Akidah

Keimanan Autentik dan Kesalehan Aktual

5 Mins read

Beragama bukan untuk kebanggaan belaka. Beragama tidak cukup sekedar melepas “dahaga” spiritualitas. Beragama tidak hanya memiliki pengetahuan tentang dogma, doktrin, dan ritus dari Kitab Suci maupun risalah para Nabi dan Rasul. Beragama juga tidak sekedar “unjuk” kekuatan masa dalam perhelatan dan aksi masa.

Beragama selayaknya adalah kemampuan “memanajemen” keimanan yang autentik menjadi kesalehan aktual dalam realitas kehidupan nyata. Iman tidak cukup hanya pernyataan saja. Iman tidak hanya keras dalam pekikan takbir saat aksi masa. Iman tidak sekedar “aksesoris” yang dilabeli dengan busana hijrah dan hijab.

Keimanan yang autentik selalu memiliki spirit untuk kerja-kerja kemanusiaan. Walaupun tanpa di liput media, tanpa posting ke media sosial, tanpa puja-puji orang lain, dan tanpa pamrih dalam bentuk materi dan kursi.

Dari hal di ataslah, maka sangat penting melihat bagaimana cara dan sistem umat beragama dalam merefleksikan iman dan amal salehnya dalam kehidupan nyata. Karena sering iman hanya tinggal di masjid, mushalla, pengajian, halaqah, seminar, muzakarah, muktamar, kultum, khotbah dan cemarah atau tausiyah. Namun, tidak ada dalam aksi kesalehan pada kehidupan nyata dalam kepedulian kemanusiaan.

Transformasi Iman dalam Kesalehan Sosial

Iman harus diejawantahkan dalam laku hidup. Iman mesti direfleksikan dalam pergaulan sosial, ekonomi, bisnis, birokrasi, politik, budaya, pertahanan dan keamanan serta kemanusiaan universal.
Iman akan menjadi identitas keberagamaan seseorang, sekaliguis menjadi kualitas kepribadian dan karakter orang tersebut. Semakin mampu ia meningkatkan kualitas imannya secara autentik dan semakin berkualitas amal saleh yang diperbuatnya, maka semakin menjadikan pribadi yang saleh, serta berkarakter taqwa.

Di sinilah letak esensi beragama. Beragama bukan hanya untuk sekedar pemujaan kepada Tuhan. Namun, beragama adalah untuk menyelamatkan manusia dan kemanusiaan. Peran amal saleh dalam wilayah publik menjadi poin terpenting setelah ibadah ritual. Yang sangat dibutuhkan adalah, adanya transformasi iman yang berwujud kesalehan sosial-kemanusiaan.

Jika kita tanya untuk apa agama diciptakan; jawabannya adalah agama diciptakan untuk manusia dan kemanusiaan. Oleh sebab itu, sudah seharusnya jika agama harus dihadirkan untuk kemanusiaan.

Agama dengan segala jenis praktik ritualnya harus difungsikan sebagai bagian dari pembebasan umat manusia. Ritual hanya akan berhenti pada rutinitas tatkala tidak mampu ditransformasikan memberi jawaban atas problem kemanusiaan yang terus menghimpin kaum mustadha’afin, hina dina, lemah dan miskin.

Baca Juga  Membaca Buya Syafii: Posisi Perempuan dalam Islam

Kita sebagai orang yang beragama tidak usah terlalu disibukkan untuk mengurus Tuhan, sebab Tuhan tidak perlu diurusi apalagi dibela. Kita harus mengurus masalah riil di sekitar kita, sebab itulah tanggung jawab sosial kaum beragama sebagai bentuk kesalehan sosial (Qodir, 2009: 73).

Keimanan Autentik dan Kesalehan Aktual

Suatu saat Tuhan melalui Khidhir bertanya kepada Nabi Musa tentang ibadah yang langsung sampai ke hadirat Tuhan. Musa menjawab seperti jawaban kita pada umumnya bahwa ibadah itu ialah salat, puasa, zakat, dan naik haji.

Jawaban Musa ini dinyatakan oleh Khidhir tidak langsung sampai kepada Tuhan, karena ibadah-ibadah itu sudah merupakan kewajiban sebagai konsekuensi manusia. Khidhir menyatakan bahwa amal atau ibadah yang langsung diterima Tuhan adalah memberi makan orang yang kelaparan, memberi baju orang yang tak bisa membeli baju, dan menolong orang yang teraniaya (Mulkhan, 2011: 70).

Ibadah-ibadah mahdah bukanlah berarti tidak penting. Ibadah-ibadah mahdah berupa shalat, puasa, zakat dan haji, merupakan wujud ketundukan dan kepatuhan sang hamba kepada Allah Swt. Ibadah-ibadah mahdah tersebut menjadi “jalan” meningkatkan spiritualisme yang ritualistik antara hamba dan Tuhan. Namun, ibadah ritul tersebut harus melahirkan ketercerahan kalbu dan keteguhan sikap dalam hidup yang diaktualisasikan dalam kesalehan aktual.

Ibadah ghairu-mahdah yang bersifat sosial-kemanusiaan menjadi “ponten” (penilaian) tersendiri di hadirat Tuhan. Kalau ibadah mahdah merupakan konsekuensi hak Allah dan kewajiban hambaNya, maka ibadah ghairu-mahdah merupakan poin tersendiri yang menjadi keautentikan kehambaan, dan berbanding-lurusnya iman dengan amal saleh.

Di sanalah letak “konduite” seorang hamba, baik pada sesama manusia di bumi secara horizontal, maupun komitmen tauhid-ritual yang diikat dengan tauhid-sosial pada pergaulan hidup yang tentunya akan ‘direspon’ oleh yang di Langit Ilahiah.

Iman dan Amal sebagai Solusi Kemanusiaan

Iman dan amal saleh sebenarnya wilayah privasi setiap hamba. Namun, iman dan amal saleh yang “kolektif” dari semua umat manusia akan memiliki kekuatan dalam menghadirkan opsi dan solusi terhadap problema sosial-kemanusiaan.

Baca Juga  Teologi yang Kekurangan Aspek Manusiawi

Kepedulian sosial-kemanusiaan terhadap sesama umat manusia, tidak cukup hanya memberikan zakat fitrah sebelum hari raya idul fitri. Tidak hanya memberi daging hewan kurban setiap hari raya idul adha. Tidak sekedar menghibur anak yatim-piatu saat tahun baru bulan Muharam. Ataupun pada hari besar agama lainnya serta hari besar kenegaraan, yang terbatas dalam satu tahun.

Merupakan hal penting jika dikembangkan kesalehan sebagai wujud kepedulian kemanusiaan sehingga dialog wahyu dan kebudayaan atau iptek menjadi mungkin. Dari sini akan terbukalah peluang bagi negosiasi sosial-politik di antara pemeluk agama berbeda dan perumusan kembali ajaran agama yang lebih memihak pada pemecahan masalah kemanusiaan (Mulkhan, 2011: 197).

Pesan Profetik dalam Agama untuk Kesalehan Aktual

Kehadiran agama bukan hanya menjaga hubungan manusia dengan Tuhannya, sebagaimana dalam doktrin, dogma, dan ritus. Kehadiran agama merupakan penyelamatan kemanusiaan. Pesan profetik ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw: “Sesungguhnya Allah menolong hamba manakala sang hamba menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Esensi membantu orang lain adalah “membantu” diri sendiri. Penyelamatan kemanusiaan adalah peneguhan iman dan pencerahan kalbu, seperti pesan Langit Ilahiah menyatakan:

“Sungguh orang-orang yang berkata ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian berteguh hati atas kepercayaan itu akan menurunkan malaikat hingga tidak lagi bersedih dan takut, karena kegembiraan (surga) menanti seperti yang telah dijanjikan Tuhan.”

QS. Fushshilat {41}: 30

Keimanan yang autentik teraplikasi dalam kesalehan aktual. Iman yang berdagayuna akan melahirkan amal saleh yang berhasilguna. Di situlah letak kebaikan universal atau jariah, dan itu pula yang dianggap iman dan amal yang profesional. Hanya kaum profesional yang mampu mengungkap ayat-ayat tersurat, tersirat dan yang tersuruk (misteri) yang ada di alam raya ini.

Sebagaimana ‘sinyal’ dari Langit Ilahiah yang mengungkapkan:

“Sungguh telah Kami beritakan dalam Kitab Zabur setalah Kami tulis dalam lauh al-manfuzh bahwa dunia ini hanya akan dikuasai oleh hamba-hamba-Ku yang saleh (manusia baik dan pekerja profesional).”

QS. Al-Anbiya’ {21}: 105

Kaum penebar kebajikan, jariyah yang profesional, tentu mereka senantiasa “mengasah” spiritualisme melalui ibadah mahdah, serta aktif berkontribusi dalam kerja-kerja kemanusiaan tanpa pamrih. Selain itu, mereka juga senantiasa bertambah dekat kepada Allah, sebagai Sang Pemilik jagad raya ini.

Baca Juga  Inti Agama adalah Laailaahaillallah, Titik!

Inilah spirit firman Allah yang menyatakan:

“Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Alqur’an), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan salat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar.”

QS. Al-Nisa’ {4}: 162

Jadi, agama tidak hanya “mengkuduskan” diri di hadirat Tuhan. Namun, agama melalui para utusan (Nabi dan Rasul) sebagai pembawa risalah, memiliki panduan dalam penguatan keimanan yang autentik, mencerahkan kalbu, dan meneguhkan laku hidup yang berbentuk kesalehan aktual.

Agama tidak boleh hadir hanya sekedar sebagai legitimasi kekuasaan, sebab agama yang demikian akan kehilangan daya kritiknya. Agama harus hadir sebagai kritik sosial tatkala kemanusiaan tidak lagi menjadi bagian utama dalam beragama. Agama harus tampil membela kemanusiaan dalam realitas umat manusia, tanpa memandang agama, suku, etnis dan jenis kelamin.

Agama harus hadir membela membela yang tertindas sebab disitulah fungsi kritik agama harus terus dikobarkan. Agama sebagai kritik sebenarnya menghadirkan agama dengan suara nurani kerakyatan dan rakyat jelata, sehingga agama-agama dengan dengan pesan profetik terus berjalan dan bisa dianut oleh siapa saja (Hidayat, 2008: 12).

Agama menuntut penganutnya untuk terus berperan aktif bukan reaktif terhadap realitas kemanusiaan. Bahkan, daya kritis pengikut agama harus ditumbuhkan, supaya doktrin dalam Kitab Suci dan dogma-dogma yang diceramahkan dan dikhotbahkan menjadi aktual dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Daya kritis tidak hanya kepada kekuasaan (pemerintah/politik) saja, akan tetapi, termasuk dalam ekonomi dan budaya. Tentu sikap kritis tidak hanya ke luar diri umat beragama saja, termasuk terhadap diri pribadi para penganut agama juga harus kritis: Kritis beragama dan beragama secara kritis.

Editor: Yusuf

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Akidah

Ragam Makna Iman dan Tauhid, Mana yang Lebih Tepat?

3 Mins read
Tauhid merupakan prinsip dasar iman di dalam Islam yang membedakan dirinya dengan segenap agama lain. Bahwa Allah itu esa, tidak berbilang, tidak…
Akidah

Jangan Jadikan Agama Sebagai Alat Pendangkal Akidah!

4 Mins read
Semua agama di dunia ini mempunyai hal-hal yang dianggap suci (the Sacred), misalnya, kitab suci, nabi, dan lain-lainnya. The Sacred menurut M. Amin Abdullah, dalam bukunya Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin, merupakan Nonfalsifiable Postulated Alternate Realitie. Pada artian lain, disebut dengan hal yang tidak bisa dipermasalahkan, difalsifikasi, dan diverifikasi oleh siapapun.
Akidah

Kesadaran Beriman Orang-Orang Modern

3 Mins read
Di era saat ini, teknologi mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Kemajuan teknologi merupakan bukti dari keberhasilan sains modern. Namun, dibalik kemajuan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds