Feature

Kader Muhammadiyah Anti-Baperan Apalagi Nggumunan

4 Mins read

Beberapa waktu terakhir, penulis kerap memerhatikan dunia maya dengan segala keriuhannya. Salah satunya belajar menjadi kader Muhammadiyah yang nggak baperan apalagi nggumunan.

Dengan adanya pandemi Covid-19, banyak orang yang menghabiskan waktunya dengan dunia yang tersedia di layar HP atau PC. Mungkin, karena dunia nyata sedang dibatasi oleh virus Covid-19, sehingga membuat banyak orang merasa resah.

Alhasil, banyak yang terdorong untuk membuat konten, atau sebutlah karya di jagad maya. Termasuk berupa tulisan yang berisi wacana-wacana mengenai isu sosial, politik, bahkan juga agama. Dihembuskannya isu mengenai konspirasi beberapa waktu lalu, dan sempat menjadi berita viral. Menjadi bukti riil bahwasannya orang-orang saat ini sedang berlomba-lomba memainkan opini publik lewat media mainstream ataupun media sosial.

Entah untuk memancing reaksi warganet, ataukah hanya sekadar sensasi belaka. Penulis tidak bisa memastikan pastinya.

Artikel yang Sempat Viral

Termasuk juga website IBTimes.ID, yang menyajikan pelbagai opini dan wacana mengenai isu-isu terkini, yang tak sedikit artikel yang dimuat di IBTimes.ID mengundang perhatian warganet. Beberapa melontarkan komentar dengan narasi yang tidak sedap dipandang dan dibaca oleh publik.

Saya akui, memang beberapa artikel yang mengudara, terkadang tidak cocok untuk semua kalangan. Terutama masyarakat awam. Karena perlu pemahaman lebih mendalam, dan tak bisa dipahami dalam sekejap.

Mungkin kita masih ingat dengan tulisan Bu Alimatul Qibtiyah, Anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, mengenai Bolehkah Perempuan Menjadi Imam Tarawih di Rumah? Sebuah tulisan yang berisi mengenai opini, serta wacana Bu Alim, mengenai hukum perempuan jika menjadi Imam Shalat Tarawih. Jikalau, sang suami sebagai imam utamanya, tidak mumpuni untuk menjadi imam shalat.

Artikel tersebut berhasil mengundang pro-kontra masyarakat, terutama di lingkungan internal persyarikatan. Namun beberapa hari kemudian, muncul artikel bantahan dengan Judul Tanggapan untuk Artikel IBTimes: Perempuan Jadi Imam Shalat Tarawih, Bagaimana Hukumnya? dari website Santri Cendekia.

Tidak Menghakimi, Apalagi Menjustifikasi

Intinya, bantahan tersebut berisi mengenai hukum-hukum dasar Islam, yang mengatur mengenai imam salat, dengan dalil-dali yang terperinci. Termasuk di dalam artikel tersebut, dijelaskan mengenai tata cara imam perempuan didalam sholat yang sesuai dengan syariat.

Baca Juga  Dari Kuliah Online Sampai Beban Tugas Para Dosen dan Guru di Indonesia

Ataupun tulisan mengenai Perempuan Haid Boleh Puasa, yang ditulis oleh Immawati Ananul Nahari Hayunah, Mahasiswi Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang juga menjabat sebagai Ketua IMM Komisariat di Universitas tempat ia berkuliah. Dan lagi-lagi dibantah oleh website Santri Cendekia, dengan judul artikel Sekali lagi, Perempuan Haid Tidak boleh Puasa, yang ditulis oleh salah satu Santriwati PUTM.

Mungkin yang juga masih fresh baru-baru ini adalah artikel yang berjudul Pacaran Boleh, Zina Jangan!. Selang sehari kemudian, artikel tersebut ditanggapi oleh salah satu Mahasiswa UGM dengan judul Jangan Pacaran, Apalagi Zina.

Ini fenomena yang jarang ditemui di tengah-tengah masyarakat kita. Biasanya kita hanya rame di kolom komentar saja, dan tak sedikit berakhir dengan hate speech, tapi ini lewat tulisan. Ada spirit keilmuan yang hendak disampaikan oleh masing-masing penulis. Jos gandos kotos-kotos lah!

Di sini saya tidak akan membahas lebih mendalam, ataupun menjustifikasi mana yang benar dan mana yang salah. Bukan lingkup dan kemampuan saya. Akan tetapi, saya di sini mencoba menelaah lebih dalam, dan mencoba untuk berpikir ulang.

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir lagi, ini adalah sebuah hal yang positif, dan tidak perlu diambil hati, apalagi emosi! Saya kira, tulisan yang dimuat, semuanya berlandaskan prinsip mereka, dan tak sedikit menyampaikan dalil-dalil Qouliyah dan Kauniyah yang terkait dengan tulisan dan wacana yang mereka sampaikan. Terlepas mana yang lebih kuat, saya tidak bisa menilai, bahkan me-rating nya.

Saya yakin, para penulis yang menyampaikan opini mereka di website IBTimes.ID ataupun SantriCendekia.com, tidak ada niatan buruk, apalagi memelintir pemikiran netizen. Hanya saja, memang sekali lagi, ada beberapa bahasan yang memang itu perlu kajian ulang, dan memang sangat riskan kalau dibaca oleh kaum awam.

Baca Juga  Mengenal Sepanjang, ‘Ibu Kota’ Muhammadiyah Sidoarjo

Tradisi yang Harus Diapresiasi

Tradisi seperti ini sebenarnya layak untuk diapresiasi, dan dikembangkan. Kader Muhammadiyah nggak boleh baperan apalagi nggumunan dalam menghadapi tradisi ini. Karena ini adalah sebuah budaya keilmuan, dan juga sarat akan nilai-nilai literasi yang terkandung didalam setiap untaian kata dan kalimat.

Hal ini menandakan, bahwasannya warga Indonesia masih memiliki daya nalar kritis, dan masih banyak usaha-usaha untuk mencari kebenaran berdasarkan usaha menelaah, atau mengerahkan seluruh daya fikiran intelektual yang dimiliki oleh manusia, atau sering kita dengar dengan istilah Ijtihad.

Allah pun sudah berfirman di dalam Surat Al Maidah ayat 48, yang berbunyi :

وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَٰحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۖ فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Yang artinya : “Kalau lah Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, mak berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya Allah-lah hamba kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”

Ayat tersebut telah mengisyaratkan kepada kita semua, bahwa Allah menciptakan manusia dengan berbagai wujud yang bervariasi warna kulit, bahasa, maupun tabiat, termasuk juga pemikiran. Justru dengan keragaman tersebut, memberikan keindahan dan kesempurnaan ciptaanNya.

Dengan kata lain hal tersebut merupakan fitrah dan kehendak dari Allah. Serta, Allah menyerukan kepada kita semua, agar selalu berlomba-lomba dalam melahirkan sebuah kebaikann dan kebajikan. Adapun segala sesuatu yang diperdebatkan kita, maka di Hari Pembalasan nanti, Allah yang akan memberikan jawaban yang pasti.

Perbedaan Pendapat Ulama Zaman Dulu

Jika kita flashback ke belakang, kita akan teringat dengan seorang tokoh ilmuan muslim bernama Imam Al Ghazali, ia hidup sekitar tahun 1056-1111 Masehi. Sikap skeptisnya atas teologi dan filsafat, melahirkan karya yang kontroversi hingga bertahun-tahun, yaitu kitab Tahāfut al-Falāsifa (Kerancuan dalam berfilsafat).

Sebuah kitab yang mengkiritik filsafat, yang semata-mata hanya mempergunakan akal dalam memahami persoalan ketuhanan dan alam semesta. Kitab ini mengkritik pemikiran neoplatonis yang digunakan oleh filsuf muslim seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi.

Baca Juga  Gus Ulil dan Ngaji Ihya Online: Dakwah Perlu Kontekstual

Namun, Berselang satu abad kemudian, lahirlah kitab yang dikarang oleh seorang pakar ilmu fiqh dan juga filsuf muslim, Ibnu Rusyd, yang hidup sekitar tahun 1126-1198 Masehi. Beliau menulis kitab berjudul Tahafut At-Tahafut (Kerancuan didalam kerancuan). Sebuah kitab yang mengkritik balik pemikirannya Al Ghazali.

Ia berusaha untuk memertahankan penggunaan pemikiran aristotelianis, akan tetapi ia juga masih memegang prinsp, untuk tetap tidak mau meninggalkan prinsip-prinsip agama. Sikap-sikap inilah yang harus ditiru kader Muhammadiyah.

Kader Muhammadiyah Nggak Baperan, Apalagi Nggumunan!

Dan akhirnya, dapat ditarik kesimpulan. Bahwasannya perbedaan di dalam kehidupan ini, termasuk dalam konteks keilmuan dan pemikiran, sudah menjadi sebuah sunnatullah. Justru akan indah, jika dipahami dan pandang sebagai sebuah khazanah keilmuan yang luas. Serta yang paling utama, kita memiliki prinsip yang kuat dalam menyikapi perbedaan. Yakni Bhinneka Tunggal Ika.

Kader Muhammadiyah nggak boleh langsung baperan, apalagi nggumunan dalam menyikapi isu yang sedang viral di media. Pikiran dingin, bertabayyun, serta membuka kembali kitab atau buku mengenai sumber-sumber hukum Islam ataupun ilmu lainnya, harus menjadi habit, jika menemui hal-hal yang bersifat kontradiktif di masyarakat.

Bukan malah baper atau justru nggumun, dengan menyebar berita provokatif dan cenderung mengadu domba. Tidak ada sama sekali spirit persatuannya!

Karena sekali lagi, sifat baperan dan nggumunan, adalah sebuah sikap yang mencerminkan dangkalnya ilmu, dan tidak siap menerima perbedaan. Karena perbedaan ada untuk kita akui, dan kebenaran ada untuk kita ikuti. Sekali lagi, kader Muhammadiyah nggak baperan apalagi nggumunan.

Wallahu Álaam

Editor: Nabhan

Faiz Arwi Assalimi
15 posts

About author
Anggota Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Mahasiswa Magister Administrasi Publik Fisipol UGM
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds