Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), memiliki kisah unik dengan pimpinan, sekaligus guru Sumatra Thawalib Padang Panjang. Ya, sosok yang dimaksud adalah Djalaluddin Thaib. Kisah perjumpaannya pertama kali, tentu di Thawalib –semasa Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) masih aktif mengajar di sana. Pertemuan keduanya, sewaktu HAMKA memasuki kelas empat Diniyah School.
Lokasi Diniyah milik Zainuddin Labay el-Yunussy tersebut, telah dipindah ke Pasar Usang- tepatnya di kediaman Haji Abdul Madjid. Atau terletak persis di seberang Rex Teater.
Ketika menginjak kelas 4, Hamka dididik Labay. Ada hal berbeda dirasakannya, ketika diajari Labay. Labay seakan-akan menguasai persoalan psikologi pendidikan. Padahal, HAMKA mahfum, gurunya ini bukanlah lulusan sekolah MULO, STOVIA, ataupun didikan dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Ketika HAMKA duduk di bangku kelas empat, murid-murid Diniyah School dikejutkan dengan kunjungan Djalaluddin Thaib–kepala Sumatra Thawalib. Ia masuk di kelasnya HAMKA. Haji Djalaluddin mengajukan pertanyaan seputar Qaala dan Inna.
”Padahal, saya terhitung murid yang kecil di kelas 4, dan paling bodoh, berdua dengan si Tabek,” kenang HAMKA dalam kisah Peringatan 15 Tahun Diniyah School. “Seorang pun dari kawan saya tidak ada yang bisa menjawab, apakah bacaan itu inna atau anna. Saya turut mencari pula,” lanjut HAMKA dalam artikelnya.
“Tiba-tiba dari baris ketiga, di dalam matan bertemu dengan qila. Dengan cepat saya menjawab, bahwa bacaan itu ialah inna. Saya tidak tahu apakah itu Maqul Qaul, cuma saya ingat bahwa tuan Labay mengajarkan saya begitu…” ungkap HAMKA lebih lanjut.
Kawan-kawan sekelas HAMKA tercenang. Lebih-lebih Haji Djalaluddin Thaib bergelar Datuk Penghulu Besar. Mereka tak habis mengerti, mengapa si Malik yang mereka anggap bodoh–yang tidak tahu satu pasal pun dalam tiap-tiap pelajaran.
“Si Malik yang kerap kali disuruh tegak (hukuman), sebab tidak pernah hapal Hadits Arba’in, dapat menjawab setegas itu,” kenang HAMKA kali kedua ia berjumpa dengan Djalaluddin Thaib.
Siapakah sosok Djalaluddin Thaib yang dimaksud HAMKA itu? Djalaluddin Thaib lahir pada 1895 di Subarang –Nagari Balingka Fort de Kock. Ayahnya adalah Muhammad That gelar Datuk Rajo Malintang -seorang penghulu adat. Dan, ibunya bernama Siti Zulaikha –kerap dipanggil Rang Gaek (orang tua).
Djalaluddin Thaib merupakan anak perttama dari tiga bersaudara. Adiknya berturut-turut adalah Jannah Thaib dan Aziz Thaib. Bila ditarik dari genealogisnya, ia massih memiliki hubungan erat dengan Syekh Daud Rasyidi (pendiri Diniyah School Balingka) dana Syekh Abdul Latif.
Masa kecilnya dihabiskan di Balingka. Pendidikan dasar dimulai dari Surau Inyiak Syah –yang terletak persis di Subarang. Setamat dari surau tersebut, Djalaluddin melanjutkan belajar Islam pada Syekh Daud Rasyidi dan Abdul Latif.
Pasca menyelesaikan pelajarannya dengan Daud Rasyidi dan Abdul Latif, pada tahun 1914 ia memutuskan berangkat haji dan mendalami Islam di sana. Keputusannya berangkat ke sana, tentu didorong oleh pengalaman kedua gurunya yang pernah belajar Islam di Mekah. Dari sanalah, ia memperoleh ide modernisasi Islam.
Djalaluddin rupanya tidak pernah puas dengan ilmu agama. Ia melanjutkan pendidikannya pada Syekh Thaib Umar di Nagari Sungayang afdeliing Tanah Datar. Setelah itu, ia melanjutkan pelajarannya pada HAKA di Surau Jembatan Besi Padang Panjang.
Karena otaknya yang encer, HAKA mendaulatnya sebagai guru bantu di suraunya, bersama Zainuddin Labay dan Haji Ahmad Khatib gelar Datuk Batuah. Semakin menjamurnya jamaah Surau Jembatan Besi, masih merisaukan hati HAKA–terutama pada sistem pengajaran berbasis halaqah.
Pencerahan baru diperoleh, ketika HAKA melakukan lawatan ke Jawa tahun 1917. Di Surabaya, ia bertemu dengan Ketua CSI Tjokroaminoto. Dan, di Yogyakarta berjumpa dengan kawan seperguruannya di Mekah dan sering mengikuti tulisannya di Al-Munir, yakni KH Ahmad Dahlan.
Tjokroaminoto mencerahkannya lewat urgensi organisasi, dan Dahlan menasehatinya untuk merintis organisasi di Sumatera Barat. HAKA meminta Zainuddin Labay dan Djalaluddin Thaib merintis organisasi bernama Sumatra Thawalib.
Sebelum mendirikan Sumatera Thawalib, pada tahun 1915 Bagindo Djamaluddin Rasjad tampil di depan murid-murid Surau Jembatan Besi tentang pentingnya organisasi. Pasca pertemuan itu, salah seorang murid yang bernama Haji Habib mendirikan perkumpulan koperasi yang dikenal dengan Perkumpulan Sabun. Perkumpulan ini menyediakan kebutuhan sehari-hari murid Jembatan Besi seperti sabun, pensil, dan lain sebagainya.
Awalnya, Sumatra Thawalib diketuai Hasjim Alhusny pada Februari 1918, kemudian digantikan oleh Djalaluddin Thaib. Memang terjadi perbedaan narasi, mengenai siapa yang lebih awal memimpin Sumatra Thawalib.
Deliar Noer mengklaim, bahwa ketua pertama Thawalib School adalah Djalaluddin Thaib. HAMKA memiliki versi lain. Ia menyebut, Hasjim el Husny yang pertama kali menjadi ketuanya. Setahun setelah menjabat, Hasjim digantikan oleh Djalaluddin Thaib.
Tidak hanya dikenal sebagai perintis dan mengepalai Sumatra Thawalib, Djalaluddin juga dikenal sebagai politisi Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) –yang berdiri secara resmi tahun 1930. Semasa hidupnya, ia telah menulis beberapa karya, di antaranya Tentang Bahasa Arab, Tingkatan Bahasa Arab, Tafsir al-Munir, Pengasuh Anak-Anak Kepada Agama Islam, Pembuka Pintu Kemajuan, Semangat Jilid I, Semangat Jilid II, dan Peringatan Nasional.
Sejak PERMI dibubarkan dan pentolannya ditangkap, Djalaluddin Thaib bersama Ilyas Ya’kub dan Mochtar Lutfi menjadi interniran Boven Digoel. Politisi Masyumi ini, tutup usia pada tahun 1959 pada usia 64 tahun. Ia kemudian kenang sebagai Pejuang Kemerdekaan Indonesia.
Editor: Arif