Apakah Muhammadiyah Menolak Tasawuf dan Sufi?
Tahukah anda bahwa Muhammadiyah punya tokoh dan figur sufi? Pernahkah baca buku Tasawuf Modern karangan Buya Hamka?
Sudah banyak yang mengulas makna tasawuf dan sufisme dalam Muhammadiyah. Sudah ada pula ulasan tentang perbedaan antara sufisme di kalangan tradisionalis atau modernis muslim. Sekarang kita fokus pada tiga tokoh sufi di Muhammadiyah. Siapa tahu ada yang belum kenal.
Buya Hamka (1908-1981)
Rasa-rasanya tidak mungkin tak kenal Buya Hamka. Ulama, sastrawan, dan politisi bernama lengkap Haji Malik Karim Amrullah ini lahir tanggal 17 Februari 1908 di Sungai Batang, Sumatera Barat.
Buya Hamka patut disebut sebagai sufi Muhammadiyah karena ia termasuk seorang pionir pengamalan tasawuf bagi kalangan muslim modernis. Ide itu tampak jelas pada bukunya Tasawuf Modern yang terbit pertama kali pada 1939.
Tak ada orang yang bisa membantah bahwa buya Hamka kental dengan gagasan tasawuf. Karena Buya sendiri memang menulis buku tentang itu. Ia bahkan menuliskannya berbekal pengalaman, pengetahuan dan perenungannya sendiri.
Buya Hamka berhasil mempertautkan antara hidup zuhud tapi tetap mampu mengarungi kehidupan modern yang penuh ketidakpastian.
Abdur Rozak Fakhruddin/ Pak AR (1916-1995)
Abdur Rozak Fakhruddin atau AR Fakhruddin adalah ketua umum Muhammadiyah periode terlama antara 1968 hingga 1990. AR Fakhruddin lahir di Pakualaman tanggal 14 Februari 1916.
AR Fakhruddin adalah ulama yang produktif menulis. Ia menulis satu buku populer berjudul Soal-Jawab Enteng-Enthengan (1980).
Dalam buku ini AR Fakhruddin menggunakan bahasa Jawa. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kerap ia dapat dari jamaah maupun orang-orang biasa yang kebetulan berjumpa dengannya.
Buku Soal-Jawab Entheng-Entengan bisa dibilang sebagai suatu panduan hidup berislam yang sederhana, berpusat pada pengembangan kepekaan batiniah dan mengasah ketajaman moral.
Buku ini jelas adalah wujud ide tasawuf yang sudah dikenal para jamaah dari sosok AR Fakhruddin sehari-hari. Andai beliau bukan orang Muhammadiyah pastilah, banyak orang yang bersedia berguru secara khusus dalam bidang tasawuf padanya.
Selain itu materi-materi ceramah dan dakwah AR Fakhruddin kerap bermuatan tasawuf. Misalnya mengajak jamaah untuk bertindak rasional dan batiniah dalam beragama. Antara pikiran dan hati tidak boleh bertolak belakang kehendak. Harus selaras.
KH. Gusti Abdul Muis (1918-1992)
KH. Gusti Abdul Muis adalah tokoh Muhammadiyah Kalimantan Selatan. Ia lahir di Samarinda pada 12 April 1919. Gusti Abdul Muis dikenal luas sebagai ulama, pejuang dan politisi. Ia sangat akrab dengan perdana menteri Muhammad Natsir.
Di kalangan umat muslim Kalimantan Selatan, nama Gusti Abdul Muis sangat masyhur. Salah satunya karena perangainya yang penuh ketawaduan. Makanya ia dianggap sebagai seorang sufi.
Di lansir dari laman daring Muhammadiyah Kalimantan Selatan, pemikiran tasawuf Gusti Abdul Muis ada tiga: (1) syariat, tarikat, dan hakikat; (2) maqamat; (3) tasawuf sunni.
Bagi Gusti Abdul Muis tasawuf adalah suatu cara yang membantu mendekatkan diri seorang hamba kepada Allah SWT dengan berpedoman kepada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan as-sunnah.
Menurut Gusti Abdul Muis tasawuf harus cenderung pada perbaikan perilaku (amal) dan moral (akhlak).
Sufi dan Tasawuf di Muhammadiyah Tak Sekadar Wacana Belaka
Jadi, jangan hanya karena di Muhammadiyah tak ada kultur tarekat maka otomatis tak ada sufi dan tasawuf. Jangan bilang juga kalau sufi dan tasawuf di Muhammadiyah hanya ada di tataran wacana dan konsep.
Orang Muhammadiyah justru diajarkan untuk menerapkan jalan hidup seorang yang memilih jalan sunyi selayaknya para sufi dan tasawuf. Dan tentu tokohnya tak hanya tiga nama besar di atas. Masih ada dan banyak lagi.
Editor: Yahya FR