Hanya 20 siswa, itu pun dibagi 3 rombel. Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah Butuh Purworejo tempat gadis penyandang disabilitas dirundung—semua murid kami terima karena hanya itu yang tersisa.
Pelan-pelan. Perlahan-lahan, sekolah Muhammadiyah tinggal kenangan.
“Rantingmu pikiren! Ojo universitas took aee,” kata Kang Sumardi Jaki, salah satu pengurus ranting di desaku. Biasanya, aku mengutip dari nasehat ulama atau riset cendekiawan. Ini kutipan tak biasa dari semua tulisanku.
Lupakan sejenak Dome UMS Surakarta yang spektakuler, tempat muktamar nanti bakal digelar. Atau tower tauhid menjulang di UMS Surabaya. Atau kampus putih UMM Malang yang fenomenal.
Mari bicara tentang sekolah-sekolah yang hampir bangkrut karena kehilangan murid. Guru-guru yang telat gaji dan input dari sembarang orang karena tak layak diseleksi. Dan para donatur yang mulai kelelahan.
Saya takut jargon berkemajuan dan modern justru bermakna sebaliknya. Ini sebuah proses panjang dengan gerbong yang sarat penumpang. Kadang kita lupa diri hingga lupa pada yang esensi. Kita lupakan ajaran Kiai Dahlan tentang menghidupi Muhammadiyah dengan harta sendiri. Spirit berkurban dan banyak memberi.
SMP Muhammadiyah Butuh Purworejo dan sekolah-sekolah lainnya yang senasib. Potret sekolah Muhammadiyah bukan hanya di Purworejo, tapi juga di kota-kota lain, termasuk di kotaku. Gedung sempit, murid sedikit, guru dan murid berebut tempat karena suasana sekolah tidak kondusif untuk belajar.
Bukan membuka aib, tapi ini realitas yang harus dibahas dan dipetakan. Ternyata kita masih harus banyak berbenah dan bekerja keras. Menjadi pimpinan itu tak seenak yang dibayangkan. Bersyukur masih ada banyak pejuang Persyarikatan di akar rumput, yang jauh dari popularitas. Mereka pertaruhkan harta, waktu, tenaga untuk sekolah-sekolah yang tak pasti masa depannya.
Ini bukan soal sambat, apalagi mengeluh. Hanya butuh semacam perhatian, setidaknya sepenggal doa atau sedikit simpati. Syukur-syukur menjadi bahan seminar Pra-Muktamar di kalangan elite Persyarikatan. Atau menjadi bahan renungan bagi para pimpinan di Persyarikatan, bahwa nun jauh di sana ada ranting yang kolaps, sekolah yang bangkrut karena kehilangan murid digerus sekolah negeri dan pengajian yang mulai sepi.
Mungkin sebagian kita telah menjadi ‘pekerja’ atau menjadi ‘buruh’ di Persyarikatan. Dan lahir sikap ‘enggan’ bilamana tak disuruh. Datang ke pengajian pun menjadi beban, apalagi diajak urunan untuk membangun amal usaha.
Editor: Arif