Menjadi jawa artinya menjadi Islam, sebuah istilah yang disematkan ketika Majapahit jatuh hingga kekuasaan beralih ke kesultanan Islam Demak. Islam dipaksa untuk dapat menyesuaikan diri dengan iklim tradisi yang sudah ada. Islam, menurut Clifford Geertz, menjadi adaptive dan absorbent saat menyentuh nusantara, khususnya Jawa (Pradjarta, 1999).
Para raja-raja Islam di nusantara – sebelumnya nantinya lebih dikenal dengan sultan – sering menjalin hubungan yang dekat dengan para ulama tarekat. Tidak jarang mereka menjadikan para syeikh sebagai penasehat, lebih-lebih dalam urusan agama. Salah satunya adanya alasan karamah yang hanya dimiliki para syeikh tarekat sufi.
Kekuatan spiritualisme para ulama terutama yang berafiliasi tarekat dianggap mampu membawa perlindungan dan pelestarian kekuasan para sultan. Kehadiran syeikh, yang tidak kalah penting bagi sultan adalah sebagai pengokoh legitimasi penguasa (politik) atas rakyatnya. Peranan syeikh selain sebagai penasehat sultan juga sebagai juru agama bahkan menurut istilah Bruinessen menjadi “jimat hidup” (Bruinessen, 1995).
Para ulama yang berada dalam lingkaran kekuasaan raja seringnya beraliran sufistik (tarekat). Dalam kepercayaan sufistik, mimpi menjadi salah satu indikasi manifestasi maqam spiritual tertentu. Literatur Hikayah Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu menyebut para raja melalui mimpi yang dialaminya, sering menjadi alat legitimasi kekuasaan politik (Burhanudin, 2020). Mimpi dalam tradisi sufisme diakui sebagai salah satu sarana spiritual yang shahih. Seperti untuk mengklaim sanad tarekat yang bersambung hingga nabi atau para sahabat.
Lebih dari itu para syeikh yang dianggap juga sebagai wali memainkan peranan penting dalam suksesi kepemimpinan raja-raja Jawa. Kekuasaan Sultan Agung dan Sultan Pajang mendapat legitimasi oleh Sunan Giri. Hubungan antar ulama dan raja pun sering terjadi dalam bentuk perkawinan melalui putri-putrinya atau saling memberi hadiah. Dalam perkembangannya, akan banyak didapati hal serupa yakni kedekatan antara sultan dan ulama (syeikh) di kerajaan Islam penjuru nusantara.
Hal yang lain adalah Kota Mekah. Sejak Islam meluas penyebarannya di nusantara, kota itu sudah pasti menjadi episentrum baru bagi masyarakat muslim. Status demikian karena nuansa spiritualitasnya yang begitu kental dan tidak bisa dilepaskan dari ajaran Islam itu sendiri. Mekah menjadi kiblat seluruh penjuru dunia, Mekah adalah tempat turunnya wahyu, dan Mekah juga menjadi salah satu tempat berkecambahnya lingkaran keilmuan (halaqah) ilmu-ilmu Islam.
Dengan kata lain, Mekah adalah simbol kematangan ilmu-ilmu Islam, siapapun yang tidak pernah menimba sumber ilmu di sana maka akan diragukan ilmu keislamannya saat itu. Hal tersebut secara tidak langsung membuat para raja menjadikan Mekah sebagai unsur penting dalam legitimasi kekuasaannya.
Dalam babad Sejarah Banten, Bruinessen mendedahkan pada kisaran abad-17 raja Banten mengirim utusan ke Mekah guna mencari pengakuan gelar “Sultan”. Dukungan aroma spiritual dan supranatural nampak dibutuhkan raja-raja nusantara bagi keberlangsungan kekuasaannya.
Mataram yang merupakan kerajaan Islam di Jawa nampak tidak mau ketinggalan. Pangeran Rangsang pernah mengirim delegasi ke Mekah guna meminta gelar yang sama yakni “Sultan” kepada Syarif Mekah yang kemudian mendapat julukan sebagai Sultan Agung. Aceh pun demikian, wilayah kesultanan tersebut justru diuntungkan hingga memiliki implikasi politik penting sebagai dampak dari jalinan komunikasinya dengan Mekah (Azra, 2004).
Para raja meyakini syarif di Mekah memiliki kewibawaan spiritual bagi seluruh wilayah Islam. Meski pada kenyataannya di sana tidak terdapat institusi resmi yang memberi gelar bagi penguasa negara lainnya (Bruinessen, 1995).
Saking sakralnya kemegahaan spiritualitas Mekah, sejumlah kisah para wali sering dihubungkan dengan kota suci tersebut. Sebuah gua besar di daerah Tasikmalaya Selatan yang menjadi salah satu pusat ajaran tarekat Syatariyah mengandung tersebarnya kisah-kisah supranatural unik. Konon gua itu menjadi lorong yang digunakan oleh Syeikh Abdul Muhyi untuk berkunjung ke Mekah setiap Jumat. Bukan hanya itu, di daerah Pandeglang juga disebarkan kisah sebuah sumur yang konon airnya tersambung dengan air zamzam di Mekah (Bruinessen, 1995).
Di kalangan masyarakat awam, langkah semacam duplikasi spiritual kota Mekah juga dihadirkan melalui doktrin-doktrin yang nyeleneh. Masyarakat di daerah Kuningan, pada awal abad-19 tersebar kepercayaan bahwa menanjaki Gunung Ciremai sebanyak tiga kali sama pahalanya dengan naik haji, yang artinya juga tiga kali berkunjung ke Mekah.
Di Madura menyebar kepercayaan bagi siapa yang berziarah ke Batu Ampar akan mendapatkan pahala yang sama dengan haji. Namun demikian, menurut Bruinessen, semua tempat tersebut tidak akan mampu mengalahkan keyakinan kehebatan kota Mekah yang sebenarnya.
Sedemikian kuatnya penyebaran dan pengaruh Islam, Mekah dan para ulama menjadi dua simbol konsekuensi logis yang mau tidak mau harus “ditaklukan” oleh para raja. Islam yang mewujud dalam bentuk Mekah dan ulama – yang seringnya terikat dengan tarekat tertentu – membuat para sultan di nusantara seakan “mengemis restu” dari dua entitas tersebut demi legitimasi politik. Aroma sakralitas dan spiritualitas pada keduanya, diyakini mampu membawa wibawa serta melanggengkan kekuasaan.
Editor: Soleh