Tafsir

Manusia Unggul menurut Al-Qur’an

4 Mins read

Oleh: Imam Shamsi Ali*

Manusia itu makhluk ajaib. Makhluk yang sulit ditebak dan dipastikan. Makhluk yang kerap membingunkan. Sehingga seorang penulis terkenal menuliskan manusia sebagai “the unknown” (makhluk tak dikenal).

Di satu sisi, manusia adalah makhluk penuh potensi. Peciptaanya tersempurna (ahsanu taqwiim). Potensi terbesarnya adalah fitrah (fitratallah) yang disempurnakan oleh kemampuan berpikir (allama Aadam).

Dengan fitrahnya, manusia memiliki protensi menjadi makhluk terbaik dan mulia. Bahkan lebih mulia dari para malaikat. Dengan akalnya , bisa menundukkan alam semesta (taskhiir).

Akan tetapi di sisi lain, manusia memiliki pintu-pintu kelemahan (dhu’f) yang rentang menjadikannya terjatuh ke dalam lembah kehinaan yang terendah (asfala saafiliin). Manusia dengan kelemahannya,  bisa menjadi hewani. Bahkan lebih buruk dari hewan (kal-an’aam bal hum adholl).

Pintu kelemahan manusia ada pada dua kemungkinan. Pintu hawa nafsu yang kerap menjebaknya ke dalam lobang kehinaan dan pintu dunia yang memiliki daya tipu yang luar biasa. Di kedua kemungkinan lobang itu, manusia sering terjatuh ke lomba kehinaannya.

Di sinilah, kemudian dengan kasih sayangnya, Allah mengutus para nabi dan menurunkan tuntunannya sebagai petunjuk dan pengingat (dzikra) dalam menjaga kemurnian fitrah manusia.

Al-Qur’an adalah kekuatan yang dahsyat. Dengan Al-Qur’an, manusia bisa menghadapi (merajut) gejolak nafsunya di satu sisi. Dan dengannya, manusia akan mampu menghadapi tipu daya dunia yang keras. Secara global, pusat perhatian Al-Qur’an itu ada pada tiga hal; Allah, manusia, dan sistem hidup.

Sistem hidup itulah yang belakangan dikenal dengan Syariah atau aturan-aturan yang mengatur antara manusia dengan Tuhan di satu sisi. Dan antara manusia dengan sesama manusia, masyarakat, dan alam sekitarnya sisi lain.

SDM atau manusia unggul dalam Al-Quran

Terhadap manusia, Al-Qur’an memberikan perhatian khusus dan sistematis. Pesan-pesan terpenting dari Al-Quran untuk manusia adalah untuk menjadikan manusia sebagai manusia unggulan. Manusia yang memiliki nilai dan tanggung jawab. Baik secara vertikal maupun secara horizontal.

Baca Juga  "Anak-Anak Yatim" Sering Dilupakan dalam Diskusi Poligami

Lalu apa saja Kriteria manusia atau SDM unggulan menurut Al-Qur’an?

Pertama, SDM unggulan menurut Al-Qur’an adalah manusia yang berwawasan iqra’.

Manusia iqra’ adalah manusia yang secara terus menerus mampu mengembangkan pemikiran dan wawasan untuk tujuan memahami rahasia ciptaan Allah (khalq). Tapi lebih jauh, mampu menembus batas-batas material ciptaan ke alas samawi mengenal penciptanya.

Dengan kemampuan iqra-nya, manusia akan mampu mengenal alam kenyataannya (dunia) dan sekaligus alam gaibnya (ukhrawi). Manusia sepeti inilah yang dapat menjalani hidup dengan penuh makna dan secara bertanggung jawab.

Kedua, Manusia atau SDM unggulan dalam pandangan Al-Quran bercirikan “ulul albab”.

Manusia ulul albab adalah manusia yang mampu mengombinasikan antara ketajaman hati dan kecermelangan akal. Manusia yang solid secara zikir dan tajam secara akal.

SDM unggulan seperti ini, digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut: “Yaitu mereka yang mengingat Allah (dzikir) dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring (di setiap saat dan keadaan). Dan mereka yang berpikir tentang penciptaan langit dan bumi”.

Kedua kekuatan yang dahsyat ini, jika menyatu dalam hidup manusia, mejadikan manusia yang bersangkutan mampu menaklukkan (taskhiir) alam sekitarnya secara sempurna.

Penaklukkan yang sempurna artinya mampu mengeksplorasi sumber-sumber kehidupan secara maksimal. Tapi tidak harus kehilangan fondasi fitrah kemanusiaannya.

Maka, manusia ulul albab adalah manusia pintar yang bermoral. Manusia yang cendekiawan tapi sekaligus solid dalam pijakan spiritual.

Manusia seperti ini akan menjadi langka. Karena di saat dunianya maju, kerap manusia kehilangan spiritualnya. Tapi manusia ulul albaab akan tegar dengan fitrah dan kemanusiaannya.

Ketiga, SDM atau manusia unggulan dalam Al-Qur’an bercirikan kesalehan.

Yaitu manusia yang dalam hidupnya selalu menghadirkan nilai-nilai keselahan (kebajikan). Kapan, di mana dan dalam keadaan bagaimanapun dia akan selalu menghadirkan kemaslahatan (bukan kemudaratan) bagi dirinya dan orang lain.

Baca Juga  Dakwah Nabi Nuh (2): Banjir Besar dan Tenggelamnya Anak-Istri Nabi Nuh

Karenanya, kata iman dalam Al-Qur’an pada umumnya digandengkan dengan “amal saleh”. Bahkan ketika kata iman itu tidak digandengkan dengan kata amal saleh sekalipun, dipahami secara makna bahwa iman itu pastinya mengandung amal saleh. Iman tanpa kesalehan, patut dipertanyakan.

Yang perlu dipahami kemudian adalah bahwa dalam Al-Qur’an, kesalehan dalam arti kebajikan,  diekspresikan dengan ragam kata. Setiap kata itu memaknai nilai dari kesalehan itu sendiri.

– Thoyyib. Yaitu ungkapan kesalehan yang lebih berkonotasi fisikal/material.

– Khaer. Ketika kebaikan atau kesalehan mencakup fisik sekaligus karakter, termasuk kesalehan mentalitas.

– Ma’ruf. Yaitu ketika kesalehan telah tertransformasi ke dalam prilaku yang membudaya. Artinya,  kebaikan itu telah menjadi kultur yang tak terpisahkan dari karakter manusia.

– Ihsan. Ketika karakter atau budaya kebaikan tadi terbangun karena kesadaran hati (lillahi).

– Saleh. Yaitu karakter kesalehan atau kebajikan yang mencakup semuanya.

Maka, SDM atau manusia saleh yang diunggulkan Al-Qur’an adalah manusia yang memiliki karakter kesalehan atau kebajikan yang menyeluruh.

Keempat, SDM atau manusia unggul menurut Al-Qur’an itu harus menjadi agen perubahan.

Saleh atau memiliki karakter kebaikan secara totalitàs memiliki konotasi keterbatasan pada diri sendiri. Artinya seseorang itu baik secara pribadi.

Akan tetapi, dalam pandangan Al-Qur’an, kesalehan pribadi tidak dinilai sebagai kebaikan tertinggi. Justru Al-Qur’an melangkah lebih jauh lagi. Bahwa manusia yang unggul harus mampu mentransfer kebaikan itu pada lingkungan sekitarnya.

Maka, karakter kesalehan harus dipacu menjadi karakter “muslih”. Yaitu kepedulian kepada lingkungan sekitar. Inilah yang kita kenal dengan SDM atau manusia ungggul yang menjadi agen perubahan (agent of change).

Kelima, SDM atau manusia unggul dalam pandangan Al-Qur’an adalah manusia yang memiliki wawasan global (global mind-set).

Agama Islam itu adalah agama global. Agama yang tidak dibatasi oleh dinding (barriers) manusia. Tidak oleh batas negara, ras, dan etnis. Bahkan tidak juga oleh warna kulit dan status dunia lainnya.

Baca Juga  Beribadah 500 Tahun, tapi Masuk Neraka

Karenanya, SDM atau manusia unggulan seharusnya memiliki tabiat agama itu. Yaitu, tabiat dan wawasan global yang tidak dibatasi oleh sempitnya dinding-dinding kemanusiaan itu.

Dengan global-mindset manusia unggul ini akan mampu mengambil partisipasi dalam mewarnai dunia yang memang berkarakter gobal saat ini.

Bahkan dengan karakter dan mindset global tersebut, SDM unggulan itu akan berada di garda terdepan memegang kendali  kepemimpinan dunia global, menuju kepada dunia yang lebih baik. Dunia yang makmur, sejahtera, berkeadilan, damai, dan diridai Sang Pencipta alam semesta.

Dengan SDM-SDM unggulan itulah pada akhirnya akan membentuk sebuah masyarakat unggulan. Masyarakat yang bercirikan peradaban tinggi yang lebih dikenal dengan masyarakat madani. Lalu apa diri masyarakat madani menurut Al-Quran?

Makassar City, 3 Januari 2020

* Presiden Nusantara Foundaiton/Pendiri Pesantren Nur Inka Nusantara Madani.

Editor: Yahya FR
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds