“Sepuluh,” jawabnya mantap ketika saya tanya, dalam skala 1-10, berapa tingkat toleransi di UIII.
Ia adalah penganut agama Kristen Katolik yang kuliah di kampus Islam, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Ia memang berasal dari negara dengan penduduk mayoritas Katolik: Timur Leste.
Namanya Manuel Jeronimo Freitas. Nama yang agak sulit dieja oleh orang Indonesia. Manuel berasal dari Dili, ibukota Timur Leste. Tahun lalu, ia mendaftar program master di UIII. Program studinya political science, di bawah Faculty of Social Science. Meskipun dari Timur Leste, ia tampak fasih ketika bicara soal politik Indonesia. Termasuk soal 2024. Berkali-kali kami berbincang soal itu.
Sore itu, kami tengah berbincang-bincang banyak hal di lobi apartemen mahasiswa putra. Mayoritas mahasiswa UIII tinggal di sini dengan biaya yang relatif murah. Lingkungan inilah yang menjadi melting pot –kawah candradimuka– bagi banyak mahasiswa dari negara dan agama yang beragam. Ia sudah tinggal di sini selama 15 bulan. Cukup bagi Manuel untuk belajar Bahasa Indonesia. Kini ia sudah begitu fasih. Rupanya, mayoritas orang Timur Leste memang poliglot. Anak-anak di sana bisa menguasai sampai lima bahasa atau lebih, termasuk Manuel. Dan itu biasa terjadi.
Manuel merasa, UIII adalah kampus yang sangat toleran. Makanya ia kasih nilai 10 dalam skala 1-10. Itu artinya sempurna.
“Bukankah kalau 10 berarti tidak ada ruang untuk penyempurnaan?” tanya saya.
“Apalagi yang perlu ditingkatkan? Sudah sangat bagus sekali,” jawabnya dengan Bahasa Indonesia yang cukup lancar.
Kendati tinggal di kampus Islam, apalagi di apartemen mahasiswa yang dihuni oleh mayoritas muslim, ia sama sekali tidak merasa hidup sebagai minoritas. Semua sama dan setara. Kekeluargaan yang terjalin begitu hangat. Benar-benar tidak ada pembeda antara Muslim, Kristen, Katolik, dan lain-lain.
Di Ramadan tahun lalu, ia ikut buka bersama. Tentu ia tidak puasa. Tapi ikut makan buka bareng-bareng. Acaranya diadakan oleh kampus. Ia cukup terkesan. Ia merasakan suasana kehangatan Ramadan dan tentu ikut menikmatinya. Setelah lebaran, Manuel mendapatkan parsel. Berisi sembako. Lumayan, bisa untuk menambah persediaan bahan untuk masak.
Ramadan di Indonesia dan Timur Leste berbeda. Di Indonesia, Ramadan begitu meriah. Masjid-masjid dihias. Makanan di malam hari melimpah. Semua ikut senang. Semua ikut gembira. Sementara, di Timur Leste, karena Islam menjadi agama minoritas, Ramadan tidak terlalu meriah. Persediaan makanan juga seperti biasa. Hanya diperingati dengan libur satu hari di Idulfitri.
Kampus yang baru beroperasi tiga tahun lalu ini, bagi Manuel, menunjukkan komitmen toleransi dan inklusivitas yang kuat. Ini pula yang menjadi salah satu alasannya memilih UIII. Kampus menyediakan beasiswa bagi mahasiswa dengan latar belakang yang beragam, tanpa memandang agama, suku, dan nasionalisme. Hal ini cukup bagi Manuel untuk memantapkan hati melanjutkan pendidikan di Depok.
Ada satu mata kuliah yang memikat hati Manuel. Yaitu mata kuliah Wasatiyya in Globalizing World. Mata kuliah ini menjadi obligatory course, sehingga seluruh mahasiswa dari semua fakultas wajib mengambilnya.
Menurutnya, mata kuliah ini bagus sekali. Ia bisa belajar agama Islam dalam bentuknya yang moderat, ramah, toleran, dan inklusif. Ia pun bisa membandingkan nilai-nilai moderasi yang ada dalam agama Islam, Katolik, termasuk agama-agama lain.
“Sangat penting. Biar kita mengenal agama Islam yang benar. Tidak masalah jika seluruh mahasiswa, kendati berbeda agama, diwajibkan untuk mengambilnya,” ujar Manuel.
Tahun lalu ada forum kecil-kecilan antar mahasiswa UIII dari berbagai agama. Seluruh mahasiswa non-muslim, ditambah beberapa muslim, berkumpul. Saat itu ada kurang lebih 20 orang, termasuk Manuel. Sambil makan-makan, mereka saling sharing tentang kehidupan keberagamaan masing-masing yang kesannya positif. Seluruh mahasiswa yang hadir meyakini bahwa tak ada masalah toleransi apapun di kampus ini.
Perempuan dan Kebebasan Ruang Publik
Di kampus tersebut tidak ada paksaan sama sekali soal agama. Ia biasa menjumpai perempuan, entah muslim atau non muslim, yang tidak berjilbab. Di UIII memang tidak ada aturan tentang pakaian, terutama untuk perempuan.
“Saya punya kebebasan untuk berpakaian seperti apapun. Tidak ada orang yang mendiskusikan dan memberi stigma terhadap pilihan agamamu. Kemanusiaan dijunjung tinggi,” ujar Zainab Manzoor, seorang mahasiswi berkebangsaan Pakistan.
Ia bebas berpakaian tanpa takut stigma. Yang dihargai di kampus ini adalah kemerdekaan berpikir yang meniscayakan penghormatan terhadap pendapat orang lain.
Kampus berusaha untuk menyamakan perempuan dan laki-laki. Menjaga hak semua agar tetap sama dan setara. Mereka punya hak yang sama dalam mengakses sumber-sumber pengetahuan, kesempatan, dan fasilitas.
“Soal keamanan, kami sangat aman. Kami bisa ke mana saja tanpa takut apapun. Tidak ada kesulitan menjadi perempuan di kampus ini. Semua saling menghormati.”
UIII merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). Statusnya tercantum dalam Perpres 109 tahun 2020 tentang percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional Nomor 201 Sektor Pendidikan.
Kampus tersebut baru mulai beroperasi tahun 2020. Dibangun di atas lahan seluas 142 hektare. Menjadi perguruan tinggi berstandar internasional dan diharapkan menjadi model pendidikan tinggi Islam terkemuka di dunia.
Kampus tersebut diharapkan mampu menjadikan Indonesia sebagai pusat peradaban Islam yang moderat. Gagasan ini tentu tidak berlebihan. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia. Sekaligus menjadi negara yang relatif berhasil mengawinkan proses demokratisasi dengan nilai-nilai keislaman.
*)Konten ini merupakan hasil kerjasama IBTimes dengan Kementerian Agama Republik Indonesia