Review

Asal Usul Hukum Islam Awal Menurut Yasin Dutton

5 Mins read

Secara general, Al-Quran bersifat ‘minimalis’ dalam pendekatannya terhadap persoalan-persoalan etika hukum. Artinya, Al-Quran tidak menetapkan sebuah regulasi rinci mengenal detail kehidupan sehari-hari, melainkan hanya menekankan pada relasi Tuhan dengan ciptaan-Nya. Sedangkan ajaran-ajaran mengenai hal tersebut, tentang sesuatu yang diperbolehkan atau tidak, misalnya, harus dilihat dari perspektif relasi ini.

Dalam rangka perincian hukum tersebut, para ahli hukum (baca: fuqaha) bahkan – menurut Abdullah Saeed dalam The Qur’an: An Introduction – menggunakan sumber-sumber non-Islam, termasuk pemikiran Yunani klasik. Misalnya, logika Aristoteles digunakan untuk mengembangkan seperangkat prinsip guna mengonstruksi putusan dan peraturan dari Al-Quran dan sunnah. Dengan demikian, secara historis jika regulasi tertentu tidak dijelaskan dalam Al-Quran, dalam bahasa Saeed, umat Islam memiliki kebebasan untuk mengikuti norma-norma sosial dan budaya masyarakat mereka. Hal ini tampaknya juga dipraktikan oleh Nabi sendiri.

Dalam buku ini, sebuah karya dari Yasin Dutton berjudul, The Origins of Islamic Law The Qur’an, the Muwatta’ and Madinan Amal, melihat asal-usul hukum Islam. Buku ini mulanya adalah disertasi Dutton di Oxford University pada tahun 1992.

Genealogi Hukum Islam Awal: Dua Pandangan

Buku ini mengulas bagaimana pengaplikasian Al-Quran sebagai hukum Islam. Untuk mengulas detailnya, Yasin Dutton mempertimbangkan metode yang digunakan Imam Malik dalam Al-Muwatta’nya guna memperoleh kejelasan hukum dari Al-Quran. Namun, karena setiap pembahasan Al-Qur’an dalam konteks Muwatta harus menyertakan pertimbangan istilah sunnah, hadits, ijtihad dan ‘amal, istilah-istilah ini – atau setidaknya konsep di baliknya – juga mendapat perhatian yang cukup besar darinya.

Memang, argumentasi buku ini lebih banyak bersinggungan dengan sejarah dan perkembangan hukum Islam – yang istilah-istilah di atas merupakan representasi darinya – daripada ilmu tafsir Al-Qur’an. Dalam bagian tertentu pula, Dutton berfokus pada isu-isu kekuasaan dan peran penting Al-Quran dalam perkembangan hukum Islam awal.

Menurut Yasin Dutton, saat ini terdapat dua pandangan utama tentang sebab musabab yurisprudensi Muslim, yakni pandangan kesarjanaan Muslim ‘klasik’ (yakni pasca Imam Syafi’i), dan aliran revisionis dari sebagian besar keilmuan Barat modern yang dikaitkan secara khusus dengan pandangan Goldziher dan Schacht. Yang pertama, kesarjanaan klasik menunjukkan hukum Islam berasal dari dua sumber utama, yang dilestarikan sebagai teks Al-Qur’an dan hadits Nabi (disebut sebagai ‘sunnah’), di samping sumber-sumber tertentu lainnya yang dapat diterima seperti ijma’ (konsensus) dan qiyas (analogi), yang semuanya berasal – otoritas tertinggi mereka dari teks itu sendiri.

Baca Juga  Konsep Kepatuhan Menurut Erich Fromm

Meskipun para ulama klasik mengakui bahwa pada periode awal hadits sudah beredar terutama dalam transmisi lisan, dan Al-Qur’an dalam bentuk lisan maupun tulisan, namun pandangan ini pada dasarnya berbasis teks, karena materi, baik lisan maupun tulisan, tergantung otoritasnya pada bentuknya yang tetap.

Pandangan ini semakin memperuncing persoalan dalam pandangan selanjutnya bahwa pengetahuan tentang Islam, dan dengan demikian juga tentang hukum Islam, secara efektif terbatas pada – pengetahuan tentang teks-teks Al-Qur’an dan hadis, khususnya koleksi al-Bukhari dan Muslim, meskipun dengan beberapa pengakuan atas empat lainnya dari kutubus sittah yaitu koleksi al-Tirmidzi, Abu Dawud, aI-Nasa’i dan Ibnu Majah, yang paling sering dilihat hari ini sebagai sumber utama hukum Islam.

Imam Malik dan Al-Muwatta’

Dalam pengantarnya, Yasin Dutton menegaskan jika Quran merupakan rumusan tertulis pertama tentang Islam secara umum, maka Muwatta’-nya Imam Malik bisa dibilang merupakan rumusan tertulis pertama tentang Islam dalam praktiknya yang menjadi hukum Islam. Dutton mengklaim bahwa bukunya ini merupakan buku pertama yang mempertanyakan kerangka pandangan Muslim klasik yang diterima sampai sekarang dan pandangan Barat yang revisionis saat ini tentang perkembangan hukum Islam.

Hal ini juga merupakan studi pertama dalam bahasa Eropa yang secara khusus mengulas perkembangan awal Madinah, kemudian Imam Malik, mazhab fiqh, karena juga yang pertama menunjukkan secara rinci berbagai metode yang digunakan, baik linguistik maupun lainnya, dalam menafsirkan ayat-ayat hukum Al-Qur’an.

Tidak berlebihan kiranya, jika Dutton membuat kontribusi signifikan terkait pemahaman kita tentang genealogi pembentukan hukum Islam awal. Selain itu, Dutton dengan hati-hati mendokumentasikan ketergantungan Imam Malik pada Al-Qur’an dan ‘amal (praktik) orang-orang Madinah dalam merumuskan doktrin hukum Islam awal. Dalam konteks ini, Dutton menantang banyak kesarjanaan Barat, yang cenderung meminimalkan peran Al-Qur’an dan sunnah Nabi dalam pengembangan yurisprudensi Islam awal.

***

Al-Quran, Sunnah, dan Amal, dalam pandangan Yasin Dutton, membentuk komponen integral dari wacana hukum Madinah awal. Ia membedakan makna daripada sunnah dengan amal dan antara sunnah dengan hadits. Sunnah, bagi Dutton, terdiri dari preseden warisan kolektif Nabi. Dalam banyak hal, ini adalah preseden Alquran serta interpretasi dan ijtihad Nabi seperti yang diingat, dalam arti umum, oleh komunitas Muslim awal. ‘Amal, di sisi lain, adalah Al-Qur’an dan sunnah dalam perilaku dan perbuatan serta interpretasi dan ijtihad para sahabat, salafus shalih dan seterusnya. Oleh karena itu, dalam arti tertentu, Dutton berpendapat bahwa semua ‘amal termasuk sunnah, tetapi tidak semua sunnah termasuk ‘amal.

Baca Juga  Islam Berkemajuan Enteng-Entengan

Lebih jauh lagi, Yasin Dutton menegaskan bahwa seseorang seharusnya tidak menyamakan sunnah atau amal di bawah kategori umum dari tradisi atau praktik yang hidup, tetapi orang harus menyadari bahwa, setidaknya, Imam Malik dan para ahli hukum Madinah memahami sunnah sebagai Al-Qur’an sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi, dan ‘amal menjadi Al-Qur’an dan sunnah sebagaimana dipraktikkan oleh para sahabat dan salafus shalih.

***

Atas dasar itu, Dutton berpendapat bahwa hadits merupakan ucapan Nabi yang terpelihara. Hadis adalah tanpa konteks dan sering merupakan catatan dari kasus yang tidak biasa dan luar biasa daripada dokumentasi praktik Nabi yang teratur dan diterima secara luas. Dengan demikian, hadits mungkin bertentangan atau mendukung sunnah, tetapi hadits, dengan sendirinya, tidak membentuk sunnah. Dutton berpendapat bahwa Imam Malik dan ahli hukum awal lainnya mengandalkan sunnah Nabi tetapi tidak bergantung pada hadits saja.

Implikasinya, ia bertentangan dengan apa yang dikemukakan Schacht, Imam As-Syafi’i memicu pergeseran dari ketergantungan pada sunnah Nabi dan ‘amal untuk mengandalkan hadits sebagai instrumen utama hukum. Sebagaimana diketahui bersama, Al-Qur’an dan sunnah selalu otoritatif dalam komunitas Muslim. Al-Syafi’i merasa tidak nyaman dengan sifat sunnah dan ‘amal yang cair dan fleksibel, dan ia menginginkan ketergantungan yang lebih formal pada hadits.

Secara efektif, al-Syafii berhasil menginduksi pergeseran dari sunnah Nabi dan untuk menangkal hadits Nabi. Namun, yang penting, Dutton sangat skeptis terhadap klaim Schacht bahwa ada pemalsuan massal hadis yang kemudian diproyeksikan mundur ke Nabi. Bahkan cendekiawan Muslim tradisional mengakui bahwa ada sejumlah pemalsuan hadis.

Catatan Kritis

Pada dasarnya, Dutton berpendapat, para sarjana seperti Schacht benar-benar meremehkan peran otoritas dan preseden Alquran dan Nabi dalam pengembangan hukum Islam. Tidak ada keraguan bahwa, meskipun ia bergantung pada metodologi parsial untuk menganalisis teks Muwatta’, Dutton menyajikan catatan yang jauh lebih meyakinkan tentang asal-usul hukum Islam daripada versi yang dianut oleh Schacht dan murid-muridnya. Sangat menyegarkan untuk membaca seorang sarjana dalam bidang hukum Islam yang melakukan analisis teks dengan cermat, dan yang tidak bergantung pada penjelasan yang mudah dan sederhana tentang fenomena hukum yang kompleks.

Dalam gradasi tertentu, Dutton merepresentasikan generasi baru sarjana hukum Islam yang tidak berusaha menjelaskan fenomena hukum yang kompleks dengan menggunakan klaim fabrikasi massal. Namun demikian, Dutton memang melanggengkan tren tertentu yang tidak menguntungkan, dalam studi hukum Islam. Misalnya, Dutton tidak berusaha menempatkan studinya dalam konteks studi hukum komparatif yang lebih luas. Dia tidak menggunakan atau mendiskusikan unsur-unsur yang berkaitan dengan teori hukum secara umum, atau historiografi hukum.

Baca Juga  Kalis Mardiasih: Masalah Kesetaraan Gender Bertalian dengan Kemiskinan

Dengan mempelajari dan menggunakan wacana tentang peran budaya hukum, fungsi hukum, dan perkembangan doktrin hukum dan tren hukum, Dutton akan mampu memberikan penjelasan yang lebih ekstensif dan lebih bernuansa tentang perkembangan hukum Islam. Salah satu warisan menyedihkan Orientalisme adalah transformasi studi hukum Islam menjadi bidang parokial yang tidak menguntungkan dalam mencoba memahami dan mengkonseptualisasikan proses hukum Islam, dari perdebatan yang lebih luas tentang fungsi hukum dan peran ahli hukum.

***

Tanpa mendegradasi buku ini, Karya Dutton dalam beberapa hal tidak dapat diakses oleh kalangan lebih luas mengingat Dutton sering menggunakan istilah-istilah Arab tanpa mendefinisikannya, dan ia menganggap sebagian pembaca cukup familiar dengan tradisi hukum Islam.

Jika ditilik dari aspek metodologis, misalnya, buku Dutton sebenarnya berasal dari beberapa masalah yang berbeda. Khususnya, ia sering menjelaskan metode penafsiran Imam Malik dengan mengacu pada konsep yurisprudensi yang dikembangkan jauh setelah era Imam Malik.

Dutton mengacu pada penggunaan teknik yurisprudensi Imam Malik seperti haml al-mutlaq ‘ala al-muqayyad dan mafhum al-muwafaqa dan mafhum almukhalafa, yang agak anakronistik karena teknik ini berkembang dengan baik pasca Imam Malik. Lebih jauh lagi, Dutton terkadang terjebak pada perdebatan tentang doktrin hukum sehingga tampaknya melupakan argumen atau poin utamanya. Hal ini tentu menggantung pemahaman pembaca yang justru bertanya-tanya “apa sesungguhnya argumen utama atau intisari pembahasan buku ini?”.

Akhirnya, meskipun Dutton membahas dan membedakan karya-karya beberapa sarjana sebelumnya seperti Ahmad Hasan, tidak dapat dipungkiri terdapat beberapa kelalaian yang cukup serius mengingat tesisnya tentang makna sunnah dan hadits, akan sangat bermanfaat jika ia membahas karya-karya ulama seperti Shah Wali Allah dan Fazlur Rahman. Dalam analisis terakhir, terlepas dari segala kekurangannya, Dutton memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman yang lebih ekstensif dan memberi pengayaan perspektif terkait yurisprudensi Islam awal.

Daftar Buku

Judul Buku: The Origins of Islamic Law The Qur’an, the Muwatta’ and Madinan Amal

Penulis: Yasin Dutton

Penerbit: Routledge

Tahun Terbit: 2002

Tebal: 280 halaman

ISBN: 9780700716692

Editor: Soleh

Avatar
28 posts

About author
Direktur CRIS Foundation
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *