K.H. Hasan Basri lahir pada tanggal 20 Agustus 1920 di Muara Teweh, Barito Utara Provinsi Kalimantan Tengah. Ia lari pasangan yang taat bernama Muhammad Darun dan Siti Fatimah binti Haji Abdullah. Beliau adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Dalam usia tiga tahun, Hasan Basri sudah ditinggal pergi oleh ayahnya untuk selama-lamanya.
Sejak saat itulah, Hasan Basri berpredikat anak yatim. Setelah ditinggal pergi oleh sang ayah, Hasan Basri bersama ibunda dan dua saudaranya pergi ke rumah kakeknya yang bernama Pak Haji Abdullah. Sejak itulah Hasan Basri hidup dalam asuhan ibu dan kakek-neneknya.
Pendidikan K.H. Hasan Basri
Tepatnya di tahun 1927, Hasan Basri kecil telah berusia tujuh tahun. Ia oleh kakeknya dimasukan ke Sekolah Rakyat (SR) atau Volkscool pada pagi hari. Di sore harinya menuntut ilmu di Madrasah Diniyah Awaliyah Islamiyah.
Sekolah Rakyat ditamatkannya tahun 1933, namun masa belajarya di Madrasah belum selesai. Walaupun di sekolah rakyat sudah selesai, namun kakeknya melarang untuk melanjutkan sekolahnya ke tingkat selanjutnya sebelum Madrasah Diniyah ditamatkan.
Hasan Basri pun taat dengan perintah itu. Kemudian pada tahun 1935 pendidikannya di Madrasah Diniyah telah usai dengan indeks prestasi yang melebihi persyaratan memasuki sekolah lanjutan (menengah) pertama tanpa tes masuk.
Setelah tamat Sekolah Rakyat dan Madrasah Diniyah, Hasan Basri oleh kakeknya dimasukan ke Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Banjarmasin. Di sekolah inilah secara formal Hasan Basri dikenalkan dengan Muhammadiyah, termasuk dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah waktu itu.
Ia bertemu dengan Buya Hamka yang waktu itu menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berkunjung ke sekolah tersebut. Ketika bertemu, Hasan Basri langsung terkagum dan mengidolakan Sosok Buya Hamka.
Di Madrasah tersebut, Hasan Basri cukup menonjol kecerdasan dan kepintarannya. Ia kemudian berhasil menamatkan pendidikannya tepat selama tiga tahun, pada tahun 1938. Indeks Prestasi Hasan Basri di Madrasah Tsanawiyah ini pun tidak mengecewakan.
Ketika itu, secara bersamaan diberitahukan bahwa Hasan Basri memenuhi syarat bila disekolahkan di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Madrasah yang mencetak Ulama, Zuama, dan Pendidik yang dikelola langsung oleh PP Muhammadiyah.
Hasan Basri masuk pada tahun 1938 dan selesai pada tahun 1941, masa pendidikan ditempuh selama empat tahun. Tetapi, lulus lebih cepat satu tahun, sehingga Hasan Basri hanya menyelesaikan pendidikan selama tiga tahun.
Hidup Sezaman dengan Tokoh Pergerakan Nasional
Ketika Hasan Basri belajar di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, ia berteman akrab dengan Djarnawi Hadikusumo. Putra Ki Bagus Hadikusumo (Perumus Piagam Jakarta/Muqaddimah Undang-Undang Dasar 1945).
Hasan Basri juga tidak merasa canggung menghadapi tokoh-tokoh Muhammadiyah, yang sekaligus tokoh pergerkan politik nasional yang memiliki peran penting untuk bangsa Indonesia. Diantaranya Ki Bagus Hadikusumo, K.H Mas Mansyur, Prof. H. Abdul Kahar Muzakir, Buya AR. Sutan Mansur, Kasman Singodimejo, Prof. K.H Farid Ma’ruf, dan lain-lain.
Dari pergaulannya tersebut, dapat dilihat bahwa, Hasan Basri waktu itu sangat kaya dengan pelajaran tambahan. Apalagi ia aktif dalam kegiatan-kegiatan pergerakan politik yang hidup di Yogyakarta waktu itu seperti Partai Islam Indonesia (PII) yang kala itu dipimpin oleh Dr. Sukiman, Wiwoho Purbohadidjojo, K.H Taufiqurrahman, Gafar Ismail dan lain-lain. Kehidupannya di Yogyakarta inilah yang sedikit banyak menentukan kiprah politik Hasan Basri di masa-masa selanjutnya.
K.H Hasan Basri Pulang Kampung, Mengabdi Untuk Negeri
Setelah melakukan studi di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, Hasan Basri pulang kampung bersama dengan istrinya, yang didapatkannya di Madrasah yang sama. Istrinya bernama Nurhani.
Setelah menikah, pasangan abiturien Muallimin-Muallimat Muhammadiyah tersebut, atas biaya swadaya masyarakat, yang dikoordinir oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah Marabahan Kalimantan Selatan, menetap dan berkiprah langsung membina masyarakat di sana. Dengan bekal ilmu yang diperoleh dari madrasah, mendorong keduanya untuk berdakwah sebagai ustadz dan ustadzah di Madrasah Diniyah Muhammadiyah Marabahan.
Di sekolah Diniyah ini, Hasan Basri dan Nurhani mengabdi untuk negeri dan agama, sampai sekolah tersebut dibubarkan pada tahun 1944 karena ada peperangan. Setahun kemudian, setelah tidak lagi menjadi guru, Hasan Basri diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Muara Teweh.
Atas prakarsanya untuk mempertahankan para guru, didirikanlah Persatuan Guru Agama Islam se-Kalimantan Selatan. Sejak menjadi kepala kantor urusan agama karirnya kian menanjak. Lebih-lebih setelah ikut berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI, yang kemudian membuatnya pindah ke Jakarta. Ia ke Jakarta pada tahun 1950 bersama ibunda, istri, dan keempat anaknya.
Dalam dunia pergerakan, Hasan Basri adalah salah satu pendiri organisasi Serikat Muslim Indonesia (Sermi) di Banjarmasin dan terpilih untuk menjadi ketuanya. Ia juga menjadi Ketua Umum Barisan Serikat Muslimin Indonesia (Basmi), yang memiliki tujuan membasmi penjajahan Belanda. Waktu itu, Kalimantan Selatan merupakan salah satu daerah yang tidak menjadi negara bagian seperti keinginan Belanda.
Karir Pasca Kemerdekaan
Pada tahun 1950, Hasan Basri terplih menjadi anggota Parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) perwakilan Kalimantan Selatan. Setelah Sermi bergabung bersama Partai Masyumi, otomatis ia duduk di Parlemen Negara Kesatuan Republik Indonesia mewakili Masyumi. Sampai parlemen dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1959.
Dan setelah Partai Masyumi dibubarkan pada tahun 1960, aktivitas Hasan Basri kemudian beralih ke bidang dakwah. Sejumlah pertemuan dihadirinya baik skala nasional maupun internasional. Ia menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Ketiga, pada Musyawarah Nasional (Munas) Periode 1985-1990. Kemudian, terpilih lagi menjadi Ketua Umum MUI Pusat pada Munas keempat periode 1990-1995. Dan terpilih lagi menjadi Ketua Umum pada Munas kelima periode 1995-2000.
K.H Hasan Basri juga merupakan pendiri Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991. Ketika menjadi Ketua Umum MUI pada Periode 1990-1995, ia juga menjadi Ketua Dewan Syariah Bank Muamalat Indonesia.
Hasan Basri pernah menduduki jabatan sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR-RI) dan anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (DPA-RI). Dan juga pernah menjadi Ketua Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar.
Seperti yang dilansir oleh Tirto.id, selain aktif di MUI dan BMI, Hasan Basri juga menjadi anggota Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sejak 1993. Posisi ini masih diemban sang kiai hingga wafat pada 8 November 1998 pada usia 78 tahun.
Prestasi dan Penghargaan K.H Hasan Basri
- Bintang Jasa Utama bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam dari pemerintah Mesir, yang diserahkan langsung oleh Presiden Husni Mubarak di Aula Syeich Muhammad Abduh Universitas Al-Azhar Kairo tahun 1992.
- Bintang Mahaputera Utama dari Pemerintah Indonesia, diserahkan langsung oleh Presiden Soeharto di Istana Merdeka di Jakarta tahun 1994.
- Satya Lencana Pembangunan Bidang Agama dari Presiden Soeharto tahun 1994.
editor: Yusuf R Y