Tajdida

Kapan Wabah ini Berakhir? Soal Pandemi, Misteriosity dan Herd Immunity

6 Mins read

Mudahnya, pandemi merupakan kejadian persebaran penyakit infeksi secara cepat, dalam skala mondial (mendunia) dan memiliki potensi mematikan. Spanish Flu, SARS, MERS adalah contohnya. Jadi kalau mau menilai apakah covid itu pandemi, lihat saja apakah menyebar secara mondial dan berpotensi mematikan atau tidak. Itu satu hal.

Kita lihat data, secara berurutan tingkat ketersebaran keluarga corona dari yang tertinggi adalah Covid-19, SARS baru MERS, Covid-19 paling tinggi. Untuk angka kematiannya atau Case Fatality Rate (CFR) MERS masih paling tinggi mendekati angka 40%. Sementara itu Covid-19 masih berlangsung dan ada di antara 4,4- 16,5%.

Bicara soal akibat kematian yang ditimbulkan suatu pandemi, setidaknya ada dua faktor: virulensi dan kemampuan manusia untuk mengatasinya. Dalam bahasa manajemen bencana, ancaman vs kapasitas. Ancaman kecil dan kapasitas besar, efeknya akan kecil. Ancaman besar tapi kapasitas juga besar maka efek bisa kecil atau sedang, tapi kalau ancaman besar dan kapasitas kecil, tentu efeknya jadi besar.

Soal kapasitas ini dinamis karena kemampuan manusia dalam mengatasi itu juga berkembang, mulai dari tidak tahu banyak, lalu mengenal pola penyakitnya, mengetahui obatnya, menemukan vaksinnya dan seterusnya.

Apakah Covid-19 ini mematikan?

Sebelum bicara jauh,

Virulensi adalah derajat kemampuan suatu patogen oportunistik untuk menyebabkan penyakit, misal tingkat mematikannya. Apakah Covid-19 ini mematikan?

Ada netizen yang bilang bahwa covid itu tidak mematikan, tapi yang mematikan adalah penyakit lain yang sudah ada di tubuh pasien sebelumnya, misalnya Diabetes, jantung, paru, ginjal dll.

Agar lebih mudah menjelaskan, saya beri contoh pertanyaan praksisnya: Kalau orang sakit Diabetes lalu kena Covid dan meninggal, penyebab kematiannya (Cause of Death -CoD) nya itu Diabetes atau Covid?

Secara medis begini: Kondisi pemberatan Diabetes yang bisa fatal itu ada Ketetosidosis Diabetik (KAD) Hyperglycemic Hyperosmolar Syndrome (HHS) atau Hipoglikemi.

Nah, beberapa kasus covid pada pasien dengan diabetes di beberapa pusat layanan di Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta yang sempat saya dapat dari dokter intensivist di sana, yang terjadi di antaranya ada kerusakan paru yang menyebabkan Sindrom distres pernapasan akut (ARDS) lalu gagal nafas dan meninggal, atau Badai Cytocaine lalu Multi Organ Failure dan meninggal.

Pasien malah tidak mengalami pemberatan Diabetesnya. Artinya, pencetus rangkaian proses menuju kematian adalah Covid, sementara Diabetes adalah penyakit penumpangnya. Fakta lain menyebutkan, ternyata ARDS ini juga dialami oleh pasien tanpa diabetes, terjadi erusakan paru-paru atau gangguan pembekuan darah. Jadi Covid adalah penyebabnya, kan? Perkara penyakit lain jadi pemberat, tentu sangat bisa.

Jadi terkait virulensi, Covid-19 ini punya potensi mematikan. Dengan demikian, Covid-19 wajar disebut sebagai pandemi karena memenuhi unsur mondial dan berpotensi mematikan.

Baca Juga  Apa Modal IMM Mewujudkan Islam Berkemajuan?

Misteriosity: Mengapa Covid-19 Mengerikan?

Penyakit jenis baru menjadi menakutkan karena misteriosity-nya. Dalam dialog semalam di Live Facebook saya dengan DR. Dr. Atoillah Isvandiary, ahli epidemiologi dari UNAIR, dicontohkan Demam Berdarah. Awal pertama muncul penyakit ini “mengerikan” bagi masyarakat juga bagi dunia medis.

Saat itu ditemukan penyakit baru yang belum diketahui penyebabnya, tiba-tiba orang berdarah melalui hidung atau mata, banyak yang mati dengan CFR 30-an prosen, belum diketahui dari mana di dapat dan belum diketahui pula penangannya.

Sekarang lain kondisinya. Setelah kita mengetahui lebih banyak soal Demam Berdarah, yang kemudian diketahui tidak musti berdarah, angka kematian dari awalnya 30% bisa ditekan jadi nol koma, kengerian kita terhadap penyakit ini sudah berbeda jauh dibanding awal-awal dulu. Dari “Hah, kena Demam Berdarah??!!” (dengan nada tinggi) menjadi “Oo.. kena dengue…” (dengan nada datar).

Demam berdarah yang merupakan penyakit di daerah tropis saja bisa begitu menakutkan ketika itu, apalagi kalau penyakit yang persebarannya mendunia dalam waktu cepat, maka wajar rasa ngerinya juga besar.

Saat ini angka kematian akibat covid di dunia antara 4,4% sampai 16%, bervariasi di setiap negara. Fakta-fakta baru terus ditemukan. Dari yang awalnya diduga hanya mematikan pasien usia lanjut dan yang memiliki penyakit sebelumnya (comorbid), ternyata yang muda dan tanpa penyakit lain pun bisa fatal juga.

Dari manifestasinya sebagai pneumonia (infeksi paru-paru) saat di Wuhan, sekarang ditemukan juga Cytocaine Storm dan gangguan pengentalan darah secara luas yang menyebabkan kegagalan multi-organ. Dari yang ditularkan melalui droplet, aerosol lalu berkembang ke kemungkinan melalui kotoran karena ditemukan virus dalam faeces.

Kita juga belum tahu secara memuaskan, orang seperti apa yang potensi sembuh dan yang kemungkinan besar mati. Ada yang muda tanpa penyakit lain mati, ada yang tua bisa sembuh keluar dari ICU dan pakai ventilator. Apakah variasi ini disebabkan oleh perbedaan sub-type virusnya, modal sistem imunnya, atau kapabilitas rumahsakit dan dokternya?

Kondisi imun atau Immunogenetika tiap orang berbeda dan karena itu berbeda pula respon imunnya terhadap virus. Ada yang oke, ada yang kurang, ada yang berlebihan sampai terjadi cytocaine storm. Kita belum punya teknologi untuk mengetahuinya, makanya ini masih misteri, kenapa si Bejo mengalami cytocaine storm sedangkan si Trimbil tidak, dan apakah si Panjul akan mengalami? Mungkin kelak nano teknologi mampu menjawabnya.

Artinya, sekali lagi, “misteriosity” covid-19 ini masih banyak dan harus terus diungkap. Tapi kalau polanya sama dengan pandemi sebelumnya, semoga suatu saat kita berada di atas covid dalam arti bisa mengenali, mengobati dan mencegah dengan cara yang lebih baik. Artinya, Misteriosity covid menurun.

Baca Juga  Anushtakin Darazi dan Sekte Druze di Suriah

Oleh karena itu, karena tingkat misterinya masih tinggi dan vaksin belum ada, maka usaha mengungkapnya terus diusahakan sambil mencegah orang tertular dengan berbagai cara.

Herd Immunity: Bisakah Diandalkan?

Cukup menarik mengamati pembicaraan di media sosial. Ada netizen yang berpendapat bahwa laju infeksi covid tidak akan bisa dibendung, semua orang akan kena. Yang seperti ini ada yang pasrah, “terserah Tuhan” apakah saya akan selamat atau mati, ada pula yang optimis bahwa kalau sudah banyak yang kena, maka akan terbentuk “herd immunity” lalu pandemi akan reda dengan sendirinya.

Menurut Dr. dr. Athoilah Isfandiari, terhadap Covid-19 ini kita tidak bisa mengandalkan herd-immunity yang dihasilkan dari proses alamiah atau non-intrvensi. Kenapa?

Persoalannya, kalau mengandalkan herd immunity non-intervensional ini kita tidak tahu kapan akan tercapai. Secara epidemiologi, WHO menyebut Covid-19 memiliki nilai R0 2,2 (artinya 1 orang bisa menularkan pada 2,2 orang lainnya). Kalau herd immunity dirumuskan dengan 1 – 1/R0, jadi 1-1/2,2 = 0,54. Dengan demikian untuk membentuk herd immunity perlu 54% (145 juta) orang terinfeksi dulu.

Padahal, dalam sebuah seminar, juru bicara pemerintah menyampaikan bahwa nilai R0 covid adalah 4, lebih besar dari WHO. Artinya butuh lebih banyak yang terinfeksi untuk membentuk herd immunity. Tapi baiklah kita pakai angka WHO yang lebih kecil.

Maka kapan 145 juta itu tercapai untuk terbentuk herd immunity? Kita tidak tahu. Pada prakteknya, banyak penyakit infeksi lain yang sudah lebih dulu datang sebelum covid belum ada yang terbentuk herd immunity kecuali smallpox yang didapat dari vaksinasi.

Belum lagi, Selama proses menginfeksi 145 juta itu, dengan angka kematian rata-rata di Indonesia ini 6% maka akan berapa banyak yang meninggal? 8 juta orang? Katakanlah angka kematiannya 3%, berarti 4 juta? Okelah kalau mau 1%, berarti 1 koma sekian juta?

