Khalifah Abbasyiah | Isu legalitas jabatan atau kepemimpinan non-muslim dalam Islam adalah topik yang selalu hangat dibahas. Hal ini berangkat dari banyaknya interpretasi dan studi para sarjanawan muslim yang memiliki kesimpulan berbeda-beda atas legalitas kepemimpinan non-muslim.
Al-Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam as-Sulthaniyyah menyimpulkan bahwa non-muslim hanya dibolehkan menjabat sebagai Wazir Tanfidzi (pembantu khalifah di bidang administrasi). Yaitu sebuah kementerian yang dipegang oleh kafir dzimmi (orang kafir yang ada dalam perlindungan kaum). Pembolehan ini tentunya melewati pengujian kriteria yang sangat ketat dan teliti.
Ibn Taimiyah, salah seorang ulama kontemporer, melemparkan sebuah statement yang sudah masyhur di kalangan umat Islam, “Lebih baik dipimpin oleh pemimpin kafir yang adil daripada dipimpin oleh pemimpin yang zalim”. Statement tersebut menyiratkan sebuah interpretasi bebas bahwa secara tegas Ibn Taimiyah membolehkan non-muslim (kafir) menjadi pemimpin di kalangan Islam selama ia bisa adil dalam kepemimpinannya.
Isu kepemimpinan non-muslim juga sempat menyeruak di kancah perpolitikan bangsa Indonesia. Yaitu saat kepemimpinan Ahok sebagai gubernur non-muslim DKI Jakarta tahun 2014-2017. Isu yang membikin geram sebagain umat Islam Indonesia ini bermula saat Ahok melawat ke sebuah daerah di Kepulauan Seribu. Kepada para warga, ia mengatakan bahwa jangan mau dibohongi pakai surat Al-Maidah ayat 51 yang isinya larangan untuk menjadikan non-muslim pemimpin.
Sebagian umat Islam populis geram dan menganggapnya sebagai penistaan terhadap surat Al-Maidah ayat 51. Demo berjilid-jilid oleh umat Islam pun digelar dan mengakibatkan isu sentimen antar agama pun kembali meluas, apalagi yang ada kaitannya soal kepemimpinan.
Kisah Pejabat Kristen yang Dipercaya Khalifah Abbasyiah
Padahal, jika kita melihat sejarah Islam awal, tepatnya saat dinasti Abbasyiah berkuasa (750-1258 M), kepemimpinan non-muslim merupakan hal yang lumrah adanya.
Mun’im Sirry mengutip buku karya Louis Cheiku Wuzara an-Nashraniyyah wa Kuttabuha fi al-Islam, mencatat ada 75 wazir (menteri) dan 300 sekretaris Kristen yang ada dalam kepemimpinan Islam awal.
Dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Mun’im Sirry menulis artikel berjudul The Public Role of Dhimmis During ‘Abbasid Times. Di sana, ia mengatakan bahwa tak hanya orang Kristen saja yang diangkat menjadi pejabat publik, tapi ada juga orang Yahudi dan Majusi.
Salah satu alasan pengangkatan mereka tak lain dan tak bukan adalah kepentingan pragmatis. Para khalifah butuh kemampuan dan kecakapan mereka.
Sepeninggal Rasulullah dan al-Khulafa ar-Rasyidun, karisma figur ketokohan tak lagi mampu memberikan pengaruh dan menyatukan para rakyat. Menyadari hal tersebut, Dinasti Umayyah (Dinasti yang memimpin umat Islam sebelum Abbsyiah) mencari-cari model kepemimpinan yang efektif untuk mengatur rakyatnya. Dipilihlah sistem kepemimpinan kerajaan.
Mun’im Sirry mengatakan bahwa pilihan ini merujuk pada sistem kerajaan yang sudah mapan yang diterapkan oleh imperium Sasanian, Persia, dan Bizantium. Pengangkatan pejabat-pejabat Kristen pada waktu itu disebabkan karena mereka sudah berpengalaman dengan sistem ini.
Saat kepemimpinan umat Islam diambilalih oleh Dinasti Abbasyiah dan menjadikan Baghdad sebagai pusat pemerintahannya, sistem kerajaan khas Sasanian, Bizantium, dan Persia ini masih dipertahankan. Bahkan salah satu khalifah mengangkat cendekiawan Persia bernama Nidham al-Mulk sebagai penasehatnya.
Salah satu khalifah Abbasyiah, al-Mu’tashim, bahkan mengangkat seorang Kristen berpengalaman untuk menduduki jabatan tertinggi kedua setelah khalifah (setara perdana menteri), yakni seorang yang bernama Fadhl bin Marwan bin Masarjis.
***
Dalam catatan Mun’im, Fadhl bin Marwan bahkan disebut-sebut lebih berkuasa dibandingkan Khalifah al-Mu’tashim sendiri.
Mun’im mengutip kitab Tarikh at-Thabari, menceritakan sebuah pertemuan antara al-Mu’tashim dengan teman dekatnya, Ibrahim al-Hafti, yang melontarkan pertanyaan unik, “Hey, apa benar kamu ini seorang khalifah? Sepertinya khalifah yang sebenarnya itu Fadhl bin Marwan!”.
Saat Abbsyiah dipimpin oleh al-Mu’tadhid, sang Khalifah bahkan secara gamblang menyatakan orang-orang Kristen lebih bisa dipercaya dibandingkan siapapun. Mun’im Sirry mencatat pernyataan sang Khalifah tersebut yang ditujukan kepada wazirnya, Ubaidullah bin Sulaiman.
“Jika kamu menjumpai orang Kristen yang punya keahlian dalam bidang yang dibutuhkan, angkatlah. Orang Kristen lebih bisa dipercaya ketimbang Yahudi karena Yahudi masih menginginkan kembalinya kekuasaan ke tangan mereka. Ia lebih baik dari muslim, karena sebagai sesama agama, orang Islam akan berusaha mengambilalih kekuasaan dari tanganmu. Ia juga lebih baik dari orang-orang Majusi, karena yang terakhir ini masih menggenggam kekuasaan”.
Dari sedikit gambaran yang kita ketahui dari kisah di atas, kita tau bahwa kepemimpinan non-muslim dalam dinasti Islam awal merupakan hal yang lumrah. Para khalifah lebih mengutamakan kemampuan seseorang ketimbang agama yang dianutnya. Karena kecakapan dalam memimpin lah sesuatu yang substansial dalam konteks administrasi kenegaraan, alih-alih agama yang dianutnya.
Artikel ini diproduksi atas kerjasama antara IBTimes dan INFID dalam program Kampanye Narasi Islam Moderat kepada Generasi Milenial.