Dalam hidup, bayang-bayang akan kematian pasti selalu menghinggap di setiap pikiran dan langkah kaki seorang manusia. Hal demikian sudah menjadi sesuatu yang lumrah untuk selalu diingat dan dipikirkan, karena sejatinya manusia hidup di dunia ini hanyalah sementara saja. Sehingga selain urusan duniawi, kematian menjadi urusan yang paling dekat dan senantiasa untuk dipikirkan oleh manusia.
Kematian Pada Manusia
Sejatinya manusia dalam hidup ini, ibarat seorang musafir yang beristirahat sejenak. Entah, di bawah pohon yang rindang ataukah di kolong langit di bawah teriknya panas dan curahan hujan, namun yang pasti perjalanannya akan terus berlanjut. Detik demi detik terus berganti, suka tidak suka detik hidup kita di dunia ini akan berakhir (Quraish Shihab, Menjemput Maut: h. 9).
Kematian pada manusia bukanlah akhir dari segalanya, ini adalah sebuah perpindahan tempat saja. Sebagai seorang muslim kita percaya bahwasannya akan ada hari di mana manusia akan dihidupkan kembali. Tidak hanya sebatas dihidupkan, dirinya akan diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatannya ketika di dunia.
Konsep ini tidak hanya berlaku dalam ranah agama saja, melainkan sebagian keyakinan para filosof dan ilmuwan juga mempercayai akan adanya keabadian bagi jiwa. Manusia terdiri dari dua elemen penyusun, yaitu badan yang bersifat materi dan jiwa yang bersifat non materi. Sehingga pada diri jiwa, ia tidak mengenal yang namanya kehancuran (Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian: h. 100-103).
Terlepas dari bagaimana kemudian kita menyikapi kematian, entah dengan rasa was-was, takut bahkan berubah menjadi sesuatu yang dinanti-nantikan kedatangannya.
Sejatinya, kita sebagai seorang manusia harus tetap bekerja keras, menjaga kesehatan, beribadah dan beramal sebanyak-banyaknya adalah perbuatan yang dianjurkan.
***
Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Al-Qashash ayat 77:
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
Artinya: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”.
Pada ayat di atas, bahwasannya mengandung sebuah perintah kepada manusia untuk mencari pahala akhirat sebanyak-banyaknya. Tanpa melupakan bagian duniawi, pahala bisa diperoleh dengan berbagai macam perbuatan baik di dunia.
Misalnya, taat ibadah kepada Allah, berbuat baik kepada sesama manusia, merawat segala sesuatu yang ada di bumi dan dilarang melakukan kerusakan.
Hidup ini ibarat sebuah ladang yang sangat lah luas, di dalamnya manusia menanamkan berbagai macam tanaman. Seperti padi, jagung, sayur-sayuran dan lain-lain, yang hasilnya nanti akan dipetik ketika waktu panennya telah tiba.
Begitupun dengan kehidupan manusia di dunia, dirinya dianjurkan untuk beribadah dan beramal semaksimal mungkin. Kemudian hasilnya akan didapatkan di akhirat kelak.
Kematian adalah Takdir, Tapi Bisakah Manusia Menundanya?
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam surah Al-Anbiya ayat 35:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
Artinya: “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami”.
Pada ayat tersebut, Allah tidak menyebutkan secara jelas kapan dan dimana kematian seseorang akan terjadi. Sehingga waktu dan tempat inilah yang kemudian menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat diketahui manusia.
Akibatnya timbul berbagai bentuk ekspresi perasaan pada diri seseorang. Misalnya, gelisah, khawatir, bahkan takut akan kematian.
Peristiwa kematian itu sangat menakutkan, manusia hanya bisa berusaha, bekerja keras, berikhtiar dan berdoa untuk menunda kedatangannya, tetapi tidak bisa bersembunyi atau menghindar darinya. Sehingga kemudian banyak orang yang eggan bahkan tidak mau memikirkan kematian, karena ia adalah sebuah ketetapan yang pasti terjadi (Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian: h.138).
Seiring berkebambangnya zaman sampai ke modern, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tentunya telah melahirkan banyak ahli-ahli di bidangnya. Sebut saja bidang kesehatan, kedokteran, psikologi, matematika, sains, fisika dan masih banyak lagi. Sehingga tidak menjadi suatu yang aneh, apabila sesuatu yang mustahil di kala dulu, bisa benar-benar terjadi pada zaman moden ini.
Pandemi Covid-19 dan Kematian Manusia
Pandemi Covid-19 yang menjalar di Indonesia, bahkan hampir seluruh dunia menjadi bukti akan majunya ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi serta adanya para ahli di dalamnya. Walaupun banyak yang kemudian berasumsi, bahwa virus corona semata-mata adalah takdir Allah.
Mungkin kalau ditinjau dari segi agama, hal tersebut bisa menjadi suatu pendapat yang benar. Dengan dalil bahwa segala yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan dan ditetapkan oleh-Nya. Namun, pada hari ini kita butuh sebuah bukti yang nyata dalam membuktikan sebuah kebenaran pendapat. Dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh manusia dengan cara menggunakan sains dan teknologi.
Lahirnya para ilmuwan, saintis, psikolog, fisikawan, dan lain sebagainya. Ini menjadi bukti bahwa mereka berhasil kemudian melakukan sebuah eksperimen dan memberikan hasil yang nyata bagi banyak orang. Sehingga akhirnya mereka diakui sebagai ahli di bidangnya.
Siapa yang hari ini bisa membuktikan, bahwa virus corona ini benar-benar datangnya dari Allah SWT? Siapa yang kemudian menjamin, bahwa tidak ada campur tangan manusia dalam maraknya wabah ini? Lantas siapa yang bertanggung jawab atas meningkatnya angka kematian?
Maraknya virus corona dan segala upaya dan kerja keras yang dilakukan oleh para tenaga medis, tenaga kedokteran, tenaga kesehatan dalam menangani pasien yang terjangkit Covid-19. Ini menjadi bukti nyata, bahwasannya di satu sisi adanya virus, namun di sisi lain para tenaga kesehatan dan kawan-kawannya tak berhenti berusaha dalam mencegah dan membuat obat penawarnya.
Salah satu bukti konkritnya adalah terciptalah vaksinasi. Tentu tujuannya adalah mencegah, menyembuhkan pasien dan lebih-lebih bisa menunda kematiannya.
Selain peran dari para dokter dkk, angka kematian akibat Covid-19 bisa saja meredah apabila upaya, ikhtiar pencegahannya terus kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya, menjaga kebersihan lingkungan, merawat alam, memakai masker, mencuci tangan dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Mengutip nasihat dari Quraish Shihab dalam bukunya ”Islam yang Saya Anut” pada bab Rukun Iman, beliau mengatakan “Memang kita tidak sepenuhnya mengetahui batas ruang takdir yang ditetapkan Allah bagi kita. Karena itu lah kita dituntut untuk berusaha dan berusaha. Di sini kita dapat berhasil dan gagal. Namun, kalau kita telah berusaha semaksimal mungkin lalu gagal, maka ketika itulah kita berkata “ini takdir yang dipilihkan Allah.” (Quraish Shihab)
Kematian pada manusia adalah takdir Allah dan . Karena manusia tidak akan bisa lepas dan bersembunyi dari yang namanya kematian. Namun, kematian bisa ditunda kapan waktunya dan di mana tempatnya. Ini tergantung pada usaha, ikhtiar dan doa. Wallahu a’lam
Editor: Yahya FR