Terpampang jelas di pojok kanan atas sampul depannya kalimat, “Majalah Pelajar Muslim Terbaik se-Asia Tenggara”. Apakah sekadar gimik atau sungguh yang terbaik? Tentu pembaca yang mengenal Majalah Kuntum bisa menyimpulkan sendiri.
Hadirnya predikat terbaik se-Asia Tenggara itu tak lepas dari keberhasilan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang memenangi ajang ASEAN Ten Accomplished Youth Organizations (TAYO) Award – sebuah ajang organisasi kepemudaan- hingga tiga kali. IPM adalah organisasi yang menaungi majalah bulanan ini, dan Kuntum adalah salah satu produk dibawa sebagai kala meraih penghargaan itu.
Majalah Kuntum
Jika menilik jauh ke belakang, kemunculan Kuntum bisa dibilang satu generasi dengan kelahiran banyak majalah dan tabloid remaja beberapa dekade silam. Kuntum mulai terbit sejak 1976, kehadirannya berkat inisiasi kader-kader IPM di Yogyakarta dengan bantuan pengurus Muhammadiyah setempat. Dalam sebuah wawancara bersama Suara Muhammadiyah, Emha Ainun Nadjib yang kala muda aktif di IPM pernah mengungkapkan keterlibatannya dalam pendirian majalah pelajar ini.
Media cetak dalam format majalah sebagai representasi kelompok dan sub kultur tertentu memang marak berkembang di era 70-an. Majalah Hai yang bisa dibilang menjadi representasi remaja urban perkotaan edisi pertamanya terbit di tahun 1977. Untuk kategori remaja perempuan, Majalah Gadis bahkan mulai beredar 1973 meski akhirnya baru mendapat Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dari Menteri Penerangan pada 1986.
Barangkali kala itu kehadiran majalah remaja yang menjadi representasi dakwah di kalangan Muhammadiyah dirasa perlu untuk mengimbangi perkembangan media remaja populer lainnya. Tentu lika-liku banyak dialami saat awal pendiriannya, sempat berhenti terbit beberapa saat hingga akhirnya mulai dibantu legalitasnya oleh Pimpinan Pusat IPM. Barulah pada 1988 Kuntum secara resmi diakui dan mendapat izin distribusi secara luas melalui izin STT No.1309/SK/DITJEN PPG/STT/1988 Tanggal 28 Maret 1988 ISSN 0215 – 8973.
Mengenai penamaan, Kuntum sendiri diambil kata pertama dalam ayat Alquran surah Ali-Imron 110. Konteks lengkap ayat tersebut bermakna, “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.”
Namun ada pula versi lain yang pernah saya dengar bahwa Kuntum adalah akronim dari “Kawan Untuk Maju”. Versi ini saya ketahui dari obrolan bersama beberapa kru senior majalah ini beberapa waktu silam. Manapun versi yang sebenarnya mengilhami penamaan majalah ini, hemat saya dua keduanya menunjukkan upaya untuk membangun sebuah media yang bernuansa positif bagi kalangan muda.
Sejarah Panjang dan Tantangan Terkini
Ada hal menarik ketika membicarakan nama Kuntum di kalangan remaja Muhammadiyah belakangan. Alih-alih dekat dengan remaja saat ini, Kuntum justru lebih tertanam di benak banyak orang-orang dengan usia yang sudah tua.
Beberapa kali mendapat kesempatan berbincang dengan aktivis Muhammadiyah yang sudah berumur, mereka justru langsung nyambung ketika membicarakan Kuntum. Ini bukti bahwa Kuntum pernah besar dan menjadi rujukan penting remaja di kalangan Muhammadiyah pada masa kejayaannya.
Pernah suatu ketika berbincang dengan seorang wartawan media cetak kala liputan di lapangan dan dengan riangnya dia merespon ketika saya memperkenalkan diri dari Kuntum, “Wah masih terbit ya! Dulu saya sering baca saat masih SMA,” katanya. Sebuah ungkapan yang menyejukkan hati saya.
Faktor yang mungkin menyebabkan hal itu adalah sosok-sosok menarik yang pernah mewarnai perjalanan Kuntum. Baik sebagai awak maupun kontributor di media ini. Selain Emha Ainun Nadjib, ada Adil Amrullah (Adik Emha) yang juga aktif di pendirian Kuntum. Masih ada sejumlah nama lain seperti Buldanul Khuri (Tokoh Perbukuan di Yogya), Prof. Lincolin Arsyad, hingga nama-nama akademisi seperti Dr. Khoirudin Bashari dan Dr. Ridho Al-Hamdi yang juga pernah mencicipi pengalaman bersama majalah yang berkantor di Jalan S.Parman, Wirobrajan ini. Tentu itu hanya sebagian dari sosok-sosok yang dikenal luas di kalangan Muhammadiyah maupun umum dan pernah berproses di Kuntum yang saya ketahui.
Kini kondisi Kuntum tak jauh berbeda dengan sejumlah media cetak lain yang masuk ke masa senjanya. Peralihan ke media digital serta tren pembaca di kalangan remaja yang berubah menjadi hal yang tak bisa dihindari. Oplah yang dulunya pernah lebih dari sepuluh ribu eksemplar perlahan surut. Turun ke enam ribu, lima ribu, dan terakhir yang saya ketahui berkisar di angka empat ribu setiap bulannya.
Perbaikan yang Perlu Diupayakan
Kala Majalah Hai, Gadis, dan sejumlah media cetak lain gulung tikar atau memilih pindah lini bisnis ke versi digital, Kuntum masih bisa terbit setiap bulan. Dengan nafas pendek dan tak bisa berlari kencang. Tanpa diversifikasi lini bisnis, aspek yang menunjang eksistensi Kuntum di umurnya yang sudah lewat dari 40 tahun ini adalah jejaring komunitas yang bisa diandalkan. Sebagaimana media-media cetak lain di kalangan organisasi yang juga bertahan salah satunya berkat solidaritas jaringan.
Namun, sebagai sebuah bisnis media, tak bisa mengandalkan solidaritas semata. Perbaikan dari sisi konten agar tetap aktual sesuai minat remaja terus diupayakan. Di sisi lain, pengembangan format media ke arah digital juga sedang dijalankan, meski dengan segala keterbatasan. Dari segi sumber daya manusia maupun dana.
Kuntum adalah saksi sejarah perjalanan dinamika remaja, terkhusus di kalangan Muhammadiyah. Sejarah yang sayang jika hilang begitu saja. Semoga menemukan jalan terbaiknya.
Editor: Nabhan