Ustadz dan Khotib: Nasib Mereka di Saat Lockdown
Penyebaran COVID-19 di Indonesia terjadi begitu cepat dan luas. Berawal dari 2 kasus positif, bertambah pesat tiap harinya mencapai ratusan bahkan ribuan kasus.
Menurut data yang bersumber dari Kementerian Kesehatan, Indonesia mengonfirmasi kasus positif COVID-19 pertama pada tanggal 2 Maret 2020 yaitu sebanyak 2 kasus. Lalu di akhir Maret, yaitu pada tanggal 31 Maret, kasus positif mencapai 1.528.
Kemudian di awal April, mencapai 1.677 kasus. Selang 9 hari, yaitu pada tanggal 9 April mencapai angka 3.293 kasus dan selang 3 hari, kasus positif mencapai 4.241 kasus pada tanggal 12 April. Dan yang terbaru, yaitu per Minggu, 19 April 2020, kasus positif mencapai 6.575 kasus.
Melihat tingginya penambahan kasus positif corona yang terjadi setiap harinya, membuat pemerintah pun membuat beberapa kebijakan guna mengurangi kontak fisik serta risiko penularan COVID-19 di Indonesia.
Kebijakan tersebut mulai dari bekerja, belajar dan beribadah di rumah, anjuran untuk tidak mudik, memakai masker selama di luar rumah, hingga pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Kebijakan tersebut membuat sejumlah kegiatan dibatasi, seperti pembatasan sekolah, bekerja di kantor, aktivitas keagamaan, fasilitas umum, sosial budaya, transportasi umum serta pertahanan dan keamanan.
Namun dari ketujuh pembatasan tersebut, pembatasan aktivitas keagamaan yang salah satunya mengimbau agar masjid ditutup, menimbulkan adanya berbagai pro-kontra di kalangan masyarakat.
Ada yang menganggap bahwa penutupan masjid adalah hal yang sangat tidak pantas, lantaran masjid adalah tempat yang digunakan masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. di saat musibah melanda, bahkan tempat berkumpul lain seperti mal pun tak ditutup.
Namun adapula yang menganggap bahwa penutupan masjid ini adalah hal yang tepat lantaran masjid merupakan salah satu titik kumpul banyak orang dari berbagai daerah, yang mana memungkinkan menjadi tempat penularan virus corona.
***
Penutupan masjid ini juga seiring dengan dikeluarkannya fatwa MUI yang mengimbau agar umat muslim untuk sementara mengganti salat Jum’at menjadi salat Dzuhur berjamaah bersama keluarga di rumah, melaksanakan salat wajib, Tarawih, Ied dan salat sunnah lainnya dirumah, serta haram untuk menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.
Pembatasan kegiatan di masjid ini berdampak pada hilangnya pekerjaan serta penurunan pendapatan bagi sebagian ustadz dan khotib yang mendapat penghasilan dari ceramah yang mereka lakukan.
Meskipun pada biasanya profesi ustadz dan khotib merupakan profesi sampingan, namun tak sedikit pula ustadz dan khotib yang menjadikan profesi tersebut sebagai profesi utamanya.
Bagi ustadz dan khotib yang mempunyai profesi lain mungkin masih bisa mendapat penghasilan dari profesi utamanya tersebut. Namun, bagi ustadz dan khotib yang menjadikan profesinya tersebut menjadi profesi utama, maka akan mengalami kesulitan keuangan.
Karena dengan adanya penutupan masjid ini, maka pengajian ditiadakan, salat Jum’at pun untuk sementara diganti dengan salat Dzuhur berjamaah di rumah. Sehingga jadwal ceramah mereka pun berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali.
Terlebih sebentar lagi Ramadhan, di mana biasanya momen tersebut adalah momen para ustadz dan khotib kebanjiran job, namun adanya wabah corona ini justru membuat mereka kesepian job.
Karena pemerintah mengimbau agar masyarakat melakukan ibadah sholat tarawih dan ibadah lainnya di rumah masing-masing selama bulan suci Ramadhan.
Sadar dengan hal tersebut, dilansir dari detik.com, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) KH Abdul Manan mengimbau kepada para pengurus masjid untuk memberikan sebagian dana kepada khotib dan ustadz.
Dana tersebut bisa diambil dari dana kotak amal, infaq dan sadaqah yang diberikan oleh jamaah, dan tentunya hal tersebut juga perlu dibicarakan kepada jamaah.
Selain itu Abdul Manan menjelaskan pembagian dana amal tersebut bisa dilakukan berdasarkan jadwal khotib yang telah tercatat. Dengan begitu, khotib dan ustadz bisa mendapat penghasilannya kembali.
***
Namun, imbauan pemberian dana untuk ustadz dan khotib ini belum sepenuhnya berjalan dengan baik, lantaran masjid pun mengalami penurunan pendapatan amal karena jarangnya warga yang berkunjung untuk beribadah di masjid.
Dengan demikian, peran pemerintah pun sangat diperlukan untuk mempertahankan kesejahteraan para ustadz dan khotib ini.
Karena penurunan pendapatan tidak hanya dirasakan oleh karyawan yang di-PHK, pedagang kecil, tukang ojek serta pekerja informal lainnya, akan tetapi penurunan pendapatan akibat COVID-19 ini juga berimbas kepada ustadz dan khotib.
Untuk itu, pemerintah diharapkan memberi bantuan berupa dana maupun sembako kepada para ustadz dan khotib yang kehilangan pekerjaannya selama masjid ditutup.
Kita sebagai sesama manusia pun dapat membantu dengan memberi sedekah kepada mereka, agar di Ramadhan nanti kita bisa sama-sama menjalankan ibadah dengan khusyuk dan nyaman.