Selama ini orang mengenal cita-cita sosial gerakan Muhammadiyah, yaitu untuk mewujudkan “Masyarakat Islam Yang Sebenar-benarnya” (MIYS). Pada awalnya, istilah MIYS belum dikenal oleh Muhammadiyah. Sepengetahuan saya, sejak kelahirannya 1912, tujuan Muhammadiyah terhitung sudah 14 (empat belas) kali mengalami perubahan redaksi.
Tujuan Muhammadiyah yang Berubah
Pada saat berdiri, tahun 1912, tujuan Muhammadiyah mencakup dua hal: 1) Menyebarluaskan Pengajaran Igama Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan 2) Memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.
Baru kemudian dua tahun berselang, pada 1914, tujuan Muhammadiyah mengalami perluasan jangkauan wilayah, sehingga berubah menjadi: a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam di Hindia Nederland, dan b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya. Redaksi tahun 1914 ini dengan redaksi yang sedikit berbeda tujuan berubah tahun 1921, 1934, dan 1941, namun secara substansi sama.
Selanjutnya, pada tahun 1943, redaksi tujuan Muhammadiyah menjadi “Sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia Raya, di bawah pimpinan Dai Nippon, dan memang diperintahkan oleh Tuhan Allah, maka perkumpulan ini: 1) hendak menyiarkan Agama Islam, serta melatih hidup yang selaras dengan tuntunannya; 2) hendak melakukan pekerjaan kebaikan-kebaikan umum; 3) hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada anggauta-anggautanya itu ditujukan untuk berjasa mendidik masyarakat ramai.”
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia 1945, baru kemudian pada tahun 1946, istilah “Masyarakat Islam Yang Sebenar-Benarnya” menjadi tujuan Muhammadiyah. Dengan perubahan sedikit bersifat koreksi redaksional, tanpa mengganti rumusan MIYS bertahan mulai tahun 1950, 1959,1966, dan 1968.
Saat diberlakukannya “Pancasila sebagai Asas Tunggal” pada era Orde Baru Soeharto, tujuan Muhammadiyah terpaksa harus beradaptasi. Tepatnya, pada tahun 1985, tujuan Muhammadiyah berganti menjadi “masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala.” Sejak ini muncul kajian dari pera pemikir dan ulama Muhammadiyah tentang masyarakat utama, khairu ummah, umat terbaik, serta peradaban utama yang berlandaskan Surah Ali Imran ayat 110. Baru kemudian kembali lagi menjadi “Masyarakat Islam Yang Sebenar-Benarnya” pada 2000.
Pertanyaanya, mengapa tujuan Muhammadiyah bisa berubah-ubah? Di mana letak sakralitas cita-cita sebuah organisasi keagamaan, jika sewaktu-waktu bisa berubah? Apakah perubahan tujuan sebuah organisasi Muhammadiyah masih sejalan dengan gagasan dasar pendirinya, KH Ahmad Dahlan?
Saya kira hal yang terpenting adalah fungsi dari tujuan organisasi itu sendiri. Bagaimana menjadikan tujuan organisasi supaya tidak hanya sebatas jargon utopis-normatif melainkan tujuan yang terukur dengan indikator ketercapain yang jelas menjadi realistic-historis.
Maka dari itu, diperlukan tafsir kreatif, fungsional, dan operasional terhadap tujuan MIYS. Hemat saya, upaya itu sebenarnya sudah ada di dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) yang muncul pasca Reformasi. Berdasarkan pedoman ini, tersirat terkandung pesan bahwa MIYS adalah “Masyarakat Yang Hidupnya Islami.”
Indikator Masyarakat Islami?
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana “masyarakat Islami” itu? Karena ternyata, dari keputusan-keputusan Muhammadiyah “tidak ditemukan” sama sekali bahwa Muhammadiyah bercita-cita mendirikan “Negara Islam” (Khilafah Islamiyah). Justru, Muhammadiyah menegaskan dirinya sebagai Masyarakat Sipil Islam (MSI) yang menegaskan posisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai Negara Pencasila sebagai Darul Ahdi Wasy-Syahadah (Negara Konsensus dan Pembuktian).
Hal tersebut di atas, menunjukkan bahwa Muhammadiyah lebih mengutamakan subtansi dan nilai-nilai ajaran Islam, daripada “formalisasi syariat” menjadi sebuah sistem Negara. Oleh karena itu, yang terpenting adalah mewujudkan Negara Islami, dan Masyarakat Islam Yang Sebenar-Benarnya (Masyarakat Islami).
Di sini saya mengajukan definisi Islami sebagai tercapainya tujuan syariat Islam. Dengan kata lain, terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah di saat masyarakatnya mampu merealisasikan nilai-nilai ajaran Islami dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, perlu kiranya menjadikan Maqashid al-syariah sebagai indikator “Masyarakat Islami.”
Dalam tujuan syariat Islam adalah “menghindari kerusakan sesedikit-sedikitnya, dan meraih kebaikan sebanyak-banyaknya.” Maqashid al-syariah bertujuan untuk mencapai maslahah (common good).
Konsep Maqashid al-syariah diformulasikan Al-Ghazali dalam karyanya Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul dan dikembangkan secara sistematis oleh Al-Shatibi dalam karyanya Al-Muwafaqat fi Ushul Syariah. Al-Ghazali dan Al-Shatibi, telah berkontribusi bagi lahirnya lima prinsip syariah (al-daruriyyat al-khams) klasik yang terdiri dari: menjaga agama (hifz al-din), menjaga jiwa (hifz al-nafs), menjaga akal (hifz al-`Aql) menjaga keturunan (hifz al-nasl), dan menjaga harta (hifz al-mal).
Adalah Jasser Audah dalam Maqasid al-Sharia as Philosophy of Islamic Law: A System Approach (2007) berhasil melakukan kontekstulisasi al-daruriyyat al-khams di dalam ruang “reformation dan pembangunan” yang sesuai dengan prinsip-prinsip universal HAM. Jika titik tekan Maqasid lama lebih pada protection (perlindungan) dan preservation (penjagaan), maka teori Maqasid baru lebih menekankan pada development (pembangunan; pengembangan) dan right (hak-hak). Teori ini dapat dijadikan indikator serta prinsip-prinsip atau ciri-ciri sebuah Negara syariah, atau masyarakat Islami.
Pertama, menjaga agama (al-Din). Masyarakat Islami adalah masyarakat yang majemuk dan multireligius. Menjaga agama selain menjaga kemurnian Tauhid, pada saat yang sama masyarakat dapat menjaga, melindungi dan menghormati kebebasan beragama atau berkeyakinan orang lain. Indikatornya antara lain: tersedianya rumah ibadah, pendidikan agama, merayakan hari raya bagi masing-masing agama secara aman dan damai.
Kedua, menjaga jiwa (al-Nafs). Masyarakat Islami adalah masyarakat yang menjaga dan mendapatkan jaminan hak-hak kesehatan jasmani dan rohani. Kebutuhan tersebut meliputi pangan, sandang, dan papan. Program-program diarahkan pada peningkatan angka harapan hidup pada kelahiran, penurunan angka kematian anak-anak, dan penduduk kurang gizi. Kelahiran yang ditangani oleh tenaga medis terampil, dokter/perawat dan prosentase penduduk yang diimunisasi.
Ketiga, menjaga akal (al-Aql). Masyarakat Islami adalah masyarakat yang menjaga dan mendapat jaminan kepada pendidikan, intelektual, dan pengembangan riset dan ilmu pengetahuan. Indikatornya antara lain: akses kepada pendidikan pra sekolah, pendaftaran sekolah dasar, menengah dan pendidikan tinggi; institusi riset, perpustakaan, dan dana riset untuk melipatgandakan pola pikir dan research ilmiah; dan beasiswa sebagai upaya mengutamakan perjalanan untuk mencari ilmu pengetahuan
Keempat, menjaga keturunan (al-Nasl). Masyarakat Islami adalah masyarakat yang berorientasi kepada perlindungan keluarga; kepedulian yang lebih terhadap institusi keluarga. Indikatornya antara lain: pemeliharaan dan pelayanan kesehatan pra dan pasca kelahiran, pelatihan pra-nikah, imunisasi bagi bayi dan akses pendidikan.
Kelima, menjaga harta (al-Mal). Masyarakat Islam adalah masyarakat yang mengutamakan kepedulian sosial; menaruh perhatian pada pembangunan dan pengembangan ekonomi; mendorong kesejahteraan manusia; menghilangkan jurang antara miskin dan kaya. Cirinya misalnya: tersedianya berbagai lapangan pekerjaan, upah pekerjaan yang cukup, dan lain-lain.
Keenam, menjaga lingkungan (al-Bi’ah). Al-Qardhawi dan Abu Sway memasukkan prinsip menjaga lingkungan ke dalam maqashid al-syari`ah. Hifz al-bi’ah mencakup menjaga melestarikan alam dan pencegahan perusakan lingkungan. Pemanfaatan sumber daya lingkungan dan alam secara moderat (tawassuth) dan jauh dari pemborosan (israf) dan sia-sia (tabdhir). Penegakkan hukum atas kriminalitas lingkungan dan sumber daya alam seperti membuang sampah sembarangan, merokok sembarangan dll.
Karena itu, prinsip-prinsip al-kulliyyat al-sittah or al-daruriyyat al-sittah (agama, jiwa, akal, keturunan, harta, dan lingkungan,) sebagai indikator untuk mengukur keberhasilan cita-cita masyarakat Islami (Masyarakat Islam Yang Sebenar-benarnya).
Editor: Arif