Salah satu humor Prof. Din Syamsuddin yang saya ingat ketika masih berstatus mahasiswa di Universitas Hasanuddin (Unhas) adalah saat Bang Din menjadi pembicara dalam acara dialog kebangsaan di Baruga Andi Pangeran Pettarani, Unhas, Makassar, Februari 2012.
Penyelenggara acara adalah Senat Mahasiswa Fakultas Teknik Unhas. Sebelum acara dimulai, para pembicara, tamu undangan dan hadirin mendengarkan lagu “we are the champion”. Lagu khas Queen ini semacam “lagu kebangsaan” mahasiswa teknik di kampus merah itu.
Mulailah Bang Din berbicara di hadapan ribuan mahasiswa. Yang membuat hadirin tertawa adalah saat Bang Din menengok spanduk acara yang berisi “tengkorak” yang merupakan logo teknik Unhas. Lalu Bang Din berkomentar kurang lebih begini: “Wah, unik juga nih logo teknik, tengkorak, supaya kita selalu mengingat kematian, hahaha!”
Begitulah sisi humor Bang Din. Sejuk dan penuh hikmah. Nah, kita melangkah lagi ke sisi seriusnya. Kalau kita membaca sepak terjang salah satu tokoh sentral Muhammadiyah itu, ada beberapa pelajaran yang menarik untuk dipetik, setidaknya ada lima pelajaran.
Din Syamsuddin adalah tokoh nasional yang telah malang melintang sebagai akademisi, birokrat, ulama, cendekiawan dan aktivis yang dikenal luas di dunia Internasional. Meski pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dari 2005 hingga 2015, tapi uniknya, Bang Din bersedia pula menjadi Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan (periode 2015-2020).
Pelajaran pertama, kalau mau serius dan tulus mengabdi, tak harus menunggu posisi elite di puncak hirarki organisasi sebagai ketua umum. Kalau pun telah menjabat sebagai ketua umum sebuah organisasi, tidak usah gengsi manakala diberi amanah untuk mengurus organisasi kemasyarakatan di level desa atau kelurahan. Yang penting bermanfaat bagi masyarakat.
Di Desa Pamangong – Kecamatan Lenangguar, Kabupaten Sumbawa, NTB, terdapat Pondok Pesantren (Ponpes) Internasional Dea Malela. Ponpes yang digagas oleh Din Syamsuddin itu dicita-citakan sebagai pusat pendidikan Islam bercita rasa modern untuk melahirkan kader-kader intelektual berkelas dunia.
***
Din Syamsuddin ingin menyiratkan pesan bahwa biarpun dari desa, kita dapat berkiprah membangun dan mencerahkan peradaban dunia. Tak mesti bangun pondok atau lembaga pendidikan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Dari desa pun kita bisa mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) unggul yang bervisi global. Itu pelajaran kedua.
Din Syamsuddin adalah Putra Sumbawa yang dibesarkan di lingkungan Nahdliyin. Pasalnya, semasa pelajar di Tanah Sumbawa, Bang Din adalah Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Cabang Sumbawa (1970-1972).
Menariknya, ketika menjadi aktivis mahasiswa di IAIN Jakarta (kini UIN Jakarta), Bang Din justru aktif di Muhammadiyah. Dari Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM, 1985), Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (1989-1993), hingga Ketua Umum PP Muhammadiyah (2005-2010 dan 2010-2015).
Bang Din sangat khas dan visioner. Pergulatan pemikiran dan pilihan gerakan yang penuh warna ikut mempengaruhinya menjadi pelintas mazhab pemikiran keagamaan dan politik. Bang Din piawai menghidupkan iklim yang bersifat dialogis dan akomodatif, jauh dari jebakan konfliktual yang kontra produktif.
Dalam ranah akademik, agama dan politik melekat pada pemikiran Bang Din. Hal ini tercermin pada disertasi beliau di Interdepartmental Programme in Islamic Studies – University of California, Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat, berjudul Religion and Politics in Islam: The Case of Muhammadiyah in Indonesian’s New Order (1991). Disertasi ini mengukuhkan reputasi akademik Bang Din sebagai pakar di bidang pemikiran politik sekaligus aktor gerakan.
***
Di kancah pemikiran dan gerakan, Muhammadiyah adalah salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia. Ormas berlogo matahari itu dikenal dengan tagline “Islam Berkemajuan”. Islam moderat menjadi ciri khas organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan itu, bersama Islam Nusantara ala NU tampil sebagai jangkar utama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pelajaran ketiga adalah tradisi dialog perlu dikembangkan untuk saling memahami watak pemikiran orang lain sehingga kesenjangan faksi-faksi berpikir dapat teratasi. Kalau ada polemik pemikiran, maka dialog intelektual dan pertukaran gagasan adalah jalan yang tepat, bukan saling berantam dan saling mencaci-maki. Adu otak, bukan adu otot.
Bang Din juga ikut mencairkan ketegangan nasionalisme dengan Islamisme. Itulah kenapa belakangan PDI Perjuangan yang identik sebagai kantong abangan dan nasionalis-sekuler akhirnya mendirikan Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), 2007. Hal ini tak lepas dari sentuhan Bang Din yang saat itu cukup intens berkomunikasi dengan Alm. Taufik Kiemas.
Pelajaran keempat adalah bahwa nalar keislaman dan kebangsaan itu sudah tuntas secara teologi dan politik, tak perlu dikontradiksikan lagi. Kaum nasionalis dan kelompok berbasis agama harus bersatu padu membangun bangsa dan negara tanpa sekat-sekat aliran.
Lebih dari itu, Bang Din melakukan “jihad konstitusi” dengan menggugat Undang-Undang (UU) yang tak memihak kepentingan nasional. Jihad Konstitusi Muhammadiyah berhasil memenangkan gugatan terhadap 4 UU di Mahkamah Konstitusi yang dinilai mengancam kepentingan nasional, yaitu UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, serta UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Di panggung global, Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional di FISIP UIN Ciputat ini dikenal aktif mengampanyekan perdamaian dan menggerakkan dialog-dialog agama dan kebudayaan. Bang Din pernah ditunjuk oleh Presiden Jokowi pada 23 Oktober 2017 sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban hingga mengundurkan diri pada 21 September 2018.
***
Konferensi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia untuk Islam Jalan Tengah (Wassatiyat Islam), World Peace Forum 100 tokoh dunia lintas agama dan profesi adalah acara monumental yang dipelopori oleh Bang Din. Bahkan Jokowi pernah meminta bantuan dari PP Muhammadiyah waktu kepemimpinan Din Syamsuddin untuk mengatasi kleptokrasi, oligarki dan mafia yang bercokol di tubuh pemerintahan.
Pelajaran kelima adalah tetap kritis, katakan hal-hal yang benar dan apa adanya bagi pemerintah. Bukan mengglorifikasi dan terjebak dalam fanatisme buta. Tentu saja dengan cara-cara yang santun, demokratis dan konstitusional sebagai bagian dari amar makruf nahi mungkar (menegakkan kebajikan, mencegah kejahatan).
Spirit amar makruf nahi mungkar itu semestinya menjadi panduan bagi kader muslim reformis Muhammadiyah yang aktif di partai politik, pemerintahan, parlemen, media massa, bisnis, lembaga riset dan aktivitas profesional lainnya. Sampaikan suara mereka dari arus bawah yang bernada getir.
Sesungguhnya ada banyak pelajaran yang dapat kita teladani dari Bang Din, lebih dari sekadar lima hal itu. Semoga Bang Din terus menyuarakan kepentingan rakyat tertindas, membantu pemerintah lewat kritikan yang konstruktif, menengahi beragam polarisasi, dan tetap menjadi figur inspiratif bagi kaum lintas agama di negeri ini.