Melihat dari variasi pasiennya (tua/muda, berpenyakit lain/tidak) dimana kita belum tahu secara lebih pasti siapa yang bakal selamat dan siapa bakal jadi martir, apakah mengandalkan herd immunity yang seakan mengandalkan mekanisme survival of the fittest ini bisa diterima secara moral?

Bicara soal herd immunity ini juga bicara soal kapasitas layanan kesehatan. Kalau mengandalkan herd immunity non-vaksin tadi, berapa yang akan sakit dan memenuhi rumah sakit yang ada, khususnya ICU-nya, dalam satu waktu? Apakah kapasitas rumah sakit kita cukup? Apakah kapabilitas rumah sakit dan tenaga medis kita memadahi? Ini juga masih misteri. Dan idealnya, jangan sampai fasilitas layanan kesehatan kita overloaded.

Saat ini, selisih antara jumlah pasien dan rumah sakit berbeda di setiap wilayah. Benar bahwa masih ada rumah sakit yang kosong di suatu daerah, tapi adalah fakta bahwa di daerah lain juga ada rumah sakit yang kerepotan, penuh, sampai harus berusaha merujuk ke sana ke mari. Dan pada tataran teknisnya, merujuk pasien covid di berbagai daerah tidaklah mudah karena berbagai sebab.

Baca Juga  Sejarah Singkat dan Produk-produk Pertama Majelis Tarjih

Herd immunity yang baik bisa didapat dari vaksinasi massal, tapi saat ini belum ada vaksinnya. Virus aktif dan vaksin tentu beda. Vaksin itu setidaknya bisa pakai virus yang diinaktivasi atau menggunakan agen hasil proses laboratorium lain yang keamanannya sudah diuji.

Sebelum Ada Vaksin, Intervensi Apa yang Bisa Dilakukan?

Kita bisa melakukan personal protection dan rekayasa sosial yang baik dalam rangka mencegah agar lonjakan pasien tidak tinggi sampai melebihi kapasitas dan kapabilotas fasilitas layanan kesehatan yang kita miliki.

Rekayasa sosial itu ada yang menyebutnya Lockdown, PSBB, Karantina Wilayah atau yang lain. Itupun meski istilahnya sama, misalnya Lockdown, penerapannya berbeda di tiap negara tapi intinya sama, yaitu untuk menghambat laju penularan sampai vaksin dan pengobatan ampuh ditemukan.

Harus diakui, rekayasa ini membawa beban di bidang kehidupan yang lain, khususnya ekonomi. Pergerakan manusia yang dibatasi akan membuat roda ekonomi juga melambat. Pertumbuhan ekonomi yang melambat, bahkan di Indonesia bisa diperkirakan pertumbuhan ekonomi di angka nol, akan sangat berat.

Tapi kalau tidak diperlambat, laju infeksi tinggi, kurva pasien naik, beban ekonomi juga ikut naik. Nah, karena kita mengandalkan pariwisata dan investasi asing, juga akan berat. Siapa yang mau wisata dan investasi di negara yang masih infeksius? Simalakama, kan?

Akhirnya, Kapan Kita Menyudahi Pandemi ini?

Ketika dunia medis makin baik dalam mengenali penyakit ini, makin mampu mengobati secara efektif dan sukur-sukur efisien, mampu mencegah dengan baik, mampu mengecilkan angka kematian sampai nol koma nol sekian, maka sesungguhnya pandemi ini bisa dikata berakhir.

Jadi meski cepat menyebar, tapi kalau angka kefatalannya kecil sekali, maka bukan lagi pandemi yang patut ditakuti kan? Dalam keadaan seperti ini, status covid sudah seperti penyakit infeksi lainnya, dan membuat kita bisa bilang, “Ooh.. Cuma covid”, dengan penuh percaya diri seperti saat kita kena flu biasa, misalnya.

Nah, karena itu semua pihak perlu bekerjasama dalam melandaikan kurva angka orang terinfeksi untuk memberi nafas pada ilmu kedokteran mengatasinya dan memberi waktu yang relatif cukup untuk ilmuwan menemukan vaksinnya. Dan sesungguhnya, kuncinya itu ada di tangan kita: jaga jarak, jaga kebersihan, jaga kesehatan mental, tingkatkan sistem imun.

WaLlahu a’lam.

Kapan Wabah Covid-19 Berakhir?

Penulis: dr. Ahmad M Alim, Sp.An, M.Sc.DM (EMDM), Wakil ketua MCCC PP Muhammadiyah

Editor: Yahya FR
17 posts

About author
Santri Nogotirto. Dokter Spesialis Anestesi
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds