Grup Whatsapp bapak-bapak kompleks rumah saya ramai. Pembicaraan yang selama ini terjadi di pos ronda berpindah ke grup daring dan menyebabkan kepala bapak-bapak pening. Kali ini bukan karena teori konspirasi atau teori cocokologi lain, selain karena bapak-bapak sudah bosan, mungkin juga sudah tercerahkan. Tapi yang lebih dramatis dari itu, yakni tentang maling.
Kompleks kami mengalami tiga kali kemalingan akhir-akhir ini. Sebuah track record yang tak pernah terjadi, mengingat betapa adem ayemnya kompleks kami. Kasus pertama, perampokan HP yang ditinggal pemiliknya di dasbor motor. Kedua, pencurian dompet ibu-ibu di warung sayur. Ketiga -syukurlah- maling ini belum sempat mengambil apapun, tapi berhasil kabur dari kejaran warga dan menghilang di area persawahan. Maling di kompleks tetangga lebih brutal, ia mengambil paksa tas dari pengendara motor dan mendorong korban hingga terjatuh di jalan.
Jika krisis dengan kriminalitas berjalan linear, maka fakta yang disebutkan di atas membuktikan hipotesis tersebut. Kita tak bisa menyangkal bahwa pandemi ini melahirkan permasalahan-permasalahan baru. Mabes Polri mencatat selama PSBB diberlakukan, angka kejahatan naik 11,8 persen.
Kejahatan tidak lahir dari ruang kosong, jika dikontekstualisasikan dengan situasi krisis, maka ia lahir sebagai salah satu bentuk mekanisme manusia untuk bertahan hidup. Homo homini lupus, manusia akan memangsa manusia lain. Manusia butuh makan, dan makan butuh uang. Dalam situasi yang benar-benar tidak bisa menciptakan atau mencari kerja, beberapa orang terpaksa mengambil opsi itu: dengan mencuri.
Pertanyaan selanjutnya yang harus kita coba jawab adalah, mencuri pada keadaan yang sungguh terdesak, menjadi sebuah takdir atau pilihan?
Memelihara Jiwa itu Diutamakan
Tentu kita masih ingat dengan kisah ini. Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab, ada seorang janda yang kelaparan. Untuk membesarkan hati anak-anaknya, ia memasak batu hingga anak-anaknya tertidur lelap. Kebetulan pada saat itu, khalifah Umar sedang melakukan blusukan untuk melihat keadaan rakyatnya dan mendapati janda kelaparan tersebut.
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah tersebut?
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 195 :
وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Ayat tersebut menyampaikan pesan kepada kita mengenai keutamaan memelihara keselamatan jiwa. Jika dikorelasikan dengan kisah janda pada masa Umar sebelumnya, maka sebenarnya Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk melakukan ikhtiar agar tidak masuk ke dalam jurang kebinasaan, bukan hanya berpasrah diri tanpa menjemput peluang usaha. Syukurlah pada waktu itu, khalifah Umar sedang patroli untuk melihat kondisi warga, bagaimana jika tidak? Wallahu’alam, mungkin saja janda tersebut mati kelaparan bersama anak-anaknya.
Pada frasa selanjutnya, Allah SWT memerintahkan untuk berbuat baik. Oleh karena itulah penting untuk menakar kebaikan di setiap usaha yang kita lakukan dalam rangka memelihara jiwa. Maka pertanyaan sebelumnya pun terjawab, bahwa sesungguhnya mencuri atau tidak, sekalipun dalam keadaan krisis, adalah sebuah pilihan.
Pencurian, untuk alasan apapun, dalam hukum agama maupun materiil, dua-duanya tak bisa dibenarkan. Sekalipun justifikasi yang diberikan terdengar sangat manusiawi, namun jika ia merenggut kemanusiaan orang lain maka tergolong ke dalam perbuatan dzalim.
Lalu, apa opsi lain selain mencuri untuk bertahan hidup?
Opsi Bertahan Hidup Selain Mencuri
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 173 :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Pertama, makan makanan yang diharamkan. Tentu kita harus mengartikulasikan kata “terpaksa” dalam ayat tersebut secara lebih jeli agar kebolehan ini tidak miskonsepsi. Dalam memutuskan segala sesuatu, kita diperintahkan untuk membandingkan kemudaratan antara dua hal kemudian memilih yang paling kecil mudaratnya. Manakah yang memiliki kemudaratan lebih besar: mati kelaparan atau terpaksa memakan makanan haram tersebut untuk bertahan hidup?
Persyaratannya pun sudah jelas, tidak boleh dilakukan secara sengaja, benar-benar dalam keadaan terdesak, dan tidak boleh mendatangkan kesukaan ketika mengonsumsi makanan tersebut.
***
Kedua, meminta. Ya, memang benar dalam hadis Bukhari Muslim disebutkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Meminta-minta juga kerap dianggap ‘saru’ atau tidak pantas dalam konstruksi masyarakat dan moral, namun Islam tidak pernah melarang meminta-minta secara mutlak. Dalam hadis tersebut hanya dijelaskan bahwa memberi lebih baik daripada meminta, bukan larangan untuk meminta, bahkan di dalam Al-Qur’an pun tidak ada larangannya.
Dikisahkan bahwa Qabishah bin Mukhariq bercerita kepada Rasulullah tentang kehidupannya yang berat. Ia bertanya, bolehkan jika ia meminta-minta karena keadaannya tersebut. Kemudian Rasulullah menjawab bahwa Islam membenci sikap meminta-meminta, namun terdapat tiga orang yang diperkenankan, “Pertama, orang yang memikul beban berat di luar batas kemampuannya. Kedua, orang yang terkena musibah dan semua hartanya hilang. Ketiga, orang-orang yang sangat miskin. Bagaimana standar untuk mengukur orang yang sangat miskin? Ketika terdapat tiga tetangganya yang menilai orang tersebut miskin.”
Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang cenderung bersifat altruis dan welas asih, maka opsi ini pun yang paling aman dan memungkinkan. Bahkan di beberapa daerah, tanpa diminta, masyarakat telah berinisiatif untuk mengadakan bantuan secara mandiri di kampung-kampung.
Ketiga, berhutang. Berhutang kepada orang lain yang sama-sama menghadapi situasi krisis pun sebenarnya cukup sulit. Namun jika benar-benar harus berhutang, maka adab hutang-piutang telah dijelaskan secara terperinci melalui surat Al-Baqarah ayat 282-283 dengan syarat dicatat, ada saksi, dan jaminan. Berhutang juga harus disertai komitmen untuk mengembalikannya tepat waktu, karena menunda-nunda membayar hutang juga merupakan bentuk kedzaliman.
***
Sebagai masyarakat yang masih menata diri dan tertata dalam status dan kelas sosial yang kuat, kita akan cenderung merasa gengsi bahkan hina jika na’udzubillah harus melakoni tiga skenario terburuk tersebut. Kesemuanya adalah argumentasi penulis, boleh ditambahkan dalam kolom komentar jika Anda punya skenario lebih baik. Namun menurut penulis, meskipun sekilas ketiganya tampak begitu rendah, namun itu jauh lebih baik dibanding menjadi serigala bagi manusia yang lain.