Perspektif

Libur Ramadan Bukan Libur Belajar!

4 Mins read

Setelah melempar wacana tentang libur Ramadan, akhirnya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan Surat Edaran Bersama (SEB) Nomor 2 Tahun 2025, Nomor 2 Tahun 2025, dan Nomor 400.1/320/SJ tentang Pembelajaran di bulan Ramadan Tahun 1446 Hijriah/2025 Masehi.

Pro kontra yang muncul terkait wacana ini wajar, karena memang belum ada konsep jelas yang disampaikan oleh pemerintah. Tampak dari SEB tersebut lebih banyak berbicara teknis dan bukan substantif. Pelaksanaan SEB ini diserahkan kepada pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi, dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota untuk menyusun dan menetapkan rencana pembelajaran selama bulan Ramadan.

SEB ini membutuhkan konsep yang lebih substantif dan implementatif. Secara teologis, belajar itu tidak ada istilah berhenti. Belajar itu dari buaian hingga liang lahat, kapanpun dan di manapun. Bisa jadi maksud pemerintah bukan libur dalam arti tidak ada kegiatan, tetapi proses pembelajaran yang disesuaikan. Belajar tidak harus melulu disekolahan. Dalam satu kesempatan mendiknas Abdul Mu’ti menyatakan bahwa tidak ada libur sekolah, yang ada adalah belajar selama Ramadan.

Tri Pusat Ki Hajar Dewantara: Rumah, Sekolah, dan Masyarakat

Ki Hajar Dewantara, bapak Pendidikan Indonesia pernah mengajukan konsep tri pusat pendidikan, yaitu rumah, sekolah, dan masyarakat. Konsep ini menekankan bahwa pendidikan bukan hanya soal skill atau keterampilan memperoleh pekerjaan dan mendapatkan uang. Pendidikan adalah mempersiapkan anak didik menjadi seorang pejuang yang memiliki karakter yang baik.

Dari trilogi tempat belajar inilah tampaknya dalam pelaksanaannya kurang proporsional. Lembaga pendidikan formal dituntut lebih banyak berperan dalam membangun karakter anak dibanding keluarga dan masyarakat. Banyak kasus sengketa antara guru dan wali murid mengesankan bahwa orang tua menyerahkan pendidikan anaknya pada lembaga pendidikan formal. Padahal penanaman karakter, adab sopan santun, religiusitas, dan kepekaan sosial tidak cukup hanya dengan teori di bangku sekolah.

Kesibukan kerja membuat interaksi anak dan orang tua sangat terbatas. Kualitas pertemuan anak dan orang tua sangat dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, pekerjaan yang membutuhkan durasi waktu yang lama, bahkan beberapa orang tua kerja lembur untuk menutupi kebutuhan hidupnya sehingga intensitas pertemuan menjadi sangat terbatas.

Baca Juga  Migrasi Jamaah Muhammadiyah: Pengajian Lemah, Jamaah Pindah

Kedua, literasi pendidikan orang tua tidak merata. Ada yang memang keluarga pendidik, agamis, juga ada yang sama sekali tidak mengerti pendidikan. Orang tua merasa tugasnya hanya mencari nafkah, sedang pendidikan adalah tugas guru. Padahal banyak siswa yang bermasalah di sekolah karena keluarganya juga bermasalah. Kurang perhatian dan kasih sayang di keluarga, sehingga mencari perhatian di sekolah.

Ketiga, terlena dengan media sosial. Semakin canggihnya media sosial  dengan berbagai fitur yang menarik sering menempatkan sebuah keluarga hanya tinggal bersama dalam satu atap tetapi tidak hidup bersama. Masing-masing individu alam keluarga hanya sibuk dengan gawainya masing-masing. Mereka tinggal bersama tetapi tidak hidup bersama sebagai sebuah keluarga yang sehat.

Pendidikan Keluarga adalah Dasar Pendidikan Anak

Pendidikan keluarga menjadi dasar pendidikan seorang anak terutama dalam nilai-nilai agama, bersikap dan berperilaku, budi pekerti, dan cara pandangnya terhadap segala sesuatu. Sehingga, kemampuan orang tua atau wali dalam membesarkan, mengasuh, dan mendidik anaknya sangatlah penting. Bukan hanya siswa yang harus dididik, namun juga para orang tua sebagai madrasah pertama dan utama anak.

Bahkan program 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, yaitu bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, tidur cepat hanya bisa dilaksanakan dalam pendidikan keluarga.

Faktor keempat yang tidak kalah penting adalah sikap masyarakat yang sangat permisif. Sikap permisif ini adalah penyakit sosial yang akut. Sikap yang cenderung egois, membiarkan semua hal negatif terjadi asalkan tidak terjadi pada diri dan keluarganya. Semua mencari aman, karena salah tegur bisa berurusan dengan yang berwajib.

Sangat penting mendekatkan kembali anak dan orang tua, menghidupkan kembali keluarga dan masyarakat yang sehat sebagai identitas bangsa. Mensinergikan antara peran keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Baca Juga  Kiat Jitu Menulis Karya Fiksi

Konsep-konsep moralitas, adab, etika, sopan santun tidak cukup hanya dihafalkan, namun juga harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konsep belajar di rumah dan masyarakat selama Ramadhan, nilai-nilai tersebut bisa dipertajam dalam kehidupan sehari-hari.

Anak-anak diajarkan dalam kehidupan nyata bagaimana menghormati perbedaan agama, menjaga kerukunan di lingkungan masyarakat, menghormati orang yang lebih tua, menghargai hak antar anggota masyarakat, membuang sampah pada tempatnya, membantu sesama tanpa pamrih, menjaga kebersihan lingkungan, tidak mengambil barang atau hal yang bukan miliknya.

Mereka juga diajari menyapa orang lain ketika berpapasan, hal kecil yang hari ini mulai hilang dari interaksi sosial kita karena hanya berfokus pada gawai dan headset ketika berjalan di lingkungan masyarakat. Menundukkan kepala ketika melintas di depan orang yang lebih tua, berbicara dengan sopan kepada orang lain, tidak memotong pembicaraan orang lain juga mulai hilang. Banyak orang tua yang mengeluh karena anaknya sering melawan jika diberi nasehat dan susah meminta maaf.

Hal-hal keseharian di atas hanya bisa diajarkan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Momentum Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk penyegaran ini. Meskipun momentum ini bertepatan dengan ibadah panjang umat Islam, pemerintah harus menyusun kerangka kerja pembelajaran selama Ramadhan yang melibatkan sekolah, keluarga dan masyarakat yang bisa dilaksanakan oleh semua agama meskipun momentumnya pas bulan ibadah umat Islam.

Pemerintah bisa merancang serangkaian kegiatan dengan fokus penguatan karakter kemanusiaan, kebangsaan, dan keagamaan.  Program bukan hanya bagi umat muslim, tetapi juga umat agama lainnya. Kampus bisa merancang proyek sosial sebagai implementasi merdeka belajar.

Problem Pendidikan adalah Problem Bersama

Problem pendidikan bukan hanya masalah umat Islam. Keringnya keluarga-keluarga dari nilai-nilai spiritual, adab sopan santun, dan kepekaan sosial adalah problem bersama.

Paling tidak selama momentum Ramadan akan mengajarkan dalam kehidupan sehari-hari adab sopan santun terhadap orang tua, keluarga, guru, masyarakat. Tempat-tempat ibadah akan ramai dengan anak-anak dan orang tua belajar agama. Anak-anak bisa belajar berinteraksi dengan masyarakat dalam program bakti sosial, guru, dan orang tua bisa menyelenggarakan family gathering untuk meningkatkan literasi pendidikan, memupuk keakraban dengan anjangsana dalam rangka monitoring belajar anak selama Ramadan.

Baca Juga  Kasus Suap: Rendahnya Kepekaan Politik Perempuan

Masing-masing umat beragama bisa meramaikan tempat ibadahnya. Meningkatkan spiritualitas dan pembangunan karakter. Toh adab sopan santun budaya ketimuran kita sama, hanya keyakinan dan ritual agamanya berbeda. Namun semua agama menginginkan umatnya memahami dan melaksanakan ajaran agamanya dengan baik.

Libur Ramadan, Bukan Libur Belajar

Sekali lagi, libur puasa bukan berarti libur belajar, tetapi belajar dengan cara yang berbeda dengan penekanan pada sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan di sekolah dengan baik, yaitu belajar di keluarga dan masyarakat.

Kebiasaan bermasyarakat adalah perilaku terlibat dalam kegiatan sosial, budaya, atau lingkungan di komunitas tempat tinggal seseorang. Kebiasaan ini bermanfaat untuk menumbuh-kembangkan nilai gotong royong, kerja sama, saling menghormati, toleransi, keadilan, dan kesetaraan, serta meningkatkan tanggung jawab terhadap lingkungan, dan rasa sekaligus menciptakan kegembiraan.

Sinergi tri pusat mengacu pada kerja sama yang erat antara tiga pilar utama dalam pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Konsep ini mengakui pentingnya peran masing-masing pilar dalam membentuk karakter, pengetahuan, dan keterampilan siswa.

Hubungan lembaga pendidikan dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu sarana yang sangat berperan dalam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi peserta didik di sekolah. Dalam hal ini sekolah merupakan bagian yang integral dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat.

Program belajar saat Ramadan ini membutuhkan  buku panduan yang jelas, target yang terukur dalam durasi waktu yang tersedia, mendudukkan peran sekolah, orang tua dan tokoh masyarakat. Dengan demikian, ada gambaran yang jelas apa yang harus dilakukan sekolah, orang tua, dan masyarakat selama Ramadan. Artinya, masyarakat Indonesia butuh konsep, bukan sekedar edaran teknis. Tugas pemerintah adalah memastikan SEB tersebut dilaksanakan dengan baik, bukan sekedar formalitas administratif belaka.

Editor: Soleh

Avatar
27 posts

About author
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung, dan Wakil Dekan 1 Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo
Articles
Related posts
Perspektif

Kartini Bukan Tentang Kebaya, Tapi Tentang Cara Kita Berpikir

2 Mins read
Di tengah riuh peringatan Hari Kartini setiap tahunnya, kita seringkali terjebak dalam perayaan yang bersifat seremonial. Kebaya, lomba fashion show, dan pidato-pidato…
Perspektif

Penjurusan SMA: Membuka Peluang Keteraturan dan Keberlanjutan Pendidikan

2 Mins read
Tahun ajaran baru 2025/2026 diproyeksikan sebagai titik awal sejumlah perubahan strategis dalam sistem pendidikan nasional. Di bawah komando Menteri Pendidikan Dasar dan…
Perspektif

KHGT: Menyatukan Umat dalam Bingkai Ilmu dan Waktu

3 Mins read
Dalam Risalah Islam Berkemajuan hasil Muktamar ke-48 Tahun 1443/2022 di Surakarta, ditegaskan bahwa risalah tersebut merupakan penguatan kembali terhadap gagasan dan gerakan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *