Sementara orang menganggap bahwa cara hidup yang diajarkan kaum sufi itu terlalu akhirat-oriented dan anti-keduniaan, atau bahasa kasarnya: kolot. Mereka sangat suka hidup miskin dan menganggap dunia hanyalah sebatas tempat menanam pahala belaka supaya dapat dituai kelak di akhirat. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip masyarakat modern. Jadi, apakah dengan demikian sufisme tidak lagi relevan bagi masyarakat modern?
Salah Kaprah Sufisme
Anggapan seperti yang di atas itu perlu diperjelas, karena dapat berdampak negatif berupa pencemaran nama baik (atas dasar ketidakpahaman) kepada kaum sufi dan kepada sufisme itu sendiri. Dan ini sudah terjadi bukan hanya oleh ‘orang luar’ saja, tapi oleh orang Islam sendiri.
Kalau kita membaca teks-teks para sufi, memang mereka terlihat secara kasat mata sedang mendakwahkan suatu doktrin berupa hidup anti-keduniaan (zuhud, Arab: al-zuhd). Tapi kalau kita teliti lebih dalam, ada makna lain yang akan kita temukan, dan inilah tepatnya tujuan dari sufisme itu. Makna lain tersebut adalah: memperbaiki batin.
Inilah tepatnya letak kesalahpahaman orang-orang mengenai sufisme. Sufisme tak ada kaitannya dengan badan, melainkan dengan hati. Sederhananya begini: sufisme mendidik hati menjadi baik dengan doktrin yang diajarkan Islam seperti sabar, syukur, tawakal, dan seterusnya. Kalau ada sebagian kecil sufi yang ‘malas’ bergerak dan menganut paham yang pesimistis, itu tak ada kaitannya sama sekali dengan sufisme.
Dengan ini, tuduhan bahwa sufisme adalah penyebab mundurnya masyarakat muslim saat ini (karena kemalasannya) adalah tuduhan tak berdasar. Hassan Hanafi dalam jurnal Kiri Islam (al-Yasar al-Islami)-nya, sebagai contoh, dengan berani menganggap tokoh sufi al-Ghazali sebagai tokoh besar penyebab mandegnya perkembangan umat Islam karena ajaran sufismenya. Tentu saja ini banyak dibantah oleh intelektual-intelektual muslim.
Zaqzuq dalam salah satu artikelnya pernah mengkritik tuduhan di atas. Bahwa orang yang menganggap al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran Islam pada dasarnya tidak mengkaji tokoh tersebut dengan lebih dalam. Sebagaimana Kazuo Shimogaki juga saat menjelaskan pemikiran Hassan Hanafi di atas, ia mengkritik bahwa Hassan Hanafi dalam kesimpulannya terhadap al-Ghazali itu ‘terlalu menyederhanakan masalah, tak ada investigasi historis konkret yang dilakukan.’
Begitulah, ada banyak sekali yang menyalahpahami sufisme, sebagaimana banyak juga yang menyalahpahami tokoh-tokohnya. Jika yang diinginkan dari kritik yang tertuju pada sufisme itu adalah pada sisi ekstrem dari para penganutnya, maka hal itu dapat dibenarkan. Tapi untuk menyimpulkan bahwa sufisme adalah kolot dan penyebab kemunduran Islam, ia adalah tuduhan yang batil.
Dunia Tidak Haram
Para sufi boleh saja (bahkan dianjurkan) memiliki uang yang banyak, dan memberikan kontribusi untuk kemajuan umat (misalnya sebagai pemimpin, seperti Umar bin Abdul Aziz). Tak ada yang melarang hal-hal normal semacam itu, tidak dari wahyu dan tidak juga dari akal sehat. Memiliki uang adalah hal di luar pembicaraan sufisme. Pembicaraan sufisme adalah ‘uang itu netral, kamu bisa mencarinya, tapi hatimu jangan tertutup olehnya.’
Para sufi tidak menganggap memiliki uang sebagai suatu kerendahan martabat, melainkan ‘perlu diwaspadai’ karena dapat menggelencirkan pemiliknya ke jurang cinta dunia.
Doktrin-doktrin hidup miskin dan pesimistis sebagian sufi bahkan dikritik oleh, misalnya, Syekh Muhammad al-Ghazali, pemikir besar al-Azhar, dalam bukunya, al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits. Beliau menulis, “Aku telah membaca lima puluh hadis yang menganjurkan untuk hidup miskin juga sebanyak 77 hadis tentang anjuran zuhud. Semua hadis itu ditulis oleh al-Mundziri di kitabnya al-Targhib wa al-Tarhib. Semoga Allah merahmati dan mengampuni beliau, niatnya bagus, hanya saja kebenarannya bukanlah seperti yang dianggapnya itu.”
Beliau melanjutkan, “Milikilah harta lebih banyak dari yang dimiliki Qarun, dan kuasailah kekuasaan lebih luas dari yang dikuasai Sulaiman. Jadikan itu semua dalam genggamanmu untuk kamu gunakan dalam menjunjung kebenaran …,” hal itu karena harta tidak dilihat dari dirinya sendiri, melainkan dari kegunaan dan manfaatnya.
Sufisme dan Masyarakat Modern
Kalau kita implementasikan sufisme pada zaman modern, kita tidak akan berubah menjadi orang miskin, kolot, dan anti-pembangunan. Kita tetap menjadi orang modern yang berjas dan berdasi, kok. Hal yang membedakannya adalah keadaan batin yang lebih tenang, dan inilah tujuan sufisme itu sendiri.
Sufisme membantu kita untuk bisa mengontrol hati supaya tidak cinta dunia. Terlebih di zaman modern ini, gaya hidup modern banyak menjerumuskan orang pada sikap materialistis dan hedonistis. Kita tentu lebih membutuhkan sufisme sebagai sistem yang membantu mengelola hati.
Kita tidak akan cepat depresi dan menyerah hanya gara-gara, misalnya, usaha bangkrut, karena hati kita tidak tertuju pada materi secara menyeluruh. Kalau usaha kita untung, kita akan bersyukur lalu menggunakan hasilnya untuk hal-hal positif dan membangun. Adapun bagi yang tidak punya usaha dan orang-orang prasejahtera, kehidupan mereka tidak akan menderita dan stres akibat kekurangan. Malah mereka akan bersyukur karena terbebas dari banyak tanggung jawab yang dapat menyibukkan dirinya.
***
Jadi antara orang miskin dan kaya memiliki potensi untuk mengimplementasikan sufisme dalam kehidupan masing-masing. Sama halnya dengan para pemimpin maupun rakyat biasa, bos maupun karyawan, masyarakat urban maupun rural, semuanya berhak mengamalkan sufisme yang merupakan inti ajaran Islam itu, dengan caranya masing-masing tentunya.
Editor: Shidqi Mukhtasor