Oleh: Heru Prasetia*
Naik Haji atau pergi beribadah hajii ke tanah suci Mekah adalah impian hampir semua orang Islam yang berakal sehat. Ribuan orang setiap tahun meriung di situs suci paling kuno dalam kepercayaan islam itu. Selama lebih dari sebulan, tanah haram menampung jutaan manusia. Ini terjadi setiap tahun. Terang saja, ibadah haji adalah salah satu rukun yang wajib dijalani. Jika mampu. Soal kamampuan ini jumlah jamaah haji dari Indonesia menunjukkan semakin mampunya umat islam indonesia. Jumlahnya meningkat melulu dari tahun ke tahun hingga kuotanya selalu penuh dan antrian menjadikannuya bagaikan ular.
Beberapa waktu lalu, ada kabar yang seharusnya bisa membuat risau semua umat islam di sekujur bumi. Ini bukan kabar baru sebenarnya. Tapi pasti akan lebih terasa relevan bila sudah menyangkut jantung ibadah suci. Para jamaah haji akan menghadapi situasi ekstrem yang bisa membuat nyawa melayang.
Resiko Haji Ke Depan
Dalam sebuah paper hasil penelitian yang dimuat di jurnal Geophysical Review Letters, sejumlah peneliti MIT memaparkan temuan baru mereka yang menunjukkan resiko-resiko yang akan dihadapi para jamaah haji dalam beberapa waktu yang akan datang. Mulai tahun depan, 2020, musim panas di Saudi akan melewati ambang batas yakni ketika peningkatan suhu berkombinasi dengan level kelembaban udara sampai keringat tubuh tidak bisa mengalami evaporasi yang pas sehingga tubuh manusia tidak bisa lagi mendinginkan atau memanaskan diri dengan baik.
Para jamaah haji akan mengalami kepanasan dan berakibat fatal. Bahaya ini makin serius ketika haji berlangsung pada musim panas pada tahun 2047 hingga 2052 serta dari 2079 hingga 2086. Para peneliti ini memperkirakan bahwa level panas dan kelembaban selama musim haji akan meningkat 6% pada tahun 2020, 20% dari tahun 2045 – 2053, dan 42% dari 2079 hingga tahun 2086.
Ancaman itu akan tetap muncul meski sudah ada sejumlah tindakan signifikan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Apalagi jika segala sesuatunya berjalan seperti biasa. Sebuah simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa baik dengan penanganan khusus maupun tanpa tindakan apapun akan sama-sama berisiko tinggi.
Tentu saja jika semua berjalan apa adanya tanpa tindakan apapun, situasi yang akan terjadi akan semakin ekstrem. Sinyal mengenai bahaya cuaca ekstrem dalam ibadah haji ini sejatinya pernah muncul pada tahun 1990 dan 2015 di mana ratusan jamaah gugur karena cuaca ekstrem.
Kita semua tahu, perubahan iklim adalah nyata. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2018 telah mengeluarkan laporan bahwa ulah manusia mengakibatkan peningkatan suhu global telah mencapai satu derajat Celcius pada 2017 dan terus naik 0,2 derajat Celcius setiap tahun. Pemanasan ini akan bakal melewati batas 1,5 derajat Celcius sekitar 2040.
Jika demikian kenyataannya maka tidak ada pilihan lain kecuali melakukan tindakan-tindakan ekstra untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Peta jalan dan desakan untuk serius menghadapi perubahan iklim ini sudah disuarakan banyak orang. Dewasa ini gerakan dalam isu perubahan iklim sudah menjadi isu global. Ribuan orang menuntut para pimpinan dunia untuk melakukan aksi kongkret menghadapi perubahan iklim.
Tapi apa yang kita lihat saat ini? Segala sesuatunya berjalan seperti biasa tanpa terjadi apa-apa. Orang-orang bertikai saling berebut pengaruh dan kuasa seperti tidak sadar jika ada ancaman yang lebih besar yang sama-sama buruknya bagi mereka yang tengah bertikai. Mirip seperti ketika para ningrat dalam Game of Thrones saling tengkar sementara ancaman yang mengerikan bagi mereka semua sedang datang dari utara tembok besar.
Demikian juga tentang perubahan iklim ini. Umat manusia, termasuk umat Islam, sibuk bertikai mengenai hal-hal sepele, memperdebatkan ini dan itu dari hari ke hari, sejak dulu hingga kini, sementara ancaman nyata mulai mendekat ke depan mata. World Economic Forum pada The Global Risk Report 2019 mengatakan bahwa perubahan iklim menempati posisi teratas sebagai penyebab bencana mundial, seperti cuaca ekstrem, krisis pangan dan air bersih, lenyapnya keanekaragaman hayati, dan remuknya ekosistem.
Sayangnya, mereka yang mempunyai sumberdaya dan kekuatan politik justru berupaya menutupi dan menyembunyikan masalah hingga mengabaikan kenyataan ini. Segala sesuatunya akan memburuk jika moda produksi dan konsumsi masih saja berlangsung seperti yang kita jalani saat ini. Beberapa tahun ke depan petaka dan bencana akan melumat kita.
Perubahan iklim adalah masalah semua orang. Ia membawa dampak buruk untuk lingkungan, masyarakat, ekonomi, perdagangan dan politik. Inilah tantangan utama umat manusia saat ini. Dampak paling buruk akan dialami dan dirasakan oleh negara-negara berkembang yang kebanyakan berpenduduk mayoritas muslim. Sebagai sebuah masalah, perubahan iklim ini hanya bisa diatasi jika semua pihak di atas planet ini bekerja bersama. Termasuk oleh komunitas-komunitas agama. Semua agama. Demikian yang dikatakan oleh Paus Fransiskus dalam ensikliknya yang legendaris itu: “Jika kita benar-benar berusaha ingin membangun ekologi yang bisa menanggulangi kerusakan yang telah kita akibatkan, maka tidak ada cabang ilmu dan tidak ada jenis kebijaksanaan yang dapat diabaikan, termasuk kebijaksanaan agama…”
Islam sendiri secara intrinsik adalah agama yang ekologis. Tidak kurang-kurangnya kebijaksanaan islam mengenai menjaga bumi. Mulai dari konsepsi utama tugas manusia sebagai khalifatullah fil ardl yang bermuara pada tanggungjawabnya untuk menjega bumi hingga banyaknya kebijaksanaan praktis seperti kata Kanjeng Nabi bahwa ada segulung pahala sedekah bagi mereka yang menanam pohon dan menjadi tempat bagi burung-burung untuk bersarang.
Peringatan para ahli tentang bahaya yang mengancam jamaah haji di beberapa tahun mendatang itu seharusnya menjadi peringatan terkhir bagi umat Islam di seluruh dunia untuk bertindak. Mulai dari tingkat individu dengan mengubah gaya hidup menjadi lebih ekologis hingga (ini yang sangat penting) secara kolektif mendesak pemerintah negara masing-masing untuk segera melakukan tindakan kongkret mencegah perubahan iklim yang bisa dimulai dengan komitmen penuh mengurangi emisi karbon hingga melampaui target menjaga kenaikan suhu berada di 2 °C.
Pada Konferensi perubahan iklim (Conferece of Parties/COP) ke-24 di Kotawice, Polandia, 2018, sebanyak 197 negara, termasuk Indonesia, berkomitmen membatasi kenaikan suhu global di bawah dua derajat celcius. Komitmen ini yang selalu harus ditagih dan ditagih. Sebab meski segala komitmen itu dilakukan, kenaikan suhu akan tetap mencapai 1,5 derajat celcius pada tahun 2030, dan itu berarti serangkaian bencana akan datang.
Komunitas-komunitas muslim di sejumlah sudut dunia sebenarnya sudah memulai langkah. Sejumlah masjid di Inggris misalnya telah mengganti sumber listrik mereka dengan sinar matahari. Sejumlah organisasi muslim juga menginisasi penghijauan dengan gerakan menanam pohon. Tapi hal-hal seperti itu tentu saja tidak cukup menghadapi skala ancaman yang sedemikian besar ini. Jika memang benar-benar ingin mengatasi krisis ini, semua pihak terutama adalah perusahaan besar dan negara harus melampaui mentalitas “bisnis seperti biasa.”
Kembali ke soal haji tadi, pertanyaan retorisnya kemudian adalah jika ibadah haji adalah wajib bagi kaum muslimin bukankah itu juga mengandung pesan agar kita perlu menjaga agar ibadah haji bisa tetap terlaksana dengan seksama dan aman dari segala ancaman?
.
* Aktivis Gusdurian Yogyakarta, lulusan FISIPOL Universitas Gadjah Mada.
.
Selanjutnya, klik di sini
.
Editor: Yahya FR