Muslim Indonesia hari ini berhutang banyak kepada para pendiri bangsa dan intelektual yang memperjuangkan berdirinya rumah bersama bernama Indonesia yang nyaman dan aman bagi masyarakat muslim juga. Tapi perjuangan tetap menyiratkan usaha keras, terutama usaha dalam mencerdaskan masyarakat muslim bahwa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi, negara-bangsa, nasionalisme, pluralisme, dan Pancasila. Hal ini berkait erat dengan epistemologi ilmu yang dianut umat.
Kenapa usaha itu harus dilakukan? Sebab selalu ada tantangan dari mereka yang mempertentangkan Islam dengan itu semua.
Hari ini pun usaha keras itu masih harus berlanjut. Sekalipun tenunan kebangsaan sudah dirajut tapi masih ada saja tangan-tangan yang berusaha merobeknya.
Permasalahan Umat Kontemporer
Data-data terbaru mengenai kondisi negara-negara berpenduduk mayoritas muslim perlu menjadi cerminan wajah asli kita. Meminjam kata-kata intelektual Ali Allawi (2009), kaum muslim hari ini belum lepas dari krisis dan justru memperparah kondisinya. Kita mengalami tingginya angka indeks korupsi, intoleransi, kekerasan, dan terorisme; serta rendahnya angka melek huruf, harapan hidup, kesejahteraan, dan keadaban publik.
Menghadapi Covid-19 tidak sedikit dari kita menuduhnya konspirasi untuk menjauhkan muslim dari masjid. Rasionalitas pun dikesampingkan.
Apa yang salah dengan kita? Jawabannya bisa macam-macam. Akan tetapi kita perlu meneliti dengan cermat peran gagasan keagamaan dalam membentuk persepsi dan sikap kita. Masalah tingginya intoleransi dan rendahnya keadaban publik adalah fenomena berfaktor banyak.
Meski begitu gagasan terbukti dapat memicu tindakan atau mencegahnya. Dalam teori kritis, tindakan dan persepsi masyarakat dibentuk oleh gagasan yang hidup, mengakar, dan dilestarikan di masyarakat tersebut. Dan kebanyakan gagasan dibuat untuk menjaga tradisi dan keyakinan yang dianggap suci.
Beberapa sarjana Barat dan muslim menuduh Islam sebagai agama yang anti-demokrasi dan tidak rasional. Sementara golongan Islamis dan konservatif menuduh demokrasi dan sains adalah virus orang-orang kafir untuk merusak iman orang muslim.
Kedua pendapat itu bermasalah. Sejarah membuktikan bahwa Islam pernah melahirkan kelas filsuf dan ilmuwan yang rasional dan humanis. Tapi adalah fakta juga bahwa mimbar-mimbar Jumat sering dipakai oleh banyak tokoh agama untuk mencela demokrasi dan sains atas nama Islam.
Bukan Islam sebagai agama, melainkan gagasan-gagasan yang dilestarikan dalam kitab-kitab keagamaanlah yang seharusnya kita perhatikan. Dan di antara gagasan tersebut ajaran tentang ilmu adalah yang paling penting. Pandangan masyarakat akan ilmu dipengaruhi oleh epistemologi ilmu yang dilestarikan.
Epistemologi Islam dalam Timbangan
Perspesi anti perubahan, anti rasionalitas, dan anti demokrasi adalah akibat dari epistemologi ilmu tertentu, alih-alih dari Islam an sich. Abed al-Jabiri (1980) menekankan bahwa konservatisme muslim disebabkan epistemologi bayani yang berpaku pada tekstualitas Abad Pertengahan.
Salah satu kitab yang mengajarkan epistemologi ilmu dalam tradisi masyarakat Muslim di Indonesia adalah Tibyan al-Maram Thalibah al-Thalabah karya seorang ulama Aceh di abad ke-19. Kitab ini memiliki visi yang sama dengan kitab Ta’lim al-Muta’allim di mana pandangan mereka akan ilmu dipengaruhi secara kuat oleh pendapat ulama Sunni ortodoks terutama Ghazali. Menurut Ahmet Kuru (2019) ortodoksi Sunni yang terbentuk sejak abad ke-11 merasa perlu menjaga hegemoninya atas kaum muslim lewat pengajaran di madrasah dan pondok.
Baik kitab Tibyan maupun Ta’lim hanya menyediakan satu bab untuk menjelaskan epistemologi ilmu. 12 bab lain dalam Ta’lim dan 5 bab lain dalam Tibyan semuanya menjelaskan perihal kode etik (adab) seorang penuntut ilmu terhadap ilmu, karya ilmu, dan kaum ulama.
Itu berarti bahwa dalam sistem pengetahuan ini ilmu terutama adalah soal tingkah laku manusia terhadap kelas elit ulama. Tingkah laku yang ditekankan adalah yang patut secara fiqih dan bertujuan untuk menjaga legitimasi kaum ulama.
Di sini perlu disinggung sedikit bahwa sejak terbentuknya ortodoksi di dunia Islam pada abad ke-11, istilah ulama menjadi hak ahli fiqih, kalam, dan tasawuf. Sementara para filsuf dan saintis mulai dipinggirkan status dan pengaruhnya di masyarakat. Padahal seharusnya ulama berarti kaum sarjana dan terpelajar. Bukan ahli fiqih saja.
Pengutamaan etika terhadap ulama dalam sistem pengetahuan ini juga menjadi alasan terhambatnya kebebasan berpikir dan kreativitas dalam tubuh kaum terpelajar muslim, apalagi masyarakat pada umumnya.
Dalam kitab Tibyan misalnya dikatakan bahwa dilarang bagi seorang siswa untuk berbeda pendapat dengan gurunya. Perbedaan pendapat dan perdebatan dianggap akan menyebabkan hilangnya ilmu. Gagasan seperti ini menyebabkan kita asing dengan demokrasi yang menjamin hak perbedaan pendapat.
Belum lagi dalam demokrasi setiap warga negara adalah setara. Sementara dalam sistem pengetahuan yang kita bahas masyarakat terdiri atas hierarki sosio-kultural di mana sultan dan ulama adalah kelas elit yang paling tahu akan kebenaran.
Dalam kitab-kitab ini dikatakan bahwa ilmu yang paling mulia adalah ilmu akidah dan fikih. Mereka berstatus fardhu ‘ain yang berarti wajib bagi semua orang. Di luar ilmu tersebut adalah ilmu kelas dua dan ilmu-ilmu yang diharamkan. Sejak Ghazali mengkafirkan Farabi dan Ibnu Sina, filsafat didiskreditkan dan disingkirkan dari madrasah dan pondok-pondok. Itu menjelaskan bagaimana penelitian rasional dan empiris akhirnya tersingkir dari institusi pendidikan Islam dan masyarakat ikut terpengaruh untuk mengutamakan fikih di atas sains.
Menurut Fazlur Rahman (1983) masyarakat Muslim saat ini selalu tertinggal dalam inisiatif dan kreativitas ilmiah. Sebab mereka selalu merasa harus mempertanyakan terlebih dahulu tentang status hukum segala sesuatu; apakah ia halal, apakah ia dari orang kafir, apakah ia ada dalilnya, apakah ulama menyetujuinya, dan seterusnya.
Hal ini karena dalam epistemologi ilmu yang kita lestarikan, ilmu pengetahuan dipandang lebih rendah dari fiqih, sehingga fiqih berkepentingan menentukan status hukumnya. Itulah mengapa ada ilmu yang fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
Epistemologi yang mengutamakan fikih di atas ilmu lainnya bukan berasal dari esensi ajaran Islam. Allah dan Nabi Muhammad tidak membeda-bedakan antar ilmu. Bahkan Allah mengutamakan sikap rasional dan empiris sebagai landasan orang berilmu; di mana dengan ilmu itu ia bisa berguna bagi orang lain sehingga Allah mengangkat derajatnya.
Nabi pun menyuruh kita menuntut ilmu dari orang asing yang bukan Muslim, karena dari mana pun ia, ilmu adalah hikmah dan harta milik bersama, di mana Muslim harus merasa paling berhak dalam memilikinya.
Untuk itulah demokrasi, keadilan, hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, pluralisme dan sains serta teknologi juga adalah hikmah dan harta milik peradaban kita hari ini yang harus kita jaga dan kembangkan bersama-sama.
Editor: Shidqi Mukhtasor