ‘pembantu’ dirumahnya, dimana mulai dari mencuci hingga membersihkan rumah ia lakukan sendiri.
Tak jarang, seorang suami mengatakan bahwa itu memang tugas istri. Hal ini terasa miris, dimana seorang istri apalagi sudah menjadi ibu, harus mengurus anak, suami, dan rumah seorang diri. Suami hanya kerja dan kerja, karena kewajiban suami memang memberikan nafkah kepada istri. Allah berfirman yang artinya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”(QS. An-Nisa’ : 34).
Pada dasarnya, kewajiban istri memang cuma 2 hal, yakni patuh kepada suami, dan membahagiakan suami. Namun, patuh tidak berarti suami berhak semena-mena pada istri. Haruslah ada kerjasama yang baik, seorang suami juga harus tau perkembangan anaknya, ikut menemani anaknya belajar.
Karena suami juga harus turut serta dalam mengurus anak, termasuk tugas rumah lainnya. Istri Nabi, Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi shalat” (HR Bukhari).
Kesibukan istri akan menjadi lebih ringan jika suami meneladani Rasulullah, sehingga kebersamaan yang diikat dalam ikatan keluarga itu bisa makin dan tambah erat. Menyapu, mengepel, sampai masak pun kadang terasa jarang dilakukan oleh seorang suami, istri lah yang sering mengerjakan hal tersebut.
Jika ekonomi kita lagi mapan, mungkin kita bisa mengambil pembantu untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Namun jika tidak, maka sudah seharusnya lah suami membantu pekerjaan istri. Dalam hadits berikut :
عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ
Urwah berkata kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember” (HR Ibnu Hibban).
Kita seharusnya bisa mencontoh Rasulullah, memang terkadang sulit dengan alasan malu atau masalah gender. Terkadang suami merasa sebagai pemimpin dalam keluarga sehingga merasa tak pantas melakukan hal itu, namun walau hanya dengan membantu menyapu rumah, pastinya seorang istri akan merasa senang karena suami mau membantunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya” (HR At-Tirmidzi As-Shahihah no 284).
Baiknya, seorang suami dan istri bisa berkolaborasi dalam menjalani rumah tangga, berbagi tugas sesuai kemampuannya Dan derajat seorang suami tidak akan ikut tersapu ketika membantu istri menyapu. Tidak akan ikut luntur martabat suami ketika membantu istri mencuci baju.
Mari menjadikan istri sebagai ratu di rumah dan dihati kita (para suami), dengan juga mengontrol dengan selalu mengajak kepada yang ma’ruf. Dan mari (para suami) menjadi ‘pembantu’ istri, saling berbagi tugas dari menyapu sampai mencuci. Karena Allah berfirman yang artinya :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa. Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2).
Kelak nantinya, anak-anak kita akan mencontoh kita sebagai orangtua, karena rumah adalah sebagai madrasah pertama untuk anak-anak kita sebelum mereka memasuki pendidikan formal. Di keluargalah anak pertama kali mengenal pendidikan dari orang terdekat mereka.
Mereka mendapatkan pendidikan awal dari orang tua mereka. Di sinilah orang tua menjadi guru pertama sebelum anak masuk ke pendidikan yang formal. Karena sejatinya, keluarga adalah tempat kita (para suami) memberikan teladan, tempat (istri) mengabdi menuju kebaikan, dan tempat anak-anak kita belajar tentang kehidupan.