Jika kemarin kami khilaf maafkan kami. Tapi jangan hukum Persyarikatan ini karena kesalahan kami
Sebenarnya hari ini saya telah menyelesaikan tulisan yang saya beri judul ’Tsunami Politik Menimpa Muhammadiyah’ yang menurut saya sangat bagus. Tulisan itu berbicara tentang prilaku dan ghirah politik warga Muhammadiyah pada saat Pilpres 2019–dan implikasi nya pasca Pilpres
Hampir semua tahu bahwa sebagian besar warga Muhammadiyah mendukung Prabowo-Sandi, pilihan yang didasar atas iman dan Islam, sebagai wujud nahi munkar. Siapapun yang berbeda, dianggap munafik dan kafir, Hizbullah dan Hizbus Syaithan. Ketika yang didukung berbalik mendukung lawan, gelombang politik pun berbalik arah meski saya tidak mengatakannya. Tapi karena saya menjaga suasana kebatinan warga Muhammadiyah, maka tulisan itu tidak jadi saya upload.
Sengaja pula saya memilih tema Buya Syafii Maarif. Sebab beliau adalah orang yang paling ‘menderita’ saat Pilpres karena kebetulan dianggap beda pilihan. Buya di-bully, direndahkan, dan berbagai sangkaan buruk lainnya di timpakan padanya oleh kader-kadernya sendiri. Tak sedikit fitnah bahkan perkataan tak patut beliau terima dengan lapang hati. Pilpres yang sangat melelahkan, mengubur keadaban, dan kesantunan terhadap orang tua.
Siang itu, usai Jumatan di masjid Nogotirto, terasa istimewa sekali bagi saya. Dua ulama besar di negeri ini bertemu, saling memeluk melepas rindu. Dua ulama sepuh Kiai Musthafa Bisri dari Rembang yang lebih dikenal Gus Mus berkunjung ke kediaman Prof. Dr. Syafii Maarif yang akrab dipanggil Buya Syafi’i. Datang tanpa pengawalan, ber-acara tanpa protokoler.
Tiada yang istimewa kecuali silaturahmi, adab, dan kerendahhatiannya. Saling mengunjungi di tengah kesibukkan yang padat. Gus Mus, usai takziah karibnya di Jogja, menyempatkan rawuh dan saalat Jumat di tempat di mana Buya Syafii tinggal.
Hikmah Yang Dapat Dipetik
Berbagai hikmah bisa kita ambil dari dua ulama bersahaja itu. Di tengah kelimun politik yang melahirkan disparitas di kalangan umat, keduanya tetap teguh ditengah. Meski berbagai caci dan maki harus beliau terima. Kedua ulama sepuh itu Ingin menempatkan agama pada posisi mulia. Tidak menjadikannya alat pemanis para jurkam untuk mendulang suara atau kemuliaan seseorang atau sekelompok yang mengaku paling membela agama dengan menafikkan yang lain.
Ini ujian terberatnya. Resiko ‘dilawan’ teman sendiri, diragukan imannya dan tuduhan-tuduhan lain yang keji karena beda pilihan dalam politik. Politik telah membuat sebagian kita gelap mata. Menganggap siapapun yang berbeda pilihan politik sebagai lawan yang harus enyah.
Buya hanya ingin memposisikan Muhammadiyah sebagai guru bangsa dan tenda besar yang merawat puluhan manhaj dan idelogi yang berserak, agar tidak bertengkar karena urusan kekuasaan. Politik hanyalah washilah bukan tujuan. Tapi ini jalan terjal dan butuh banyak martir. Buya salah satunya.
Tak ada salah dengan jihad politik. Tiada keliru tegakkan syariat Islam. Tak ada cela melawan ketidakadilan dan kemunkaran lainnya. Tapi akhlak karimah tiada duanya. Tak patut berkata kasar lagi keras. Apalagi dengan saudara sesama iman.
Di usia tuanya, Buya masih aktif menulis dan memastikan majalah dua mingguan Suara Muhammadiyah tetap terbit. Ia juga sebagai pengurus takmir masjid nogotirto samping rumahnya, ketua renovasi gedung Mu’allimin yang dia cintai, dan mengelola Maarif Institut, tempat para cendekiawan muda asuhannya mengasah ilmu. Inilah pesan moral dari orang tua di tengah kelimun para hedon dan uportunis. Buya seperti hendak mengatakan bahwa ber-Muhammadiyah itu bersahaja, tidak gumunan, dan tetap bisa beramal untuk Persarikatan tanpa mengenal usia. Tak tau mengapa saya ingin memeluknya erat dan menumpahkan semua keluh.
Salam ta’dzim. .. guru .. ..???
@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar