Beberapa bulan setelah memutuskan memeluk Islam, WS Rendra mendapat kiriman buku-buku agama dari tokoh-tokoh Islam nasional. Mohammad Natsir, tokoh Masyumi, mengirimkan buku Toward Understanding Islam karya Abul A’la Al-Maududi. Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberikan buku Islam The Missunderstood Religion karya Sayyid Quthub. Bahkan, AR Fachruddin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sempat berkunjung untuk bersilaturahim ke tempat WS Rendra. Sebuah dokumentasi yang penting adalah majalah Suara Muhammadiyah edisi No. 7/Th. Ke-51/1971 yang pernah menurunkan hasil wawancara Hermasnyah Nazirun dengan WS Rendra yang baru memeluk Islam.
Kesan Rendra tentang Islam
Rendra pernah mendengar pengakuan dari seorang tahanan politik Gestapu. Selama dalam tahanan, ia mendapat kunjungan dari para pastur dan ulama. Kepadanya ditawarkan berbagai macam bentuk keyakinan dan janji-janji eskatologis. Para pastur menawarinya keyakinan Nasrani dan memberinya bimbingan ruhani. Tetapi para ulama, kesan Rendra, justru bersikap sebaliknya. Kepada tahanan politik Gestapu tersebut, para ulama justru bukannya membimbing secara ruhani, tetapi malah memberikan pernyataan keras, mengancam dan menakut-nakuti dengan dalil-dalil agama, dan menyuruhnya supaya segera bertobat.
“Saudara telah berbuat begini, berarti saudara telah melakukan tindakan yang berdosa, yang dikutuk Tuhan. Oleh karena itu, bertobatlah! Titik. Tentu saja cara membimbing dalam agama yang demikian ini secara psikologis tidak tepat” komentar Rendra.
Komentar WS Rendra tersebut tampaknya masih relevan untuk memberikan penilaian terhadap fenomena dakwah Islam saat ini yang masih kurang sensitif terhadap kondisi psikologis umat. Model dakwah yang menggurui, bukan membimbing, masih menjadi cirri khas para muballigh saat ini. Dakwah yang menebar ancaman, bukan menyampaikan pesan kedamaian, juga masih mewarnai tiap-tiap pengajian atau majlis-majlis taklim. Inilah model pendekatan dakwah yang kurang humanis.
“Kalau umat Islam mau berhasil dalam usahanya, harus dapat mengubah sikap yang kaku dalam approach-nya, yang sebetulnya juga tak sesuai dengan ajaran kitab suci al-Qur’an” pesan Rendra.
Kelemahan Pendekatan Dakwah
WS Rendra, yang pada waktu itu baru beberapa bulan memutuskan masuk Islam, sudah memahami problem metode dakwah Islam di lapangan. Mengapa seorang muallaf ini jauh lebih peka memahami problem ini ketimbang para muballigh atau ulama yang lebih memahami ajaran Islam? Tampaknya, umat Islam memang masih harus introspeksi diri.
Kelemahan ini pula yang telah mengakibatkan citra Islam saat ini berubah menjadi agama yang garang dan seram. Agama Islam menjadi garang karena cenderung keras tidak kenal kompromi dalam merespon berbagai problem sosial kemasyarakatan. Islam juga berubah menjadi agama yang seram karena para muballigh lebih senang menakut-nakuti ketimbang menyampaikan pesan kedamaian.
Pesan kedamaian dalam Islam harus terejawantahkan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Rendra berharap agar umat Islam lebih memberikan perhatian pada usaha-usaha kemanusiaan, seperti perlindungan terhadap fakir miskin, menyantuni para tahanan di lembaga pemasyarakatan, membantu para penderita penyakit kusta, dan lain sebagainya.
“Bagaimanapun juga mereka adalah makhluk tuhan yang berhak untuk mengecap cinta kasih dan kebahagiaan”, tegas Rendra.
Kesan Rendra tentang Muhammadiyah
WS Rendra belum mengenal Pak AR—panggilan akrab AR Fakhruddin—sewaktu ia bersilaturahmi ke rumahnya. Setelah pelukis Rusli memberitahu, ia baru sadar bahwa orang yang baru saja berkunjung ke rumahnya adalah seorang tokoh penting di Muhammadiyah. Dan Rendra telah mengenal Muhammadiyah lewat buku Studi tentang Muhammadiyah terbitan Cornel University.
Belajar dari sejarah bangsa ini, Rendra yakin akan peran organisasi massa dalam membangun sistem sosial kemasyarakatan. Menurutnya, setiap usaha membangun sosial-kemasyarakatan, peran elite group senantiasa menentukan. Umat Islam di Indonesia sudah memiliki elite group di masa memasuki kemerdekaan lewat peran Serikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Serikat Islam (SI). Menurut Rendra, ternyata membina kaum borjuis nasional, SI juga banyak memberikan nafas dan dorongan perjuangan nasional demi mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Rendra sempat menyayangkan, ketika SI dirusak oleh Semaun dan kawan-kawannya (PKI).
Pasca Indonesia memasuki masa pembangunan, WS Rendra kembali menaruh harapan besar kepada Muhammadiyah. Persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan seabad yang lampau (18 November 1912) merupakan elite group yang terbukti berhasil meneruskan tradisi SI. Selain bergerak di bidang keagamaan, Muhammadiyah merupakan ormas yang terbukti konsisten memberdayakan masyarakat kecil, memberikan santunan dan pelayanan sosial, dan berjuang atas nama kemanusiaan.
Sewaktu ditanya, bagaimana konsep membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, Rendra menjawab enteng: “Tidak perlu dipikirkan benar-benar!” Sebab, bagaimanapun konsep yang dibuat lewat kongres atau muktamar tidak akan berjalan jika pribadi-pribadi muslim tidak konsisten mengamalkan ajaran Islam yang sebenar-benarnya. Mewujudkan cita-cita Muhammadiyah “membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” sama sulitnya dengan membangun bangsa dan negara Indonesia. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan Rendra, sejarah bangsa Indonesia terbentuk lewat peran elite group yang terbukti banyak memberikan dorongan dan semangat dalam mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka.
Perlu Instrospeksi
Sebagai gerakan Islam modernis, Rendra menaruh harapan besar agar Muhammadiyah tidak menampilkan kesan sebagai ormas yang garang dan seram dalam berdakwah. Ia berharap agar Muhammadiyah senantiasa menjadi pengayom umat. Dengan begitu, katanya, diharapkan cita-cita Muhammadiyah akan tercapai.
Kritik dan gagasan WS Rendra yang baru saja menjadi seorang muallaf beberapa puluh tahun yang silam merupakan sumbangan berarti bagi umat Islam dan Muhammadiyah. Lewat kritik dan gagasan penyair “Burung Merak” ini, umat Islam dan Muhammadiyah bisa bercermin dalam rangka introspeksi diri.
Mungkin benar kritik Rendra, para muballigh masih belum bisa menerapkan pendekatan yang humanis dalam berdakwah, sehingga mengesankan seolah-olah Islam agama yang kurang ramah. Barangkali benar kritik Rendra, Muhammadiyah tidak perlu memikirkan benar-benar bagaimana berjuang mewujudkan cita-citanya. Sebab, titik pangkal persoalan yang dihadapi terletak pada pribadi-pribadi muslim yang konsisten mengamalkan ajaran Islam yang murni dalam pandangan Muhammadiyah.
Editor: Yahya FR