Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Atas prakarsa KH Mas Mansur beserta dua tokoh dari NU, KH M Dahlan dan KH Abdulwahab Hasbullah dibantu oleh W Wondoamiseno, pada tanggal 12 s/d 15 Rajab 1356 atau 18 s/d 21 September 1937, di Surabaya diadakan pertemuan tujuh organisasi Islam, yaitu: Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Al-Islam, Perikatan Umat Islam (PUI), Al-Irsyad Cabang Surabaya, Hidayatul Islamiyah Banyuwangi, dan Al-Khairiyah Surabaya. Pertemuan itu berhasil membentuk satu badan musyawarah dengan nama “Al-Majlisul Islami A’la Indonesia” disingkat MIAI.
MIAI
Pada permulaannya, MIAI dipimpin oleh satu sekretariat yang diketuai oleh W Wondoamiseno yang dahulu bernama Wondosudirjo. KH Mas Mansur sebagai bendahara, KH M Dahlan dan KH Abdulwahab Hasbullah selaku anggota. Dalam asas MIAI tersebut yang ditandatangani oleh para pendirinya berbunyi antara lain sebagai berikut:
“Majlis ini adalah suatu tempat permusyawaratan, suatu badan perwakilan, yang terdiri dari pada wakil-wakil atau utusan-utusan dari beberapa perhimpunan yang berdasarkan agama Islam di seluruh Indonesia, yang telah sama menyatakan suka dan maksud menjadi anggota majlis tersebut.
Pada tiap-tiap waktu yang bakal ditentukan, maka majlis ini hendak mengadakan persidangan-persidangan untuk membicarakan dan memutuskan soal-soal yang dipandang penting bagi kemaslahatan umat dan agama Islam, yang keputusannya itu harus dipegang teguh dan dilakukan bersama-sama oleh segenap perhimpunan-perhimpunan yang menjadi anggotanya, baik yang datang mengirimkan wakilnya di dalam persidangan majlis itu maupun yang tidak.”
***
Ketika KH Mas Mansur pindah Yogyakarta untuk menjabat Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, kedudukannya dalam MIAI digantikan oleh Kh Fakih Usman, Konsul PB Muhammadiyah Gresik.
Pada tanggal 25 s/d 28 Dzulhijjah atau 26 Februari s/d 1 Maret 1938 oleh MIAI telah berhasil diadakan Kongres Umat Islam yang ke-10 yang atas usul dari NU diubah menjadi Kongres ke-1. Kongres ini dihadiri oleh utusan dari 25 organisasi Islam dan membicarakan acara yang amat penting bagi umat dan agama Islam, antara lain:
- Perbaikan peraturan perkawinan menurut Syariat Islam.
- Menanggapi hinaan yang dilancarkan orang terhadap agama Islam, Al-Qur’anul Karim dan Rasulullah saw.
- Soal hak waris umat Islam dan Pengadilan (Raad) Agama.
- Mempersatukan awal Ramadhan dan Hari Raya.
- Perbaikan perjalanan haji.
- Pajak pemotongan hewan untuk kurban.
- Dakwah dan penyiaran Islam di daerah transmigrasi.
- Pembelaan umat Islam Palestina.
- Soal-soal yang menyangkut organisasi dan persatuan umat.
Kongres tersebut merupakan suatu sukses yang besar. Di samping pesertanya lengkap, minat yang besar dari kaum Muslimin, juga acaranya amat penting menyangkut langsung kepentingan agama dan umat Islam Indonesia. Kongres Islam ke-2 diadakan di Surakarta pada tanggal 2 s/d 7 Mei 1939. Di antara peserta baru terhadap utusan dari Partai Islam Indonesia dari Yogyakarta yang baru berdiri.
Pada tanggal 14 dan 15 September 1940 diselenggarakan Konperensi MIAI yang mengubah status secretariat menjadi dewan MIAI dengan susunan pengurus tertentu serta Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga baru. Pengurus terdiri dari pada 5 orang wakil organisasi anggota yaitu:
Ketua : HA Wahid Hasyim dari NU,
Wakil Ketua : W Wondoamiseno dari PSII,
Anggota : KH Mas Mansur dari Muhammadiyah dan Dr Soekiman dari PII,
Sekretariat : KH Fakih Usman dari Muhammadiyah selaku ketua merangkap bendahara dan SA. Bahreisy dari PAI sebagai penulis.
Kemudian tanggal 5 s/d 8 Juli 1941 dilangsungkan Kongres Islam ke-3 yang namanya diganti dengan Kongres Muslimin Indonesia. Dalam zaman pendudukan Jepang nama MIAI diganti dengan Majlis Syura Muslimin Indonesia atau Masyumi dan kedudukannya dipindahkan ke Jakarta. Dan akhirnya, pada tanggal 7 September 1945 Masyumi tersebut diperbarui bentuknya di Yogyakarta menjadi Partai Politik Islam Masyumi.
Sumber: Matahari-matahari Muhammadiyah karya Djarnawi Hadikusuma.
Editor: Arif