Akhlak

Karakter Raja’: Berharap kepada Allah tanpa Berputus Asa

12 Mins read

Mahatma Gandhi menyatakan, “Harapan Pasti Ada!” Tentu bagi yang tidak diliputi perasaan sedih, keluh-kesah, cemas, dan berputus asa.

Yang sakit berharap untuk sembuh dengan berobat dan yang gagal berharap sukses dengan bangkit menata diri. Harapan dalam Islam dikenal dengan sikap raja’ . Raja’ bukanlah pada hal-hal yang melanggar sunatullah yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Bukanlah karakter raja’ yang ingin kaya dengan mencuri dan merampok; tidaklah disebut berkarakter raja’ orang yang ingin sukses tanpa melalui proses; dan bukanlah karakter raja’ orang meraih segala sesuatu dengan menghalalkan segala cara yang dilarang etika-agama dan etika sosial serta budaya orang yang beradab.

Begitu sangat pentingnya karakter raja’, maka sangat perlu di dalami lebih jauh supaya sikap terpuji ini menjadi kata yang seiya dengan laku, bukan kata yang mendustai laku.

Pengertian Raja’

Menurut Ibnu Qayyim, Ibnu Rajab, dan Abu Hamid Al Ghazali, Raja‘ (harapan) adalah kelegaan (ketenangan) hati untuk menunggu apa yang dia sukai.

Esensi dari raja’ adalah mengharap ridha, rahmat dan pertolongan Allah SWT, serta yakin hal itu dapat diraihnya, atau suatu jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu yang disenangi dari Allah SWT, setelah melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang diharapkannya.

Maka mengharap ridha, rahmat, dan pertolongan Allah SWT, tidak serta merta hanya menunggu saja. Akan tetapi harus memenuhi sunatullah atau ketentuan Allah SWT, seperti aktif melakukan kebaikan, menjauhi kejahatan, melaksanakan ibadah wajib dan sunah, serta amal saleh yang selalu mendekatkan sang hamba pada Khaliqnya.

Syarat Karakter Raja’

Karakter raja’ bukan pada hal-hal yang negatif yang diharapkan akan tercapai maksud yang diharapkan. Tetapi pada hal-hal yang bersifat positif yang diharapkan tercapai maksud dan tujuan yang diinginkan. Barang siapa harapannya ingin diberi hidayah untuk menjalankan ketaatan dan dihindarkan dari kemaksiatan, maka raja’ seperti inilah yang paling benar. Namun barangsiapa raja’ atau harapannya ini bisa mengerjakan kebatilan dan hanyut dalam perbuatan maksiat, maka dia telah tertipu.

Di antara hal yang selayaknya diketahui, bahwa seseorang yang mengharapkan sesuatu, hendaklah dia memenuhi raja nya dengan tiga hal:

1. Mencintai apa yang diharapkan.

2. Takut kalau terlewat untuk mendapatkannya.

3. Berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya.

Adapun raja yang tidak disertai ketika faktor tersebut, maka hal itu sebenarnya hanyalah angan-angan yang tidak akan pernah kesampaian. Sebab raja dan angan-angan itu adalah dua hal yang sangat bertolak belakang.

Setiap orang yang berharap (beraja) berarti dia takut kepada Allah Azza wa Jalla. Dan orang yang menempuh sebuah jalan dengan perasaan takut, maka dia akan mempercepat jalannya agar tidak terlewat (untuk mendapatkan sesuatu yang dikejarnya) (Ibnu Qayyim, Ibnu Rajab, Abu Hamid Al Ghazali, 2001: 133-135)

Progresivitas sebagai Elanvitas Karakter Raja’

Dalam pandangan Ibnu Qudamah dalam kitab Minhajul Qashidin, ketahuilah bahwa harapan itu adalah sesuatu yang terpuji, karena harapan bisa mendorong kepada amal. Sedangkan putus asa adalah sesuatu yang tercela, karena ia mengalihkan dari amal. Sebab orang yang sudah tahu bahwa tanah yang diolahnya tandus, airnya hanya lewat belakang dan benih tidak bisa tumbuh, dia justru meninggalkan tanah itu dan tidak berusaha mencari tanah lain serta tidak mau bersusah payah….

Harapan membuahkan jalan usaha dengan cara beramal, tekun pada ketaatan, dan apapun perubahan keadaannya. diantara pengaruhnya adalah terus-menerus menghadap kepada Allah, merasa kenikmatan bermuat kepadanya dan bergantung kepadanya. keadaan-keadaan seperti ini harus ditampakkan akan setiap orang yang mengharap kan singasana kerajaan dan seseorang yang diinginkannya. Lalu bagaimana mungkin hal itu tidak ditampakkan dalam kaitannya dengan hak Allah? Selagi harapannya tidak ditampakkan, berarti menunjukkan kegagalannya mendapatkan kedudukan yang diharapkan. Barangsiapa berharap menjadi orang yang baik, tapi dia tidak menampakkan tanda-tandanya berarti dia adalah orang yang tertipu. (Qudamah, 2017: 377)

Macam-macam Karakter Raja’

Menurut Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajid, raja itu ada tiga macam, Dua yang terpuji dan satu yang tercela yakni:

Pertama, harapan seseorang yang taat kepada Allah di atas cahaya dari Allah. Apa yang dia harapkan? Pahala Allah.

Kedua, harapan seseorang yang melakukan dosa kemudian bertobat. Apa yang dia harapkan? Ampunan Allah, dosa-dosanya dihapuskan kesalahan-kesalahannya dimaafkan dan ditutupi.

Ketiga, seseorang yang terus-menerus dalam melampaui batas, kemaksiatan kesalahan, lalu mengharapkan rahmat dan ampunan Allah tanpa dibarengi amal. Ini adalah ketertiban, angan-angan dan harapan dusta, tidak dipandang sebagai harapan yang terpuji untuk selamanya. (Al Munajjid, 2004: 61-62)

Dari tiga macam karakter raja dapat dipahami, bahwa hanya dua karakter positiflah yang dapat dikatakan seorang hamba Allah telah berperilaku raja. Sedangkan yang ketiga tergolong kepada karakter yang negatif.

Tingkatan Spiritual dalam Mewujudkan Karakter Raja

Untuk meraih keparipurnaan dalam berkarakter raja. Maka ada proses rohaniah yang mesti dilewati, supaya dapat meraih tingkat spiritual karakter raja yang sejati. Adapun tingkatan spiritual karakter raja adalah:

Pertama, mengingat karunia Allah yang telah lalu terhadap hambanya, sesungguhnya banyak karunia Allah yang telah dianugerahkan kepada kita.

Kedua, mengingat janji Allah berupa pahala-Nya yang besar, besarnya kemuliaan dan kemurahan tanpa diminta oleh hambanya, karena Allah memberikan karunia kepada hamba, Walaupun dia tidak berhak menerimanya selama dia istiqamah sebagai manusia.

Ketiga, mengingat nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu dalam urusan agamamu, badanmu dan duniamu dalam segala keadaan. Dia memberimu nikmat yang telah besar tanpa diminta dan tanpa penuntutan hak.

Baca Juga  Makna Ujian Hidup Menurut Ibnu Qayyim

Keempat, mengingat luasnya rahmat Allah ta’ala dan bahwa Ia mengalahkan murka-Nya. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Maha Kaya dan Maha Pemurah, sangat cinta kepada para hambanya yang mukmin. Maka, untuk mewujudkan harapan harus dibangun di atas pengenalan kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. (Al-Munajjid, 2004: 56-57)

Keutamaan Karakter Raja’

Karakter raja perlu diinternalisasi dalam diri berbentuk perilaku dan harus ditransformasi pada kehidupan nyata. Sebab, karakter rajamemiliki pengaruh yang sangat seknifikan baik semasa hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Berikut inui adalah keutamaan karakter rajabagi pelakunya, yakni:

1. Karakter raja merupakan kepribadian kaum beriman, berhijrah dan berjihad.

Firman Allah:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Al-Baqarah: 218)

2. Karakter raja selalu berpikir positif.

Diriwayatkan di dalam Ash-Shahihain dari hadis Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW beliau bersabda:

Allah SWT berfirman, ‘Aku berada pada sangkaan hamba-Ku tentang Aku.’ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Karakter raja terinternalisasi dari dalam diri secara sadar.

Sabda Nabi SAW:

“Maka hendaklah dia menyangka tentang Aku menurut kehendaknya.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi)

***

4. Karakter raja tertranformasi sepanjang hayat hingga ajal menjeput.

Rasulullah SAW bersabda:

“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian mati melainkan dia berbaik sangka terhadap Allah.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

5. Karakter rajamenjadikan sang hamba berpikir positif pada makhluk dan Khaliq. Karena rajaadalah wujud rasa cinta.

Allah telah mewahyukan kepada Daud AS, “Cintailah Aku, Cintailah orang yang mencintai Aku dan buatlah Aku mencintai hambaKu.”

Daud berkata, ” Wahai Rabbi,  bagaimana aku membuat Engkau mencintai hambaMu?”

Allah menjawab, “Sebutlah Aku dengan sangkaan yang baik,  sebutlah karunia dan pemberianKu.”

6. Tranformasi karakter raja’ semasa hidup di dunia akan berpengaruh di akhirat kelak.

Dari Mujahid ra, dia berkata, “Seorang hamba diperintahkan untuk ke neraka pada Hari Kiamat.

Lalu hamba itu berkata, “Aku tidak pernah menyangka yang seperti ini.”

Allah bertanya, “Lalu apa yang engkau sangkakan?”

Hamba itu menjawab, “Engkau mengampuni dosaku.”

Allah berfirman, “Beri dia jalan (ke surga).”

Tanda-tanda Karakter Raja’

Adapun tanda-tanda seseorang hamba itu memiliki karakter rajaadalah:

1. Menghadap kepada Allah SWT dengan melakukan ibadah dan ketaatan.

Firman Allah:

(Apakah kamu, hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharap rahmat Tuhan-Nya. (QS. Az-Zumar: 9)

2. Berdoa dan banyak bersandar kepada Allah SWT.

Firman Allah:

“Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harap (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)

3. Mengikuti sunnah Rasulullah Saw.

Firman Allah:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat.” (QS. Al-Ahzab: 21)

4. Tidak panjang angan-angan.

Firman Allah:

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti akan datang. (QS. Al-Ankabut: 5)

5. Berprasangka baik kepada Allah SWT.

6. Bertaubat dan mengintrospeksi diri.

7. Bersabar terhadap pahala, bersyukur atas nikmat.

8. Istiqomah pada sunnah dan meninggalkan larangan yang ada di dalam agama.

Derajat Karakter Raja’

Derajat pertama, derajat yang mendorong seseorang yang beramal untuk sungguh-sungguh dalam beribadah, bahkan melahirkan kelezatan dalam beribadah, sekalipun ibadah tersebut berat dan sulit. Dia merasakan kelezatan dan meninggalkan perkara-perkara yang dilarang. Barang siapa mengetahui ukuran yang dicari, akan mudah baginya untuk berkorban padanya. Barang siapa mengharapkan untung yang besar dalam perjalanannya, akan terasa ringan baginya kesulitan perjalanan.

Demikian juga teman jujur yang berusaha mendapatkan keridhaan Tuhan akan terasa ringan olehnya kesulitan dalam menunaikan salat subuh, wudhu dengan air dingin akan tersesaringan pula olehnya kesulitan berjihad, haji, umrah, mencari ilmu, dan mengulang-gulangi hafalan, letihnya badan di waktu malam, laparnya puasa, bahkan berubah menjadi kenikmatan!

Derajat kedua, orang yang bermujahadah mengendalikan diri-diri mereka dalam meninggalkan yang telah mereka senangi, menggantikan hal-hal yang disenangi dengan perkara yang lebih baik. harapan mereka adalah sampai kepada tujuan dengan semangat yang tinggi.

Hal ini yang mengharuskannya untuk memiliki ilmu dan menguasai hukum-hukum agama karena harapan mereka tergantung kepada ilmu-ilmu yang dimilikinya, maka mereka harus mempunyai ilmu, mengarahkan seluruh tenaga dengan ilmu pengetahuan belajar dan mengendalikan diri agar berdiri pada batas, baik dalam rangka pencarian maupun pencapaian maksudnya diinginkan.

Derajat ketiga, harapan para pemilik hati untuk bertemu dengan sang Khaliq dan rindu kepada-Nya. Inilah yang menjadikan manusia bersikap zuhud di dunia dengan sempurna (bentuk tertinggi). (Al-Munajjid,  2004: 65-66)

Tiga derajat karakter raja’ di atas sesuai dengan firman Allah:

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya. (QS. Al-Kahfi: 110)

Baca Juga  Sukidi: Ibadah Haji Mengandung Pesan Kesetaraan

Juga firman Allah yang berbunyi:

Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Ankabut: 5)

Hakikat Karakter Raja’

Menurut Said Hawwa, raja’ juga terdiri atas hal, ilmu dan amal. Ilmu adalah sebab yang membuahkan hal, sedangkan hal menuntut amal perbuatan. Jadi, raja’ adalah nama dari ketiga perkara tersebut.

Bahwa setiap hal yang Anda hadapi, baik hal yang tidak disukai maupun yang disenangi, terbagi menjadi sesuatu yang ada sekarang, sesuatu yang ada di masa lalu dan sesuatu yang nanti di masa yang akan datang. Bila sesuatu yang ada di masa lalu itu membayang dalam pikiran Anda maka hal itu disebut ingatan dan kenangan.

Jika apa yang ada di dalam hati Anda adalah sesuatu yang ada di masa sekarang Maka itu disebut wajd (keterpesonaan), dzauq (cita rasa) dan idrak (persepsi). Ia disebut wajd karena ia merupakan keadaan yang Anda dapat di dalam diri Anda.

Jika apa yang membayang dalam pikiran Anda itu sesuatu yang ada di masa yang akan datang dan hal itu mendominasi hati Anda maka ia disebut penantian dan perkiraan. Jika yang dinanti itu sesuatu yang tidak disukai yang menimbulkan rasa sakit di dalam hati maka itu disebut khauf (rasa takut) dan isyfaq (cemas).

Jika yang dinanti itu sesuatu yang disenangi, yang dalam penantiannya bergantungnya hati kepadanya dan membayangnya dalam pikiran itu memberikan kelezatan dan kesenangan di dalam hati maka kesenangan itu disebut raja’ (harapan).

Raja’ (harapan) adalah kesenangan (irtiyah) hati untuk menantikan apa yang disenangi dan dinantikan itu haruslah memiliki sebab. Jika penantiannya itu karena keberadaan sebab-sebabnya yang sangat banyak maka sebutan raja’ adalah sesuai dengannya. Tetapi jika penantian itu kehilangan sebab-sebabnya dan goyah maka sebutan keterpedayaan dan kedunguan adalah lebih tepat ketimbang raja’. Jika sebab-sebabnya tidak diketahui keberadaannya dan tidak diketahui manfaatnya maka sebutan angan-angan lebih tepat untuknya ketimbang penantiannya; karena ia merupakan penantian tanpa adanya sebab.

Orang-orang yang memiliki hati mengetahui bahwa dunia adalah ladang untuk bercocok tanam bagi akhirat. Hati laksana tanah sedangkan iman laksana benih yang disemai di dalamnya. Sementara berbagai ketaatan berjalan seiring dengan pengolahan tanah pembersihannya, pembuatan irigasi dan pengairan tanah tersebut.

Hati yang gandrung dan tenggelam dalam keduniaan tak ubahnya seperti tanah keras yang tidak menumbuhkan benih.

Motivasi Karakter Raja’ secara Psikologis

Ibnu Qudamah menjelaskan, obat harap itu dibutuhkan dua orang, yaitu:

Pertama, orang yang telah dikuasai rasa putus asa sehingga dia meninggalkan ibadah.

Kedua, orang yang telah dikuasai rasa takut sehingga diri dan keluarganya merasa terancam bahaya.

Sedangkan orang yang durhaka lagi tertipu, yang berangan-angan terhadap Allah sambil berpaling dari ibadah, maka tidak ada yang bisa dia pergunakan selaras dengan haknya kecuali obat rasa takut. Sebab obat haram justru berbalik menjadi racun bagi dirinya, sebagaimana madu yang menyembuhkan bagi orang yang kedinginan akan berubah menjadi penyakit bagi orang yang badannya terlalu panas.

Karena itu orang yang biasa memberikan nasehat kepada orang lain bersikap lemah lembut, memperhatikan letak penyakit, mengobati segala penyakit dengan obat yang pas. Pada zaman sekarang ini tidak tepat lagi menggunakan penyebab harapan untuk menghadapi manusia, tapi harus menggunakan cara-cara yang menimbulkan rasa takut. Dia bisa menggunakan penyebab harapan jika maksudnya untuk menarik hati dan untuk mengobati orang yang benar-benar sudah jatuh sakit.

Ali Bin Abi Thalib ra berkata, “Orang yang pandai ialah yang tidak membuat manusia merasa putus asa terhadap rahmat Allah dan tidak membuat mereka merasa aman dari tipu daya Allah.”

Jika engkau sudah mengetahui hal itu, maka ketahuilah bahwa penyebab harapan ada yang melalui jalan i’tibar dan ada pula melalui jalan pengabaran. Jalan yang i’tibar ialah dengan memperhatikan semua penjelasan yang sudah kami sampaikan tentang jenis-jenis nikmat hamba-hamba-Nya di dunia, mengetahui keajaiban-keajaiban hikmah yang diciptakan-Nya dalam fitrah manusia, mengetahui bahwa kemurahan Ilahi tidak terbatas pada hamba-hamba-Nya yang berkaitan dengan kemaslahatan mereka yang mendetil di dunia,  Dia tidak ridha jika mereka menuntut mereka pada kebinasaan yang abadi. Sesungguhnya Siapa yang murah hati di dunia, maka dia juga akan murah hati di akhirat, sebab yang menangani semua urusan di dunia dan di akhirat adalah satu. (Qudamah, 2017: 379)

Maka motivasi karakter harus dilakukan kepada: (1) orang yang telah dikuasai rasa putus asa sehingga dia meninggalkan ibadah; dan (2) orang yang telah dikuasai rasa takut sehingga diri dan keluarganya merasa terancam bahaya. Sebab,tanpa motivasi karakter raja’,  maka derita batin mereka akan bertambah.

Hikmah Memiliki Karakter Raja’

Adapun hikmah dari memiliki karakter raja’ adalah:

Pertama, membangkitkan semangat bermujahadah dalam beramal.

Kedua, membangkitkan konsistensi ketaatan dalam situasi dan kondisi bagaimanapun.

Ketiga,  seorang hamba merasakan kelezatan dan senantiasa bersemangat dalam menghadap diri kepada Allah, menikmati munajat dan berlemah lembut dalam meminta, serta tak bosan-bosan dalam berdoa kepada-Nya.

Keempat, menampakan penghambaan seorang hamba kebutuhan dan ketergantungannya kepada Rabb karena dia tidak bisa melepaskan dari karunia dan kebaikan-Nya, walaupun hanya sekejap mata.

Kelima, sesungguhnya Allah mencintai para hamba-Nya jika mereka meminta kepada-Nya, mengharapkan-Nya dan terus-menerus berdoa, karena dia adalah Dzat yang Maha Mulia dan Maha Pemurah jika diminta dan paling luas pemberian-Nya. Yang paling dicintai oleh Dzat yang Maha Pemurah dan Maha Mulia adalah diminta oleh manusia agar Dia memberikan kepada mereka, dan Dia murka kepada orang yang tidak meminta kepada-Nya. Orang yang meminta pada umumnya berharap dan menuntut untuk diberi. Barang siapa yang tidak memiliki harapan kepada Allah, maka Allah murka kepadanya. Di antara buah raja’ adalah selamat dari muka Allah.

Baca Juga  Jangan Menjadi Manusia Kelima

Keenam, raja’ adalah kecondongan, yaitu condongnya seorang hamba dalam perjalanan menuju Allah, sehingga perjalanan menjadi menyenangkan, terdorong untuk senantiasa berjalan, dan bangkit untuk komitmen. Kalau tidak ada raja’ (harapan), yaitu dengan dilipatgandakannya rahmat dan pahala, tentu tidak ada seorangpun yang sanggup berjalan. Hati digerakkan oleh rasa cinta dan rasa takut serta dicondongkan oleh harapan.

***

Ketujuh, tidak merasa beban dalam memenuhi tuntutan cinta kepada Allah. Semakin besar harapan, maka akan diperoleh apa yang diharapkan, hingga bertambah pula cinta, syukur dan Ridhanya kepada Allah. Ini adalah tuntutan dan rukun-rukun ubudiyah (penghambaan).

Kedelapan, harapan membangkitkan seorang hamba untuk meraih kedudukan syukur. Dia terdorong untuk sampai kepada tingkatan syukur atas semua nikmat-Nya, dan inilah intisari ibadah.

Kesembilan, raja’ mengharuskan bertambahnya pengenalan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah.

Kesepuluh, seorang hamba jika hatinya terikat oleh harapannya kepada Allah, maka Allah akan memberinya sesuai harapannya, hingga bangkitlah semangat untuk meminta lebih dan lebih bersemangat untuk menghadap kepada Allah. Demikianlah, hingga keimanan dan kedekatannya kepada Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang semakin bertambah dari waktu ke waktu.

Kesebelas, seorang hamba mendapatkan kebahagiaan pada hari kiamat seukuran dengan rasa takut dan harap yang dimilikinya, yaitu mendapatkan harapannya yang agung berupa keridhaan Allah, surga dan melihat wajah Allah ta’ala. (Al-Munajjid, 2004: 59-61)

Tentu hikmah tersebut dapat dirasakan bagi sang hamba yang telah hambu menginternalisasi dan mentransformasi karakter raja’ dalam prilaku kesehariannya.

Kontekstualisasi Karakter Raja’ dalam Kehidupan

1. Harapan yang disertai amal sebagai motivasi keistiqamahan dalam kebaikan.

Firman Allah:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 218)

2. Allah Azza wa Jalla membukakan pintu harapan kepada para hamba-Nya berupa pengampunan dosa apa saja.

Firman Allah:

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. (QS. An-Nisa: 116).

3. Terbangun optimisme dengan selalu berharap pada ampunan-Nya yang tak terbatas.

Firman Allah:

“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Salamun alaikum.Tuhanmu telah menetapkan atas diriNya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya Barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am: 54).

***

4. Harapan terbuka bahkan untuk urusan dunia mengharapkan harta, anak, pasangan, pekerjaan, hilangnya sakit dan ditemukannya lebih parah yang hilang.

Firman Allah:

Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melahirkan kaum yang kafir. (QS. Yusuf: 87)

5. Selalu berprasangka baik kepada Allah dan membangun komitmen hidup yang optimis.

Firman Allah:

Katakanlah, ‘Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

6. Terbukulnya tali harapan yang agung kepada Allah. Bahwa ampunan Allah mendahului daripada azab dan murkanya.

Firman Allah dalam Hadis Qudsi:

Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepadaKu, maka Aku mengampuni segala dosamu yang telah lalu, dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika dosamu sampai setinggi langit lalu engkau meminta ampun kepadaKu niscaya Aku ampuni. Wahai anak Adam, jika engkau datang kepadaKu dengan kesalahan seluas bumi lalu engkau menemuiKu tanpa menyekutukan sesuatu pun denganKu niscaya Aku datang kepadaMu dengan ampunan seluas bumi pula. (HR. Tirmidzi)

7. Selalu berpikiran positif dalam segala situasi dan kondisi.

Sabda Rasulullah SAW:

Aku menurut prasangka hambaKu. Aku bersamanya jika dia mengingatKu maka hendaklah hambaKu terprasangka menurut kehendaknya. (HR. Ahmad)

8. Optimisme harus dibangun sampai datang mau menjemput.

Sabda Rasulullah SAW:

Janganlah kalian mati kecuali berbaik sangka kepada Allah Azza wa Jalla. (HR. Muslim)

9. Senantiasa selalu membutuhkan Allah dalam kehidupan

Sabda Rasulullah SAW:

Barang siapa yang suka untuk bertemu dengan Allah, maka Allah pun suka untuk bertemu dengannya. (HR. Bukhari dan Muslim) 

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami, bahwa karakter raja’ perlu diinternalisasi, aktualisasi dan ditransformasi dalam kehidupan nyata, supaya terbangun pikiran positif sebagai komitmen spiritualitas sebagai manusia-tauhid. Sehingga tidak terban tempat berbijak dan tidak lemah tempat bergantung, serta tidak goyah tempat bersandar.

Editor: Soleh

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds