Ramadan sudah beranjak. Kalau dipikir-pikir, kita bisa menyebut Ramadan sebagai “bulan latihan menahan diri”. Tirakat paling awamnya adalah menahan lapar dan haus, tapi kita sepakat bahwa pembaca IBTimes.ID seyogianya sudah harus naik kelas. Tirakatnya harus menahan diri dari merusak nurani, atau yang lebih tinggi lagi, merusak bumi.
Meski Ramadan sudah beranjak, pandemi Covid-19 belum bisa ditebak kapan berakhirnya. Semua orang seperti ngotot pandemi ini merupakan hasil konspirasi. Pikiran konspiratif selalu menimpakan kesalahan pada pihak gaib. Pengusungnya tidak bisa diajak evaluasi diri. Tidak bisa diajak mencoba memperbaiki keadaan.
Tesis bahwa suatu virus berkembang karena eksploitasi lingkungan hidup sudah banyak diajukan. Tesis ini pun masuk akal. Terutama eksploitasi industrial. Ada dua alasan untuk itu.
Pertama, habitat hewan terganggu. Hewan jadi harus tinggal berdekatan dengan kebudayaan manusia: kebudayaan industrial, kebudayaan berorientasi limbah, baik limbah produksi maupun konsumsi. Kedua, hewan terpengaruh oleh kebudayaan limbah. Tubuh mereka beradaptasi dengan limbah industrial. Virus muncul dari kait kelindan itu.
Sudah menjadi fitrah atau darma hewan untuk hidup di dunia natural. Hewan adalah makhluk yang makan dari rantai pangan pertama: mereka tidak mengolah makanan mereka. Sangat alami. Manusia memang mampu mengolah makanan, tapi pada mulanya masih mempertahankan kemurnian. Di era industrial, manusia mengkonsumi fake food, meminjam istilah Vandana Shiva. Manusia memakan olahan jahat dari industri jahat.
Olahan-olahan itu menjauh dari kemurnian dan kini mengandung zat-zat jahat, karena manusia modern merasa berhak mengubah rupa dan laku alam. Manusia modern tidak tahan melihat tanah kosong. Hutan tropis inginnya diubah jadi sawit saja. Perubahan tak pernah menimbang rupa dan laku murni ekosistem. Hanya keuntungan ekonomi dan sosial.
Ada suara sumbang: peradaban pertanian pun mengubah hutan. Tapi suara ini sumbang ketika hendak diusung untuk menutup mata dari kejahatan lingkungan di era industrial. Manusia telah mengalami tiga babak peradaban (pemburu-pengumpul, pertanian, dan industri), dan yang paling merusak bumi dalam waktu singkat, ya, yang ketiga.
Bila ada benang merah antara virus dan peradaban industrial (dan bila ada yang harus manusia refleksikan di masa pandemi), itu adalah watak antroposentris dan orientasi limbah. Peradaban kita hari ini telah mengutak-atik ekosistem dengan seenaknya. Kita berpikir peradaban kita sedang melakukan perbaikan. Tidak. Peradaban kita merusak.
Seluruh Bumi adalah Masjid
Baginda Nabi telah bersabda, “Seluruh bumi adalah masjid” (al-ardhu kulluha masjidun). Pada mulanya hadis itu berkenaan dengan keleluasaan sembahyang. Implikasi fikih dari hadis itu adalah kebolehan sembahyang di manapun selain pemakaman dan toilet.
Hadis itu terdiri atas dua bagian: (1) pernyataan etis/kulliyyat bahwa bumi adalah masjid. Konsep suci ini pastilah melampaui fisik, karena terma yang dipakai bukan thohurun;(2) pernyataan praktis/juz’iyyat, yang sifatnya kontekstual. Dalam hal ini, konteksnya fikih salat.
Menurut saya, adalah pernyataan etis yang harus dipegang dan dikembangkan ke konteks lain. Pernyataan itu bisa berubah menjadi: “Seluruh bumi adalah masjid, ia suci, maka ia haram disentuh laku-budaya manusia yang tidak mengindahkan kemauan Tuhan, atau yang melanggar larangan Tuhan.
Karena begitu kuatnya hadis tersebut, Ibrahim Abdul-Matin menggunakannya sebagai pijakan etis teori etika lingkungannya. Hanya dengan mengakui kesucian bumi, seorang muslim punya komitmen untuk bukan hanya menjaganya, tapi juga mempertahankannya dari mode produksi/konsumsi industrial yang eksploitatif.
Hanya saja, argumentasi kesucian bumi perlu diperkuat dengan menyadari dua masalah besar manusia modern, yaitu (1) keterputusan ekologis, dan (2) keterputusan spiritual.
Manusia modern putus hubungan dengan ekosistemnya, secara paradigmatis, tentu. Manusia modern tak lagi punya pengetahuan tentang jalinan energi dan organisme di alam. Kita tidak punya kebijaksanaan bagaimana menempatkan diri secara ekologis di tengah jalinan itu. Yang kita tahu, alam itu modal besar ekonomi. Ini keterputusan ekologis.
Adapun keterputusan spiritual artinya, manusia modern tidak bisa melihat Tuhan di alam. Bahwa Tuhan tidak sebagaimana kita khayalkan, duduk nun di atas sana. Tidak. Tuhan bekerja di alam. Dia di sini, di sekitar kita. Bahkan di kotoran sekalipun, hakikatnya. Karena siapa lagi “hidup” yang mengurainya menjadi kembali bermanfaat untuk ekosistem?
Kalimat itu agak tabu karena tauhid kita tidak terang benderang. Kita luput memahami bahwa Allah itu “melingkupi” atau “memenuhi” segala sesuatu. Sejumlah ayat mengatakan bahwa yang memenuhi itu adalah pengetahuannya. Sebagian mengatakan rahmatnya. Tapi an-Nisa’:126 dan Fusshilat:54 menegaskan bahwa Dia-lah yang memenuhi. Muhith.
Tindakan Kita ke Depan
Masjid itu bernama bumi. Ia harus dimakmurkan dengan sujud, takbir, tahmid, dan syahadat. Sujud artinya menyadari alam sebagai sentris, ordinat, determinan; Takbir artinya mempelajari ekosistem dan terpesona karenanya. Tahmid artinya memuji peradaban natural ciptaan Tuhan, bukan peradaban industrial hasil kesombongan manusia. Syahadat adalah pengakuan cinta pada setiap jengkal kesucian alam natural itu.
Upaya memakmuran masjid itu akan terhalang jika media refleksi kita bergeser dari yang natural menjadi yang artifisial. Kekaguman karena menghayati keajaiban pohon tidak sama dengan kekaguman karena menghayati hasil pembangunan. Proyeksi penciptanya berbeda. Satu menghasilkan kekaguman pada Allah, lainnya pada manusia. Memang syirikitu licin.
Maka salah satu agenda “pemakmuran masjid” adalah menghalau proyek-proyek pembangunan yang merusak kesucian, atawa, yang menabrak batas-batas toleransi bumi atas eksploitasi dan limbah. Pembangunan yang dikelola dengan prinsip kapitalisasi-dominasi, yang membelakangi prinsip keadilan, kemerataan, dan kasih sayang.
Karena banyak dari kita yang belum terbiasa dengan pandemi, kita menanti dalam karantina mandiri dengan perasaan menggebu untuk balas dendam suatu hari nanti. Membiarkan bumi beristirahat sejenak adalah bentuk ketidaksadaran akan eco-new-normal, yang menuntut manusia menata ulang seluruh kebudayaannya agar selaras dengan alam.
Menahan diri untuk membalas dendam kemudian bukanlah puasa. Bila kita tidak bisa menanggulanginya, kita patut malu pada Ramadan, yang kita tunggu datangnya tiap tahun, tapi dilewati hanya dengan merapal bunyi, bukan tirakat laku hidup. Malu juga pada Rasulullah, karena puasa gagal itu jadi merusak kesucian masjid. Masjid bernama bumi.