Fondasi dari agama adalah iman/kepercayaan terhadap ajaran agamanya maupun apa yang disembahnya. Iman adalah percaya atau yakin terhadap apa yang dianut. Tidak sampai hakikat ketakwaan seorang hamba Allah hingga dirinya meyakini apa yang dijalaninya ketika beribadah kepada Allah.
Penjelasan di atas merupakan inti sari dari hadis yang diriwayatkan Abdullah Ibnu Umar yang didasarkan pada firman Alah Swt. yang menyatakan bahwa, ”Sesungguhnya, orang yang beriman kepada Allah itu adalah orang yang hatinya senantiasa ingat (berzikir) kepada Allah. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, bergetarlah hatinya dan bertambahlah keimanannya.”
Buku Ensiklopedi Iman (2016) karya Syekh Abdul Majid Az-Zandani mendefinisikan iman menurut istilah syara’ adalah iman yang kadang diartikan sebagai tashdiq (memercayai).
Penulis memberi kesimpulan bahwa iman adalah kepercayaan seseorang terhadap suatu hal atau suatu aliran, yang mengakar kuat dan cenderung menjadi doktrin bagi orang tersebut.
Jenis-jenis Aliran Kepercayaan
Aliran kepercayaan di dunia ini sangat beragam, berjumlah ratusan atau bahkan mungkin ribuan. Namun, secara garis besar terbagi menjadi tiga jenis, yaitu monoteisme, politeisme, dan ateisme.
Pada artikel kali ini, penulis akan mengupas tuntas mengenai pengaruh aliran informasi yang ada di media sosial terhadap kepercayaan yang dianut oleh masyarakat, khususnya pemuda Indonesia. Sebelum masuk lebih dalam, penulis akan mengupas mengenai kadar keimanan yang dapat tercemar melalui media internet yang kurang tepat.
Monoteisme adalah meyakini konsep Tuhan itu satu, sempurna, tak berubah, pencipta seluruh alam semesta, mewajibkan berbakti kepada Tuhan sebagai entitas yang tertinggi. Berdasarkan konsep monoteisme, Tuhan adalah Dzat yang berperan dalam penciptaan dan menguasai dunia serta layak disembah oleh semua ciptaan-Nya.
Sejarah mencatat, munculnya monoteisme pada tahun 440 SM, oleh Yesaya, ketika tragedi pembuangan atau diaspora kaum Yahudi (exile). Selanjutnya, keyakinan itu berangsur menyebar dan ditetapkan setelah kejadian pengasingan itu dan dihormati oleh segenap ciptaan.
Firaun, Orang Pertama Pemilik Keyakinan Monoteisme?
Namun, pendapat pakar meyakini bahwa Firaun (Pharaoh) yaitu Ikhnaton (Akhenaten) (1375-1358) sebagai yang pertama kali memiliki keyakinan secara monoteis.
Waktu itu, kerajaan Mesir (14 SM), mereka menganggap matahari sebagai penguasa tunggal. Namun, keyakinan tersebut tak bisa bertahan lama karena Pharaoh dan Akhenaten juga bukan termasuk orang yang religius. Sehingga, keyakinannya tidak bisa disebarkan secara luas. Perkembangan kepercayaan dimulai dari zaman purba hingga ke fase modern, dengan perkembangan yang beragam, berawal dari animisme, dinamisme, politeisme, dan akhir-akhir ini berkembang menjadi ateisme.
Agama monoteisme di dunia ini sangat banyak, mulai dari agama besar hingga agama kecil, dan monoteisme terbesar di dunia berasal dari agama samawi, yaitu Kristen dengan penganut 2,4 milyar, disusul dengan Islam 1,8 milyar di dunia ini.
Politeisme adalah kepercayaan penyembah banyak Tuhan/dewa, atau secara umum dikatakan sebagai penyembah makhluk-makhluk supranatural yang lebih dari satu, memiliki peran dan fungsi serta sifat masing-masing sebagai dewa.
Contoh dari agama aliran politeisme adalah Hindu yang memiliki banyak dewa dengan kuasa yang berbeda-beda. Tiga dewa utamanya yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa.
Dewa Brahma sebagai pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan Dewa Siwa sebagai penghancur. Tetapi, keunikan agama Hindu sebagai agama politeis yaitu kefleksibelan agamanya dan kebebasan untuk menyembah/memuji selain dari tiga dewa tersebut, seperti menyembah pohon, laut, danau, gunung atau yang lainnya, di mana hal ini sangat berbeda dengan prinsip monoteisme yang sangat menjunjung tinggi keesaan Tuhan.
Monoteisme Cenderung Kaku
Konsep monoteisme yang menyembah hanya satu Tuhan, dengan banyak peraturan, perintah dan larangan dan cenderung kaku dibanding politeis atau animisme/dinamisme, membuat munculnya suatu aliran kepercayaan terbaru, yakni ateisme yang akhir-akhir ini menyebar di kalangan masyarakat.
Aliran ateisme tersebut bisa disebut sebagai suatu paham dimana tidak percaya tentang eksistensi Tuhan, karena menganggap eksistensi Tuhan belum bisa dibuktikan secara empiris, baru asumsi atau keyakinan saja.
Paham ateisme mulai muncul pada abad 19 hingga ke 20 Masehi oleh tokoh filsuf. Semakin berkembang dengan pesat karena mobilitas informasi yang ada. Fenomena ateisme selalu mendapat penolakan dan reaksi negatif, baik sejak zaman kuno, pertengahan, hingga modern. Seperti sekarang pun, masih banyak yang kontra terhadap agama atau eksistensi Tuhan.
Menurut para ateis, paham agama menganut absurditas mengenai pewahyuan, karena setiap agama monoteis merasa agamanya yang paling benar. Kitab sucinya paling benar, bahkan di dalam agama itu terdapat aliran baru lagi karena berbeda penafsiran mengenai pewahyuan tersebut.
Hal ini yang sering menjadi argumen para ateis, bahwa apabila semua agama merasa Tuhan mereka yang paling berhak disembah dan surga neraka yang benar hanya ada di agama mereka, maka ada ribuan agama yang mengaku demikian. Karenanya, konsep kebenaran eksistensi Tuhan menjadi kabur.
Padahal, dalam berargumen kesimpulannya tidak diharuskan secara logis oleh premis-premisnya. Fakta bahwa orang berbeda pendapat atau mengemukakan klaim yang berbeda, bahkan saling berkontradiksi mengenai pewahyuan, tidak mengharuskan kesimpulan bahwa tidak ada pewahyuan.
Ateisme, Fase Terakhir
Ateisme berdasarkan perkembangan kepercayaan, termasuk dalam fase terakhir kepercayaan akhir-akhir ini, di mana banyak sekali umat beragama yang memutuskan untuk tidak memeluk agama dan menjadi ateis karena alasan-alasan tertentu. Namun, kebanyakan ateis tidak menampakkan diri dalam kehidupan bermasyarakat, karena takut di persekusi atau ditindak oleh umat beragama yang fanatik.
Oleh karena itu, para ateis terkadang bersembunyi di sosial media dan menyebarkan pahamnya di sosial media.
Contoh, instagram @ateisindonesia yang terang-terangan menyatakan sebagai forum ateisme di instagram. Adanya sosial media ateisme ini termasuk kampanye yang efektif apabila mereka ingin mencari teman seperjuangan, karena dengan membagikan argumen serta ajaran ateis yang diyakininya, seseorang terutama muslim yang lemah iman akan cenderung terbawa arus dan berpikir akan adanya eksistensi Tuhan.
Padahal, QS. Al-Ikhlas dengan jelas menerangkan keesaan Allah Swt. yang makna keseluruhan dari Al-Ikhlas adalah Allah adalah Esa dan tidak ada satu pun yang serupa dengan-Nya. Apabila seorang muslim taat, seharusnya lebih memfilter diri terhadap apa yang diterima dari sosial media, dan juga membentengi diri dengan keimanan dan ketakwaan. Bisa juga dengan selalu berdoa “Allahumma ya muqollibal quluub, tsabbit qolbi ‘alaa diiniik.” Yang artinya: “Ya Allah yang maha membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku dalam agamamu.”
Baik ateisme, politeisme, maupun monoteisme adalah ragam aliran kepercayaan. Semuanya sah-sah saja selama tidak memaksakan kehendak, dan sebaiknya para muslim tidak terhasut oleh aliran ateisme ini. Karena, dari data PEW research center, jumlah ateis di Timur Tengah pada tahun 2010 saja sudah berjumlah 2,1 juta orang. Naudzubillah min dzalik. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah agar selalu taat dan percaya akan ajaran-Nya.
Editor: Lely N