Sungguh menarik buah fikiran KH Mas Mansur yang dipidatokan dalam Kongres Akbar ke-20 di Yogyakarta, tentang sejarah tasyri’ (pelaksanaan syari’ah) sepanjang dunia Islam terkembang. Diuraikan bahwa perkembangan tasyri’ telah melewati enam tahap yang dijelaskan ringkasnya sebagai berikut:
Tahap pertama, selama masa hayat Rasulullah. Pada masa itu Al-Quran benar-benar dilaksanakan secara murni dan konsekuen menurut bimbingan langsung dari Rasulullah sendiri, yang terbukti telah menghasilkan persatuan, kejayaan, berlakunya keadilan, dan tegaknya hukum kebenaran, yang membawa bangsa Arab ke martabat yang tinggi.
Tahap kedua, ialah zaman kepemimpinan Khulafaur Rasyidin di mana kemajuan dan kebudayaan semakin meningkat serta perluasan wilayah kewibawaan agama Tauhid, walaupun akhirnya keretakan mulai timbul pada zaman pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Namun, keretakan yang mengakibatkan perpecahan dan pertumpahan darah umat Islam itu tidak menghambat perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Tahap ketiga, ialah masanya Sahabat yang muda-muda dan para Tabi’in memegang pimpinan dan peranan. Tahap ini dimulai dengan perebutan kekuasaan antara Ali bin Abi Thalib melawan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Satu pertentangan yang mula-mula hanya didorong oleh ta’ashub atau sukuisme.
Ali keturunan Bani Hasyim sedang Mu’awiyah keturunan Bani Umayyah. Pertentangan suku ini berkembang menjadi pertentangan politik merebut kekuasaan. Lahirlah golongan Khawarij yang tidak berpihak, bahkan Ali dan Mu’awiyah merupakan biang keladi daripada perpecahan itu, maka keduanya harus dibunuh. Mereka berhasil membunuh Ali tetapi gagal melenyapkan Mu’awiyah.
Sejak kekuasaan Bani Umayyah gejala-gejala yang sangat tidak menguntungkan, yakni: 1) perpecahan karena politik dan tindakan kejam sesama umat Islam. 2) para ulama tidak bersatu lagi disebabkan ambisi keduniaan. 3) timbulnya hadits-hadits palsu untuk mendukung pendirian pihak-pihak yang bersengketa. 4) masuknya falsafah Yunani ke dalam perkembangan ilmu kalam atau teologi Islam. 5) perselisihan yang hebat antara ahli hadits dan ahli fikir.
Tahap keempat, yaitu masa mulai berkembangnya Ilmu Fiqh. Para ulama giat meningkatkan dan memperkembangkan ilmu hukum itu. Maka meningkatlah pembahasan-pembahasan menurut sistem dan jalan fikiran mereka masing-masing. Maka lahirlah pertentangan pendapat antara para ulama besar yang masing-masing mempunyai murid dan pengikut sendiri.
Tahap kelima, ialah lahirnya ulama-ulama madzhab dan yang terbesar yakni Madzhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali. Sekalipun para ulama itu sendiri telah wafat namun pengikutnya berjalan terus serta berkembang dan merupakan golongan yang tidak serasi satu dan lainnya.
Mereka berebut pengaruh terhadap umat dan terhadap pemerintahan, terhadap khalifah. Pemerintahan atau khalifah yang menganut sesuatu madzhab tertentu pasti akan menindas penganut madzhab lainnya. Maka dengan demikian persatuan umat tidak hanya pecah berantakan melainkan sudah sampai kepada saling aniaya dan fitnah.
Tahap keenam, yaitu masa taqlid buta. Pada zaman ini Al-Quran dan Sunnah hanya ditekuni oleh para ulama sedang urang umum hanya berpegang kepada pendapat dan fatwa para ulama itu. Al-Quran dan Sunnah Rasul telah mereka tinggalkan dan diganti dengan ulama. Orang tidak lagi merasa perlu untuk mempelajari isi Al-Quran dan contoh yang telah diberikan oleh Rasulullah, tetapi menganggap cukup bila telah mengikuti pendapat serta fatwa para ulama itu.
Bahkan, apabila ada keterangan yang berdasarkan Al-Quran atau Hadits tetapi menyalahi pendapat ulama, maka pendapat ulamalah yang dipakai. Sikap beginilah yang dinamakan taqlid buta, dan memang taqlid selamanya membuta, artinya tidak bersedia mendengar keterangan yang lain, tanpa alasan.
Pendapat ulama saja sudah cukup dan lengkap, walaupun para ulama itu telah wafat tetapi kitab-kitab karangannya masih ada, diajarkan dan dikembangkan oleh para pengikutnya. Dengan demikian tidak dimungkinkan lagi orang berijtihad yaitu langsung mengungkap Al-Quran dan riwayat yang mengandung Sunnah Rasul untuk dicerna dengan menggunakan jalan fikiran yang cerdas bagi menetapkan hukum. Segala perkara dari yang kecil sampai yang besar dan maha penting telah ada hukumnya dalam kitab-kitab para ulama. Inilah yang dinamakan menutup pintu ijtihad.
Fatwa ulama bagi penutupan pintu ijtihad itu telah dimulai sejak abad keenam Hijriyah, berarti umat Islam telah hidup selama delapan abad dalam keadaan tertutupnya pintu ijtihad. Dengan demikian, wajarlah kiranya apabila sekarang umat Islam yang bertuhan Satu ini diperintah serta dikuasai oleh kaum yang ”bertuhan tiga.” Karena dengan tertutupnya pintu ijtihad itu umat Islam menjadi bodoh dan beku.
Sumber: Matahari-matahari Muhammadiyah karya Djarnawi Hadikusuma.
Editor: Arif