Tasawuf

Jalan Rohani Menuju Tuhan adalah Inti Kebudayaan Islam

7 Mins read

Pudarnya Kebudayaan Islam

Dunia Islam; apa yang dapat dibicarakan darinya? Mungkin yang paling menarik adalah soal kepedulian kita padanya. Jika sejarah adalah cermin, maka ia bisa menunjukkan kepada kita apa yang cantik dan apa yang jelek di wajah kita hari ini.

Saya sendiri tidak mendefinisikan “Dunia Islam” secara geografis. Bagi saya, dan bagi banyak orang lainnya juga, “Dunia Islam” adalah hati dan kesadaran masyarakat Muslim; mereka yang beriman kepada Muhammad Saw. Lalu, dari hati dan kesadaran kita hari ini, apa yang menarik untuk dibicarakan?

Sudah banyak pemikir dan ilmuwan sosial yang memandang budaya-budaya umat manusia sebagai rangkaian gelombang. Mungkin seperti di laut. Ada gelombang yang besar, dan ada gelombang yang kecil. Gelombang kecil bisa ditebak nasibnya. Sementara gelombang besar datang silih berganti, tanpa kenal henti.

Kalau kita lihat kehidupan kita hari ini, maka sangat jelas bahwa budaya Islam (cara hidup berdasarkan Islam) tak bisa disebut gelombang yang besar. Memang, ada gelembung-gelembung kecil yang menyeruak dari gerakan-gerakan Islam Politik dan Islamisasi ruang publik. Namun, meskipun begitu, mereka tak bisa kita sebut mewakili kebudayaan Islam.

***

Jika kita melihat dasar gunung es dari fenomena Islam Politik dan simbolisasi Islam di ruang publik, maka yang akan Anda dapati adalah orang-orang tak bermoral dan serakah, yang memperalat agama demi meraup untung secara ekonomi dan politik.

Agama hanya barang dagangan dan kampanye saja. Sementara dakwah dan orasi tak lebih dari usaha marketing supaya dagangannya laku. Di Indonesia, itu yang terjadi. Di Irak, juga sama, berdasarkan apa yang Ali Allawi (2009) – mantan pejabat menteri di Irak pasca-Saddam Husain – saksikan. Di negeri lain, tak jauh berbeda. Islam Politik, formalisasi Syariat, serta Islamisasi ruang publik, telah menjadi gerakan transnasional.

Lalu, kalau begitu, apalagi yang tersisa dari kebudayaan Islam hari ini? Oh iya, mohon para pembaca mengerti bahwa yang namanya budaya bukan cuma seni rupa, seni tari, dan seni musik. Itu semua salah satu produk budaya saja.

Budaya yang kita bicarakan di sini adalah nilai-nilai luhur kehidupan. Ia adalah tuntunan hidup yang diajarkan Islam. Ia adalah daya dorong spiritual manusia dalam bertindak sehari-hari. Pertanyaannya, apakah daya dorong itu, bagi umat Islam hari ini, adalah Islam itu sendiri, atau justru budaya lain? Apa lagi yang tersisa dari kebudayaan Islam hari ini?

Budaya Islam dan Keunggulan Manusia

Terima kasih kepada Profesor Fazlur Rahman yang telah menafkahkan umur dan kekuatannya untuk membantu umat Islam di zaman modern ini, supaya mereka bisa mempelajari kembali nilai-nilai budaya Islam – lewat buku-buku yang ditulisnya. Salah satunya adalah buku Major Themes of the Quran (1980).

Coba Anda resapi, tidakkah judul Major Themes of the Quran ini begitu tepat mewakili pesan yang ingin Profesor Rahman sampaikan kepada dunia? Kurang lebih, ia hendak menyampaikan bahwa meski sifat dan perilaku Muslim di berbagai tempat, dan berbagai zaman itu beragam, namun nilai-nilai budaya Islam mereka sebenarnya telah tertulis abadi dalam Al-Quran.

Ada tujuh tema pokok dalam Al-Quran, kitab suci umat Islam, yang di saat bersamaan merupakan nilai-nilai inti dari ajaran wahyu yang diterima oleh Muhammad Saw, dari Allah Swt. Tema-tema pokok tersebut adalah: (1) Tuhan, (2) Manusia sebagai Individu, (3) Manusia sebagai Anggota Masyarakat, (4) Alam Semesta, (5) Kenabian dan Wahyu, (6) Kehidupan setelah Mati, dan (7) Setan dan Kejahatan (Rahman, 1980).

Baca Juga  Syariat dalam Tasawuf, Pentingkah?

Tulisan saya kali ini tidak bermaksud menuntaskan masalah meredupnya budaya Islam, di Dunia Islam. Jujur, perlu kesadaran dan usaha kita bersama untuk sampai ke sana. Cukuplah kiranya jika tulisan ini mengajukan kepada Anda sedikit dari banyaknya nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan Islam. Tapi, yang sedikit itu, saya kira tidak kurang arti pentingnya. Kurang atau lebihnya sedikit garam, mempengaruhi nikmat dan enaknya masakan.

***

Masyhur diketahui sebuah riwayat dari Rene Descartes, bapak filsafat modern Barat, yang berbunyi: “Cogito ergo sum”. Artinya: aku berpikir, maka aku pun ada. Menurut Profesor Misbah Yazdi (1999), sabda Descartes ini berarti bahwa sekalipun kepastian dan kebenaran dari semua hal yang manusia amati dan pelajari, bisa diragukan, bisa diruntuhkan; akan tetapi, “diri” yang berpikir itu sendiri adalah kepastian yang nyata.

Mengapa saya menjelaskan hal tersebut? Descartes hanya satu contoh saja. Yang ingin saya ketengahkan di sini adalah posisi penting manusia dalam kenyataan hidup. Descartes hidup di masa yang penuh dengan skeptisisme. Tapi, menurut dia, “Silakan kalian semua skeptis pada segala sesuatu; pada agama, pada filsafat, dan pada sains. Tetapi, ketahuilah bahwa kalian tak akan bisa menolak kenyataan bahwa ada “diri” yang sadar, dan berpikir, dalam diri kita semua.” (Yazdi, 1999).

Islam tidak mau kita tenggelam dalam keraguan tak berdasar. Tapi, seperti juga Descartes, Islam mau kita menyadari posisi penting manusia dalam kehidupan. Sayangnya, humanisme Barat – meskipun berhasil mengerti bahwa manusia punya posisi penting – gagal memberikan makna pamungkas (ultimate meaning) bagi satu entitas organisme hidup bernama manusia.

Biologi evolusioner, misalnya, meskipun mampu melacak jejak historis dan genetic dari spesies manusia sebagai pemuncak rantai makanan, mereka gagal dalam memahami sebab yang membuat manusia memperoleh semua keunggulannya.

Manusia dan Tuhan

Akhirnya, langsung saja kita menuju apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan. Bagi Islam, Tuhan adalah pencipta alam semesta, pencipta manusia, sekaligus yang memberi keunggulan padanya. Sayangnya, hari ini frasa Tuhan dan agama kerap dicurigai. Keimanan pada Tuhan, dan kepasrahan pada-Nya, kerap dianggap selubung mitologis yang berniat menindas kebebasan manusia.

Inilah akibatnya, apabila kita hanya tertarik melihat posisi manusia dalam puncak hierarki ekosistem di planet Bumi. Sementara, di saat yang sama, kita tak peduli pada Tuhan sebagai pihak yang berbaik hati menganugerahkan hidup, hati, dan akal kepada manusia; sesuatu yang tidak Tuhan berikan kepada ciptaan-Nya yang lain.

Menurut Fazlur Rahman (1980), Al-Quran adalah sebuah dokumen untuk umat manusia. Bahkan, kitab (secara harfiah artinya buku) ini sendiri menamakan dirinya “petunjuk bagi umat manusia” (hudan li al-nas), dan berbagai julukan lain yang senada di dalam ayat-ayat yang lain.

Lalu, bagaimana dengan Tuhan? Kata “Allah” (secara harfiah artinya Sang Tuhan), nama bagi Tuhan yang sesungguhnya dan satu-satunya, disebutkan dalam Al-Quran lebih dari dua ribu lima ratus kali. Meski begitu, Al-Quran bukanlah sebuah risalah mengenai Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Al-Quran – kitab suci dan pusat nilai-nilai kebudayaan Islam berada – adalah risalah mengenai manusia dan tingkah lakunya (Rahman, 1980).

Baca Juga  Konsep Penciptaan Perempuan Menurut Para Mufassir

Kita, manusia, terbiasa berpikir bahwa realitas hanyalah apa-apa yang bisa mata kepala ini lihat dan amati. Jutaan tahun evolusi sebagai entitas biologis, membuat anggapan ini berurat berakar dalam diri kita. Nyatanya tidak begitu. Tak semua eksistensi adalah eksistensi material, fisik, dan biologis.

***

Bagaimana cara kita mengetahui adanya eksistensi yang immaterial, metafisik, dan spiritual? Kata Al-Quran: dengan merenungkannya. Lewat jalan perenungan, manusia bisa sampai kepada Tuhan yang menciptakan semua eksistensi dan realitas yang ada – di mana pun adanya ia. Dan Tuhan itu sendiri adalah “ghayb”; ada, namun bukan seperti kita yang serba materil ini. Tuhan tak terjangkau indra lahir manusia (Rahman, 1980; Madjid, 1992).

Jika Anda bertanya pada saya: Apakah ini juga merupakan prinsip kebudayaan Islam? Jawabannya: Ya, tentu saja. Menurut Al-Quran, bagi orang yang suka merenungi eksistensi Tuhan, maka eksistensi Sang Pengasih dan Sang Penyayang itu pun dapat mereka pahami; sehingga eksistensi-Nya tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang irasional dan tak masuk akal, tetapi berubah menjadi kebenaran tertinggi (Rahman, 1980).

Perubahan inilah yang merupakan tujuan Al-Quran. Dari makhluk yang mengira hakikat hanya pada bentuk materialnya saja, berubah menjadi makhluk yang memahami, mengerti, dan menghayati Tuhan, yang “ghayb”, sebagai kebenaran sejati (Rahman, 1980; Yazdi, 1999).

Akar Krisis Peradaban Islam

Apakah pantas perenungan dan penghayatan akan ke-maha-hadiran (omnipresent) Tuhan dikatakan sebagai prinsip utama dalam kebudayaan Islam? Saya rasa, kebingungan dan pertanyaan semacam ini adalah bukti dari apa yang di muka kita sebut sebagai fenomena memudarnya kebudayaan Islam, dari Dunia Islam – dari hati dan pikiran umat Islam.

Keras dan derasnya persoalan duniawi yang Anda hadapi setiap hari, membuat kita terbiasa berpikir bahwa hidup bergantung pada uang, materi, harta, kekayaan, kenikmatan, hiburan, kerja, dan persaingan. Kebersamaan dengan Tuhan, melalui perenungan, entah dibuang ke mana?

Tak kurang dari intelektual Muslim modern asal Irak, Ali Allawi, yang juga menyampaikan bahwa inti dari krisis peradaban Islam tidak lain adalah sebab hati dan pikiran kita sebagai Muslim tak lagi berisi penghayatan akan nilai spiritual Islam.

Nilai spiritual Islam adalah ajaran utamanya tentang kewajiban atas manusia untuk senantiasa mengingat Tuhan – dan senantiasa menunjukkan cinta kepada sesama, sebagai rasa syukur, sebab Tuhan sendiri sudah mencintai dan berbuat baik pada kita. Allah berfirman: fa ahsin kama ahsana Allahu ilayka (berbuat baiklah, seperti halnya Tuhan sudah berbuat baik padamu) (QS. 28:77).

***

Di halaman-halaman akhir magnum opus-nya, The Crisis of Islamic Civilization (2009), Allawi mengingatkan Anda dan saya: Islam – secara tradisional – membahas tiga dimensi agama: Islam, Iman, dan Ihsan, artinya “perbuatan baik”, “keyakinan teguh”, dan “penyempurnaan akhlak”.

Ketiga-tiganya, seperti yang Anda sudah tahu, berlandaskan kepada hadits pertemuan Muhammad Saw dengan Jibril, yang juga merupakan sumber utama rumusan lima tiang agama Islam. Allawi menyebut lima tiang ini adalah: shalat, puasa, zakat, haji, dan menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Baca Juga  Praktik Tasawuf ala Hasan al-Bashri di Bulan Ramadhan

Rangkaian Islam, Iman, dan Ihsan ini, beserta pilar-pilar agama di dalamnya – menurut Allawi – adalah fondasi-fondasi utama kebudayaan Islam, sepanjang masa. Pada dasarnya, semua fondasi ini memberikan kepada Dunia Islam suatu kerangka budaya dan hukum-hukum lahiriah – dan pada akhirnya, menjadikan suatu perjalanan spiritual dalam batin, yang di dalamnya keluhuran akhlak ditumbuhkan, dan pengalaman langsung akan Tuhan, dicari dan dirindukan.

Jalan Rohani Menuju Tuhan

Dari Allawi, dan Yazdi, kita kembali lagi ke Rahman. Yazdi adalah sosok filsuf. Allawi intelektual sekaligus teknokrat. Rahman murni intelektual. Ketiga-tiganya contoh yang baik bagi anak-anak muda Muslim hari ini. Ketiga-tiganya adalah pemikir yang prolific (rajin menulis). Ketiga-tiganya juga konsisten mengingatkan kita untuk kembali pada inti kebudayaan dan peradaban Islam, yaitu Islam sebagai jalan rohani menuju Allah.

Menurut Rahman (1980), tujuan Al-Quran adalah mengubah pandangan kita yang cenderung “menuhankan” materi dan kehidupan duniawi, menuju kepada Tuhan sejati, namun “ghayb”. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus melakukan berbagai upaya; kalau tidak, maka tidak dapat dikatakan bahwa seseorang dapat mencapai tujuan tersebut. Menurut Rahman lagi, di sini tak ada kewajiban yang berlebihan, keterlaluan, dan tidak masuk akal, yang dibebankan pada manusia.

Panggilan Al-Quran sangat sederhana – dan kesederhanaannya ini menjadi kekuatannya. Ia menyeru supaya manusia “membuka telinga” dan “mendengarkan” apa yang Allah wahyukan dalam kitab suci ini. “Mereka (orang-orang) yang tunduk dan merendah di hadapan Yang Gaib, dan memiliki akal-lah yang dapat mengenali (kebenaran ketika ia datang)” (QS. 50:33). “Inilah peringatan (dzikr) kepada manusia yang memiliki akal, dan mau mendengarkan (artinya, membuka pikiran, sekaligus membuka telinga)” (QS. 50:37).

***

Tatkala Anda mampu mendengarkan panggilan kitab suci tersebut, dan beranjak dari kehidupan duniawi, menuju penghayatan rohani, maka saat itulah kita sedang menanam kembali benih-benih kebudayaan Islam dalam hati kita. Yang bisa melakukan ini semua adalah kita, manusia, binatang yang berakal dan berpikir. Tuhan juga yang memerintahkan kita untuk menyadari hakikat diri kita sebagai makhluk berakal. Dan dengan memenuhi perintah dan panggilannya, itu artinya kita telah berhasil menaiki tangga derajat eksistensial yang lebih luhur, dan semakin dekat dengan-Nya.

Abu Hamid al-Ghazali, dalam Kimya-i Sa’adat, menulis: Manusia harus sadar, dia tidak diciptakan untuk kenikmatan duniawi dan badani. Jika ia melihat dirinya sebagai binatang yang hidup, untuk makan, bikin anak, tidur, lalu mati, maka derajatnya sama dengan kuda, anjing, dan babi. Bahkan, jika mengacu pada Al-Quran, jauh lebih rendah lagi.

Mengapa lebih rendah? Sebab, Allah menciptakan akal dalam dirinya untuk mengenali tugas-tugas sejatinya selama hidup yang singkat ini. Jika ia menggunakan akalnya, dan mendengarkan panggilan Tuhan di hati dan di kitab suci, maka ia akan sampai dengan selamat bertemu Tuhannya. Namun, jika ia menolak akalnya, dan menolak mendengarkan panggilan Tuhannya, maka ia akan menderita selamanya – khasira al-dunya wa al-akhirah (rugi serugi-ruginya baik sekarang, maupun nanti di akhirat). Sekian, sampai ketemu di tulisan berikutnya.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Tasawuf

Membaca Sejarah Munculnya Tasawuf dalam Islam

4 Mins read
Membaca sejarah tasawuf awal akan membawa kita pada beberapa pertanyaan. Misalnya, bagaimana sejarah tasawuf pada periode awal itu muncul, bagaimana corak dari…
Tasawuf

Rahasia Hidup Zuhud Imam Hasan Al-Bashri

2 Mins read
Salah satu kajian yang menarik dari sosok Hasan Al-Bashri adalah tentang “Zuhud”. Membahas zuhud adalah tentang bagaimana cara beberapa sufi hidup sederhana…
Tasawuf

Konsep Syukur Menurut Abu Hasan Asy-Syadzili

5 Mins read
Abu al-Hasan Asy-Syadzili Ali ibn Abdillah ibn Abd al-Jabbar lahir di Ghumarah di daerah Maghribi atau Maroko pada tahun 593 H atau…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *